Lompat ke isi utama
ilustrasi anak difabel

Pentingnya Kesehatan Mental Bagi Orangtua dengan Anak Difabel

Solider.id - Kesehatan mental bagi orangtua anak dengan difabel seperti pada anak dengan penyakit langka, CdLS contohnya, menjadi sangat penting untuk dibicarakan. Kesehatan jiwa atau kesehatan mental adalah keadaan seseorang atau individu yang dapat menyadari potensi yang dimilikinya. Selain itu mampu menanggulangi tekanan hidup, dan dapat bekerja secara produktif, serta mampu memberi kontribusi bagi lingkungannya.

 

Jika mental seseorang dapat diatur atau dapat dikendalikan maka dapat dikatakan kesehatan mentalnya bagus. Kesehatan mental mencakup aspek-aspek fisik, psikologis, dan sosial.

 

Bagi sebagian orang untuk menjaga kesehatan mental tidaklah mudah terlebih bagi orangtua yang memiliki anak difabel. Terdapat beberapa faktor yang menjadikan seseorang merasa hidup dalam tekanan, ketidaknyamanan, dan hal-hal lain yang secara tidak langsung dapat membuat kehidupan menjadi berat. Itulah yang kemudian menjadi latar belakang Yayasan CdLS mengadakan webinar beberapa waktu lalu.

 

Sindrom Cornelia de Lange (CdLS) merupakan kelainan genetik yang berakibat terjadinya hambatan fisik, kemampuan kognitif dan kesehatan. Dalam situs CdLS Foundation disebutkan bahwa terjadi satu kasus CdLS di antara 10.000 kelahiran.

 

Situs tersebut menyebutkan bahwa sindrom ini pertama kali diidentifikasikan oleh  Dr. W. Brachmann pada 1916 melalui penelitian Dr Cornelia de Lange yang dilakukan  pada 1933, dan tidak bisa dideteksi dengan pemeriksaan medis biasa. Sehingga dr. de Lange melakukan penyelidikan menyeluruh. Dari penelitiannya tersebut lalu diperoleh nama sindrom CdLS atau kadang-kadang disebut sebagai Brachmann - de - Lange Syndrome sesuai nama penemunya.

 

Baca Juga: Webinar Penerimaan Orang Tua dengan Anak Difabel

 

Anak dengan sindrom ini memiliki karakteristik wajah yang khas seperti alis mata yang bertemu di tengah, bulu mata yang panjang, dan hidung yang pendek. Selain itu anak dengan CdLS memiliki keterlambatan pertumbuhan, ukuran kepala kecil, tangan dan kaki kecil, sebagian bergabung dari jari kaki kedua dan ketiga, jari-jari menekuk.

 

Seperti yang dikatakan oleh Ina, Ibunda dari  Kinar, anak dengan CdLS pada webinar dalam sesi curah pendapat.  Ina yang pernah tinggal di Ambon merasakan pertumbuhan kepala Kinar lambat. Ia melahirkan di Yogyakarta  dan selama masa kehamilan memeriksakan di RS Panti Rapih melalui operasi caesar.  Waktu dilahirkan, Kinar tidak menangis. Besoknya ia masih belum menangis juga dan sang ibu tidak tahu Kinar  mengalami apa. Ketika disusui mukanya biru dan menangis lirih sekali. Saat  lahir jantungnya juga belum menutup secara sempurna dan Kinar  diberi susu formula.

 

Lalu Kinar menjalani beberapa cek laboratorium  karena dugaan biasanya kena toksoplasma. Kemudian mulai ada tanda-tanda CdLS dari ciri-ciri fisik seperti alis, mata, dan hidung. "Waktu itu kami masih denial. Dalam perkembangannya dokter bilang tidak apa-apa diobservasi dulu. Berat badan pun tidak naik,"jelas Ina.

 

Kinar saat ini masih dalam observasi RS Dr. Kariadi dan RS Panti Rapih. Ia belum bersekolah dan memiliki kemampuan bicara yang masih terbatas. "Setiap akan kontrol Ina mengoleksi dulu banyak pertanyaan. Kinar baru bisa jalam di 19 bulan...fokus kami terapi dan berharap terus bisa mandiri.

 

Dikutip dari web klik.dokter,

  terkait anak berkebutuhan khusus, mungkin kondisi orang tua yang merawatnya tidak pernah terpikirkan oleh kita. Padahal sangat penting untuk bisa memahami betapa pentingnya kesehatan mental orang tua anak difabel. Sebab, kebanyakan orang hanya fokus pada kondisi si anak, tanpa memperhatikan kesehatan mental sang orang tua. Padahal, jika kondisi mental orang tuanya tak dalam keadaan baik, anak juga bisa kena imbasnya.

 

Menjadi orang tua dari anak difabel memiliki tantangan tersendiri, bahkan dapat memicu stress. Berdasarkan laporan hasil penelitian, orang tua, terutama ibu, memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih buruk ketimbang ibu dari anak-anak yang lahir dalam keadaan bukan difabel.

 

Ada sejumlah alasan mengapa orang tua anak difabel mengalami kesehatan mental yang lebih buruk. Pertama, mereka biasanya memiliki intensitas yang lebih tinggi dalam merawat anggota keluarganya.

 

Menurut dr. Seruni Mentari Putri dari KlikDokter,  butuh waktu bagi orang tua untuk bisa sampai pada tahapan penerimaan seutuhnya. Ketika sudah sampai pada tahapan penerimaan pun, bisa terjadi kemunduran ke tahap yang lebih rendah, meningkat lagi, turun lagi, dan seterusnya.

 

Selain itu, pikiran mereka juga “dipecah” dengan sulitnya mencari pusat layanan atau tempat terapi yang tepat untuk buah hati.

 

Belum lagi dengan isolasi sosial yang kerap diterimanya. Terkadang, orang tua dari anak-anak bukan difabel enggan untuk bersosialisasi dengan orang tua anak difabel karena dianggap berbeda dan takut direpotkan.

 

Dilansir dari berbagai sumber, beberapa tips yang bisa dilakukan orangtua anak difabel  agar kesehatan mentalnya tetap dalam keadaan stabil, adalah:

 

Walau sangat sibuk,  tetap luangkan waktu untuk istirahat yang cukup. Istirahat yang dimaksud tidak sekadar tidur, tapi bisa juga menjauh dari “reribet atau riweuh-"nya rutinitas sehari-hari. Cobalah untuk menerapkan jadwal harian (bergantian) dengan pasangan atau anggota keluarga lainnya dalam merawat anak difabel.

 

Tetap bersyukur dengan apa yang terjadi saat ini dan selalu nikmati setiap peristiwa demi peristiwa dalam hidup. Bersyukur dan ikhlas adalah obat yang mampu menawar rasa lelah, sehingga para orangtua tak akan terlalu fokus pada bagian yang susah-susah saja.[]

 

Reporter: Puji Astuti

Editor     : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.