Difabel Paling Terdampak Saat Bencana Perubahan Iklim
Solider.id – berbicara tentang perubahan iklim sebagai salah satu bencana maka difabel adalah kelompok yang paling berisiko. Difabel memiliki empat kali lipat kerentanan saat bencana dibanding kelompok masyarakat lainnya. Bahkan dibandingkan dengan kelompok risiko yang lain. Demikian dikatakan Edy Suprianto, Ketua Perkumpulan Sehati dalam webinar menyikapi dampak bagi difabel pada perubahan iklim yang dihelat oleh Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS).
Di PBB saat ini ada dua lembaga yakni badan PBB yang mengurusi bencana yakni UNDRR, dan perubahan iklim adalah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang kemudian menjadi perspektif bersama bahwa perubahan iklim global menjadi isu besar dibanding isu bencana.
Kaitannya dengan difabilitas apakah dampak dari perubahan iklim itu jadi penyebab dan bisa masuk jadi pelanggaran HAM?Menurut Edy, dengan adanya perubahan iklim itu sebenarnya adalah dampak atau risiko siklus kejadian bencana yang biasanya tahunan lalu bisa terjadi setiap saat. Dia juga menimbulkan peningkatan kerentanan difabilitas. Ini terjadi di pesisir pantai utara Jawa Tengah, dan di Demak juga. Mereka akan kehilangan akses penghidupan, pendidikan, dan pekerjaan bahkan akses pangan maka perlu diperhatikan apakah dampak perubahan iklim ini juga akan munculnya difabilitas-difabilitas baru. Terutama difabilitas yang multi hambatan.
Perubahan iklim juga bisa memunculkan kembali adanya penyakit baru yang berpotensi menumbuhkan atau memunculkan disabilitas baru misalnya peningkatan risiko penyakit Zoonosis yaitu penyakit yang dapat ditularkan oleh hewan kepada manusia ataupun sebaliknya dan disebabkan oleh parasit yang terdapat dari bakteri, virus, jamur serta parasit lainnya seperti protozoa dan cacing. Hal tersebut bisa terjadi pada perempuan dan anak yang bisa menimbulkan penyakit bahkan difabilitas.
Baca Juga: Anak-anak Difabel Sebagai Agen yang Menyuarakan Isu Climate Change
Juga akses sanitasi dan air bersih yang sulit didapatkan oleh difabel ini kaitannya dengan perubahan iklim. Tata kelola pemerintah atau tata kelola kota semakin mempersulit teman difabel dalam mendapatkan akses layanan umum dan layanan dasar.
Kaitannya dengan apa yang terjadi saat ini dengan difabilitas adalah banyak sekali aduan yang disampaikan kepada organisasi difabel lewat chat bahwa banyak sekali singkatan-singkatan dan istilah-istilah kebencanaan dan perubahan iklim menunjukkan bahwa rspon perubahan iklim belum menunjukkan sensitivitas terhadap difabel. Jadi informasi tidak aksesibel atau tidak menjangkau seluruh masyarakat yang justru masyarakat yang paling rentan dari kejadian perubahan iklim tersebut.
Padahal Indonesia sebenarnya punya PP 42 tahun 2020 di mana ada aspek inklusif, maka penting untuk merefleksikan apakah kegiatan-kegiatan dalam mengurangi dampak perubahan iklim memiliki data terpilah terkait difabilitas, juga kaitannya dengan dampak kepada perempuan, lansia dan anak-anak. Apakah ini sudah tercantum di sana? Selain itu terkait aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Di dalam dampak pengurangan risiko perubahan iklim belum aksesibel dan belum mengakomodasi difabel. Juga partisipasi. Selama ini bencana baru disadari oleh mereka setelah terjadi. Orang-orang baru ramai-ramai mempermasalahkan jika sudah terjadi rob dan perubahan suhu padahal waktu yang kita miliki sangat sempit. Padahal sebelumnya kita punya waktu yang sangat panjang. Juga apakah saat ini yang dilakukan oleh negara, dan teman teman pelaku dalam aspek inklusi sudah memberikan ruang kepada difabel, meningkatkan kapasitasnya, meningkatkan informasi yang aksesibel dan partisipasi yang bermakna serta penyediaan akomodasi yang layak bagi difabel sehingga hal ini sebenarnya menjadi satu peluang keterlibatan difabel dalam penyusunan kebijakan.
Peraturan Mendagri terkait SPM nomor 59 tahun 2021 sudah mengatur terkait bencana dan sangat jelas bahwa informasi harus aksesibel dan memastikan semua orang mendapat layanan dan informasi yang setara.
Apakah juga dalam aspek inklusif itu ditekankan adanya prioritas perlindungan. Teman difabel di Demak, Kecamatan Sayung kehilangan rumah dan tidak bisa ke mana-mana. Bagi teman lain mungkin tidak menjadi masalah tetapi bagi difabel kalau air sudah setinggi mata kaki atau selutut itu sudah menjadi bencana tersendiri. Hal itu oleh negara belum ditetapkan menjadi bencana tetapi bagi kelompok-kelompok berisiko itu jadi bencana sendiri sehingga mereka tidak mendapatkan perlindungannya sendiri atau terdiskriminasi atau bencana bagi interseksualitas.
Difabel menjadi pusat atau center dalam interseksualitas, di mana ada LGBT yang di situ ada difabel, masyarakat yang tinggal 3T juga banyak dari difabel.
Edy menambahkan bahwa Webinar ini membuka perspektif bagaimana difabel dilibatkan dan terlibat secara bermakna dan memberi kontribusi dan membangun ekosistem perubahan iklim secara inklusif sehingga ada kesetaraan dan interseksualitas sehingga tidak ada pelanggaran HAM.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief