Lompat ke isi utama

Difabel adalah Kita yang Melekat Seluruh Hak dan Kewajiban

Solider.or.id.Wonogiri. Berbicara tentang difabel adalah berbicara tentang kita. Difabel merupakan bagian dari kita yang memiliki perbedaan kemampuan, baik yang bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan, atau beberapa kombinasi dari berbagai perbedaan kemampuan.

See the Person Not the Disability” merupakan cara pandang yang tepat terhadap difabel. Lihatlah orangnya (manusianya) bukan dilihat kedifabilitasannya. Lewat cara pandang yang demikian, maka difabel betul-betul bagian dari kehidupan masyarakat yang melekat dengan seluruh hak dan kewajiban mereka.

“Poin-poin tersebut disampaikan oleh Ketua Perspektif  Yogyakarta, Sri Hartaningsih dalam sebuah seminar yang berlangsung di Pendopo Rumah Dinas Bupati Wonogiri, Rabu (9/8/2017) pekan lalu, dalam rangka memperingati hari keluarga nasional (Harganas) sekaligus hari anak nasional se-Kabupaten Wonogiri tahun 2017.

Difabel  setara sebagai manusia “normal”, tanpa sekat dan penghalang baik dalam mengakses hak maupun pemenuhan kewajiban. Sementara yang berbeda adalah pada cara mengakses hak dan memenuhi kewajiban mereka. Karena difabilitas yang dimiliki orang atau individu tersebut, maka bagi mereka harus diberikan aksesibilitas sesuai kebutuhannya.

Difabel berpeluang pada semua

Menjadi difabel tentu bukan sebuah pilihan, bahkan menjadi siapa pun. Karena kehidupan tidak pernah ada bargaining (tawar-menawar) dengan sang pencipta. Akan menjadi siapa, menjadi seperti apa, saat kita dilahirkan di dunia, tidak seorang pun dapat memilihnya. Bahkan, difabel dapat pula terjadi pada siapapun dan kapanpun yang sebelumnya bukan difabel. Artinya siapa saja, kapan saja, di mana saja, bisa menjadi difabel.

Difabel bukan hanya bawaan lahir, namun dapat terjadi karena usia sehingga membutuhkan alat bantu kursi roda untuk mobilitas. Bisa juga karena kecelakaan, kebakaran, perubahan alam (gempa, gunung meletus) yang tidak pernah diinginkan dan diketahui kapan dan di mana terjadi.

Bersikap wajar dengan siapa saja, menghormati seluruh hak dan kewajiban, memberikan kesempatan dan dorongan merupakan tindakan manusia yang memanusiakan manusia (manusiawi).

Adapun mengasihani, bukan cara yang tepat dalam bersikap terhadap difabel. Karena difabel juga masyarakat yang mampu melakukan apa saja, sepanjang aksesibilitas sesuai dengan kebutuhan tersedia. Tindakan mengasihani  akan menempatkan difabel sebagai individu yang lemah, yang tidak mampu mandiri. Cara dan sikap yang tidak tepat bahkan salah, akan membuat difabel seumur hidup menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, bahkan negara.

Aksesibilitas untuk kesetaraan

Kesetaraan kesempatan, hak, dan kewajiban mesti diwujudkan. Kesetaraan akan terwujud sepanjang ada aksibilitas yang aksesibel sesuai dengan kondisi dan kebutuhan difabel. Aksesibel yang dimaksud adalah aksesibilitas (sarana mengakses) yang memandirikan difabel. Dengan demikian difabel dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus dibantu oleh orang lain.

Adapun aksesibilitas yang dimaksud bukan terbatas pada aksesibilitas fisik semata, melainkan juga aksesibilitas nonfisik. Saat ini pemahaman banyak pihak (perorangan, instansi pemerintah dan swasta), lebih pada aksesibilitas fisik. Seperti ketersediaan ramp (jalan miring) dan handle ramp (pegangan ramp) bagi pengguna kursi roda, atau guiding block (blok pemandu) bagi difabel netra.

Sementara aksesibilitas nonfisik belum banyak menjadi perhatian dan sorotan. Bagi difabel lain, tuli sebagai misal membutuhkan penterjemah bahasa isyarat, tulisan atau cahaya untuk menggantikan informasi berupa suara.  Bagi difabel intelektual yang mengalami hambatan secara kognisi, dibutuhkan roll mode (contoh) dalam memahamkan berbagai aspek kehidupan, demikian pula dengan difabel dengan perbedaan kemampuan lainnya. (hnw).

 

The subscriber's email address.