Hari Raya, Kericuhan Hassanudin dan Isu-Isu Difabel Yang Meliputinya
Siolider.id - Beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri, kericuhan itu bermula. Ketika salah seorang professor dari Badan Riset dan Inovasi—BRIN, Thomas Djamaludin menulis beranda Facebook miliknya dengan alasan pentingnya Sidang Isbat dilakukan. Melalui media sosial tersebut, Dia coba menguraikan pendapatnya tentang metode Hilal yang digunakan Muhamadiyah yang dinilai sudah usang. Setelah mengemukakan satu persatu argumen untuk mendukung pendapatnya, Dia kemudian menutupnya dengan kutipan Surat An-Nisa (59) yang menyatakan bahwa orang-orang beriman harus taat pada Allah, Rasulnya dan ulil amri. Singkat cerita, peneliti yang bekerja untuk lembaga penelitian milik Pemerintah ini menyimpulkan bahwa, ketika terdapat perbedaan kesepakatan penetapan waktu hari raya yang terjadi maka keputusan ulil amri lah—dalam hal ini adalah Pemerintah—yang harus ditaati.
Postingan Thomas pada 19 April 2023 pada akhirnya memicu kontroversi dari pengguna media sosial. Ragam komentar maupun serangan lalu tertuju kepada Dia. Ketika kita membaca deretan respon pada kolom komentar potingan tersebut, ada dua akun yang menonjol di dalam perdebatan yakni akun Ahmad Fauzan S dan akun AP. Hasanudin. Tak ayal lagi, kedua akun ini ikut menjadi viral. Apalagi setelah Hassanudin dalam komentarnya melakukan ancaman verbal yang ditujukan langsung terhadap salah satu Ormas berbasis agama yang cukup besar di Indonesia saat ini, Muhammadiyah. Polemik ini pun berujung pada dilaporkannya Hasanuddin oleh pihak Muhammadiyah ke kepolisian setempat pada 30 April 2023. Hassanudin ditangkap.
Sesaat setelah kericuhan terjadi di jagad maya dan Hasanuddin yang harus berurusan dengan hukum, Orangtuanya melakukan ‘pembelaan’ dengan menyampaikan bahwa Hasanuddin pernah mengalami autisme. Entah untuk tujuan apa Orangtuanya harus mengemukakan riwayat difabilitas kepada khalayak publik dalam konteks polemik yang sedang Hasanuddin hadapi. Namun seperti itu, hemat penulis ada beberapa catatan penting terkait isu-isu difabel yang dapat menjadi pembelajaran bersama pada kasus Hasanuddin ini, terutama untuk mengenal lebih jauh difabel autisme.
Gambar beberapa media yang meliput pemberitaan Hassanudin memiki Riwayat Autisme
Pertanyaan-Pertanyaan Terkait Isu Difabel Yang Terselip Di Polemik
Untuk mengawali tulisan ini, Penulis coba mengajak pembaca untuk menjawab beberapa pertanyaan reflektif. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tentu tidak secara khusus diajukan pada pihak-pihak tertentu. Harapannya, tulisan ini nantinya dapat membuka ruang-ruang diskusi yang lebih dinamis dan bisa melengkapi informasi yang berkaitan dengan invisible difabel, khususnya autisme, di tengah minimnya pengetahuan masyarakat umum tentang keberagaman difabel dewasa ini.
Beberapa pertanyaan terkait isu isu difabel di dalam pemberitaan kasus Hasanuddin: Pertama, hadirnya klaim Orangtua Hassanudin, dalam hal ini Ibu kandungnya yang menyatakan bahwa anaknya pernah mengalami autisme. Klaim ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah autisme itu? Kedua, penggunaan kata ‘pernah’ sebagaimana pada pernyataan Orangtua Hasanuddin adalah pilihan kata yang tepat? Ketiga, autisme sebagai jenis difabel yang dialami oleh individu termasuk dalam kategori apa? Keempat atau yang terakhir, apakah persepsi netizen tentang autisme pada kolom komentar di salah satu postingan Twitter Agus Susanto—yang memposting ulang pemberitaan polemik Hasanuddin dengan Ormas—sudah tepat?
Klaim Orangtua anak dengan autisme, apakah autisme itu?
Setelah kasus Hassanudin menjadi viral, beberapa media seperti fajar.co.id, suarajatim.id, suarajoglo dan populis memuat pemberitaan ‘pembelaan’ Orangtua Hasanuddin yang menyatakan bahwa anaknya pernah memiliki autisme. Namun klaim Orangtua Hasanuddin soal diagnosa autisme anaknya masih belum diketahui kebenarannya sampai saat ini. Di sini, penulis tidak akan mencari tahu lebih jauh pada kebenaran klaim tersebut karena lebih tertarik untuk membahas definisi autisme itu sendiri.
Autisme atau yang sekarang disebut dengan Autism Spectrum Disorder—ASD merupakan gangguan perkembangan individu dengan karakteristik di antaranya kurangnya kemampuan dalam komunikasi sosial, ketertarikan atau minat yang terbatas pada bidang tertentu dan perilaku yang berulang ulang. ASD dapat didiagnosa di usia berapa saja, namun pada umumnya sudah dapat terdiagnosa pada usia 2 tahun pertama kelahiran. Istilah spektrum mengacu pada fakta bahwa beberapa orang dapat memiliki gejala pada skala ringan sementara beberapa yang lain memiliki gejala pada skala berat.
Autisme termasuk dalam kategori difabel apa?
Pada individu dengan ASD ringan, secara kasat mata bisa jadi tidak menampakkan gejala-gejala sebagaimana individu dengan ASD berat. Andai gejala-gejala tersebut tampak, seringkali itu dinilai abnormal oleh orang-orang pada umumnya. Gejala pada ASD ringan bisa disalahartikan dengan ketidak sopanan, terlalu frontal atau bahkan dinilai sebagai keanehan. Oleh karena begitu sulitnya untuk dapat mengetahui gejala ASD ringan ini, orang-orang di sekitarnya acapkali tidak menyadari individu dengan ASD ringan adalah individu difabel. Dalam Bahasa Inggris, difabel ASD ini diistilahkan dengan invisible difability.
Menurut Mathews (1994), invisible difability—ID adalah difabel tersembunyi yang sulit disadari oleh orang di sekitarnya kecuali pada saat individu bersangkutan secara terbuka memberitahukan tentang kondisi kedifabelannya. Dari definisi tersebut, ASD ringan ini dapat dikategorikan sebagai ID karena sulitnya orang-orang untuk menyadari bahwa gejala-gejala yang terjadi merupakan bentuk keterhambatan.
Di UU No.8 tahun 2016, ASD sendiri masuk dalam kategori difabel mental dengan tipe gangguan perkembangan. Tipe gangguan yang lain adalah hambatan dalam belajar seperti disleksi, disgrafia dan diskalkulia. Ada juga difabel mental dengan tipe psikososial seperti bipolar, gangguan kepribadian ambang dan gangguan disosiatif. Selain yang telah disebutkan, sebenarnya masih banyak ragam jenis difabel lainnya dengan ragam keterhambatan yang tidak tampak secara fisik dan sulit untuk disadari keberadaannya. Situasi tersebut tidak hanya sulit diketahui orang lain, namun juga menghambat individu untuk melakukan aktifitas sehari hari maupun berpartisipasi aktif sebagai warga negara berdasarkan persamaan hak.
Apakah klaim Orangtua Hassanudin yang mengatakan anaknya pernah mengalami autisme sudah tepat?
Di beberapa pemberitaan media, narasi bahwa Hassanudin pernah mengalami Autisme kerap dimunculkan. Teks ini kemudian mengantarkan kita pada pertanyaan, apakah kata “pernah” pada kalimat ‘pernah autisme’ penggunaannya sudah tepat untuk mengetahui konteks difabel autisme sebenarnya?
Dari perspektif medis, ASD merupakan kondisi yang berlangsung sepanjang hidup. Kondisi ini tidak dapat disembuhkan atau dihilangkan, namun masih bisa diredam atau dikurangi sampai takaran tertentu melalui penanganan secara tepat.
Berikut, penulis coba melakukan eksplorasi dari perspektif lain, salah satunya individu dengan ASD. Di sini penulis mengambil pernyataan dari dua individu ASD bergejala ringan terkait kondisi yang mereka alami. Pertama, Lala Stellune yang merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung. Saat ini dia sebagai freelancer di bidang kesenian sekaligus founder salah satu organisasi kepemudaan yakni Komunitas Pemuda Autisme Indonesia.
Lala pada sebuah acara bertajuk Neurodiversity Week, 20 april 2022 menyampaikan kekeliruan yang kerap dialami Orangtua anak dengan ASD di Indonesia. Kepada panelis asing, Dia dalam bahasa Inggris menjelaskan, topik ASD di Indonesia masih memberikan porsi perhatian lebih pada situasi dan kondisi yang dialami individu ASD di masa anak anak. Hal tersebut berimplikasi pada mayoritas orangtua yang beranggapan bahwa, gejala ASD yang dialami pada masa kanak-kanak akan berkurang ketika anak mereka telah beranjak dewasa dan dapat hidup layaknya individu lain pada umumnya. Parahnya, pada situasi tersebut orangtua kemudian meyakini anak mereka telah sembuh dari ASD. Dia juga menyayangkan kekeliruan itu turut dipercaya oleh sebagian besar individu ASD lainnya.
Lala kemudian mengambil contoh dari pengalaman hidupnya dan lebih lanjut membandingkan pengalamannya ketika tinggal di Pennsylvinia, Amerika dengan di Bandung, Indonesia. Menurut Dia, kehidupan di Amerika yang berkaitan dengan interaksi sosial di masyarakat lebih mudah dilakukan jika dibandingkan saat tinggal di Indonesia. Hal ini terjadi karena orang-orang di Pennsylvinia yang terbiasa menyampaikan pesan mereka secara langsung dan frontal ketika ada tindakan yang dianggap keliru. Kebiasaan itulah yang kemudian memudahkan dirinya untuk mengevaluasi kesalahan yang dia perbuat saat berinteraksi, tanpa perlu menebak-nebak pesan yang tersirat melalui bahasa non-verbal maupun kalimat sindiran, kemudian coba memperbaiki diri menjadi lebih baik setelahnya.
Berbeda dengan cara orang-orang di Bandung pada umumnya yang menyampaikan pesan mereka menggunakan kalimat sindiran maupun bahasa non-verbal yang menunjukkan ketidaksukaan mereka ketika berinteraksi. Kebiasaan tidak menyampaikan pesan secara langsung seperti itulah yang menyulitkan bagi Lala untuk menyadari bahwa gejala ASD yang ada pada dirinya sedang mendapat koreksi dari orang lain saat berinteraksi di ruang sosial. Apalagi sejak kecil, Dia mengalami kesulitan untuk bisa memahami kalimat sindiran dan bahasa non-verbal dan kondisinya masih sama hingga sekarang.
Individu dengan ASD yang kedua yakni Bayu Dwito Wicaksono, alumnus Institut Teknologi 10 November di jurusan Teknik Industri. Saat ini Dia bekerja sebagai karyawan tetap di departemen Global Communication, divisi Social Media Assistant, United Nation.
Bayu melalui Twitternya juga menjelaskan gejala ASD yang dia alami sejak kecil hingga saat ini dalam sebuah threet. Dia menyebutkan beberapa gangguan sensori taktil yang pernah dialami, diantaranya yakni ketika pertama kali mengikuti orientasi mahasiswa atau Ospek. Saat itu salah seorang mahasiswa setingkat di atasnya berteriak tepat di dekat telinganya dan kemudian merasakan sensasi berdenging yang menyakitkan. Hal serupa dia alami saat telah bekerja. Teriakan atasannya membuat dirinya merasa kesulitan melakukan apapun pada saat itu. Selain gangguan sensorik taktil, Dia juga menjelaskan dalam threetnya mengenai obsesi khusus terhadap serial anime One Piece yang didalaminya sejak kecil hingga dewasa.
Berangkat dari dua perspektif berbeda di atas—medis maupun perspektif individual ASD sendiri—tampak bahwa klaim Orangtua Hasanuddin bahwa anaknya pernah mengalami ASD adalah pernyataan yang sama sekali keliru karena pada dasarnya individu dengan ASD akan membawa gejala ASDnya sepanjang hidupnya.
Apakah ragam respon netizen yang menunjukkan persepsi khalayak soal autisme—sebagaimana dalam kolom komentar postingan Twitter Agus Susanto IV—sudah tepat?
Postingan Agus Susanto IV/ @cobeh2022
Masih terkait klaim Orangtua Hasanuddin yang mengatakan anaknya pernah mengalami autisme tentu saja mengundang sejumlah respon dan komentar dari netizen. Parahnya, penilaian negatif justru ditujukan terhadap individu autisme yang secara tidak langsung menggambarkan kekeliruan dari persepsi masyarakat. Dalam postingan Agus (@cobeh2022) itu hadir anggapan miring seperti:
“Wkwkwk, klo gitu BRIN kecolongan dong, masak punya kelainan jadi peneliti, konyol banget, wkwkwkw”.
“Anak cacat mental, kok bisa jadi peneliti BRIN? Kira kira petinggi BRIN cacat gak ya? Nanya serius!”
“Terus kalau pernah memiliki Riwayat ABK kok lolos kerja di BRIN ya? Dulu waktu lamaran kerja bikin curriculum vitae (informasi lengkap & kronologis mengenai data diri) gak ya?”
“Autis masuk BRIN, kok bisa. BRIN itu dulunya Ristek, Riset dan Teknologi. Kok bisa ya diisi orang Autis gini. Bagaimana gak hancur ini negara. Diisi oleh orang2 yg tak kompeten”.
“Bisa jadi kalau liat tingkah polanya, apalagi yang joget2 gitu. Tapi kenapa bisa diterima di BRIN, aneh gak sih?”
Sejumlah komentar negatif di atas kemudian memunculkan ragam penilaian yang mengarah pada kesimpulan bahwa individual dengan ASD adalah individu bodoh, tidak memiliki kompetensi, tidak pantas untuk bekerja di lembaga sekelas BRIN dan ragam penilaian negatif lainnya. Berangkat dari sini, pertanyaan yang penulis ajukan lebih lanjut yakni, apakah semua anggapan negatif terkait ASD itu benar adanya?
Hemat penulis, ASD merupakan kondisi yang memiliki spektrum yang beranekaragam. Ada ASD dengan gejala berskala ringan, sedang maupun berat. Keberagaman spektrum ini mempengaruhi tingkat intelejensia dan kemandirian individu ASD dalam menjalani kehidupan mereka.
Di tingkat kemandirian, mengacu sebuah jurnal yang ditulis oleh Posar dan Visconti (2019), menyebutkan bahwa ada sekira 19.7% individual ASD yang dapat hidup mandiri sepenuhnya. Artinya, masih ada populasi dengan ASD yang berpotensi memiliki hidup yang baik, dalam hal ini termasuk potensi memiliki kompetensi untuk mengisi posisi kerja di perusahaan atau organisasi secara layak. Sebagai contoh, penulis coba mengajukan dua contoh WNI yang merupakan individu dengan ASD yang bekerja di lembaga maupun perusahaan terkemuka. Sebut saja Bayu Dwito Wicaksono yang saat ini berkarir di PBB dan Juliana Cen yang bekerja untuk perusahaan multinasional Microsoft. Dari dua orang tersebut tampak bahwa sebagian individu dengan ASD harus diakui memiliki kompetensi yang sangat baik, bahkan untuk lembaga internasional maupun perusahaan multinasional sekelas PBB dan Microsoft.
Di tingkat kecerdasan, tidak semua individual dengan ASD merupakan individual yang tingkat intelejensianya di bawah rata-rata sebagaimana anggapan netizen di kasus postingan Twitter Agus. Di dunia nyata, ada sejumlah individu dengan ASD yang memiliki kecerdasan di atas rata rata. Bayu melalui cuitan di twitternya menceritakan kronologi hidupnya sebelum terdiagnosis dengan ASD. Diketahui bahwa Dia memiliki IQ 132 yang menunjukkan kejeniusan. Hal serupa diakui Elon Musk pada acara Saturday Night Live dimana Dia terdiagnosis ASD dengan IQ 155, terpaut lebih jenius dibandingkan Bayu.
Harapan penulis
Penulis pada tulisan ini mencoba untuk mendalami ASD menggunakan isu terkini dengan menggabungkan antara teori (ilmu medis) dengan situasi sesungguhnya di lapangan (pengalaman individu ASD). Dari penjabaran pada tulisan ini, ada beberapa harapan dari penulis. Pertama, tulisan ini dapat memperbarui pengetahuan masyarakat mengenai ASD. Kedua, tulisan ini dapat mengurangi anggapan masyarakat yang keliru mengenai ASD. Ketiga, tulisan ini dapat lebih menyadarkan masyarakat akan keberadaan populasi difabel tak kasat mata/Invisible Difability. Semoga saja tulisan ini bermanfaat, demikian dari penulis dan terimakasih.[]
Daftar Pustaka
Untuk daftar Pustaka terkait artikel ini bisa diakses pada link dibawah ini:
Biodata penulis
Rahmat Fahri Naim merupakan individu autistic dan narkolepsi dewasa di Indonesia. Saat ini tergabung di Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia. Ia memiliki minat untuk mendalami isu isu Invisible Difability atau yang dalam Bahasa Indonesianya disebut difabel tak kasat mata. Penulis bisa dihubungi melalui akun r_fahri_n yaitu id instagramnya.
Editor: Ajiwan Arief