Lompat ke isi utama
salah satu kegiatan komunitas netra di jogja

Bisa Terjadi Pada Siapapun, Begini Cerita Difabel Netra Baru yang Bangkit dan Berdaya

Solider.id, Tangerang -Sebagian besar orang yang mengalami penyakit lalu berisiko terhadap gangguan penglihatan apalagi yang sifatnya akut, tanggapan  yang keluar dari mereka kebanyakan  adalah sudah tidak memiliki harapan. Oleh dokter yang merawat (spesialis mata),  biasanya mereka meminta pendamping keluarga untuk sama-sama berbicara tentang risiko mengalami kebutaan  dan bagaimana dampaknya ke depan.

 

Dokter juga membantu dengan pengobatan untuk  mengurangi untuk rasa sakit misalnya dengan glukomanya. Namun yang lebih berat adalah sikap denial atau penolakan dari si pasien sendiri misalnya  dengan proses marah kepada Tuhan dan mempertanyakan 'kenapa saya yang alami seperti ini?'.

 

Seperti yang mengalami  Sindrom Stevens Johnson di usia anak, biasanya terapi dilakukan oleh dokter spesialis anak tetapi pada mata tidak ditangani dengan lebih mendalam. Seperti penuturan seorang dokter ahli mata, kondisi ini diakuinya paling sulit.  Maka ia sangat kagum dan hormat serta semangat kepada orang yang mengalami sindrom ini. 

 

Latif, seorang difabel netra, pada sebuah zoom meeting yang dihelat oleh Mitra Netra mengatakan. tahun 2004 ia sudah alami penurunan fungsi mata. Tahun 2007 dokter bilang ia juga mengalami  katarak. Lalu ia dirujuk kepada seorang dokter spesialis mata untuk dilakukan operasi.

 

Baca Juga: Pentingnya Konseling Bagi Difabel Netra Baru

 

Tahu  2011 Latif menjalani operasi lagi karena kornea matanya bocor.  Ia mendapat kornea mata dari donor l. Selama dua bulan ia bertahan dengan kornea namun akhirnya bocor lagi,  lalu ia memakai kornea buatan.

 

Latif memiliki saudara kembar yang sering membantunya membacakan pelajaran dan  soal-soal saat di sekolah dan di rumah. Saat orangtuanya memberikan tanggapan baik itulah ia merasa bisa bertahan dan berprestasi sampai sekarang. Dari penjelasan yang disampaikan oleh kawan-kawan netra di Yayasan Mitra Netra kemudian ia tergugah. Ia pernah berpikir bahwa ia ingin melihat kembali tetapi dari semua yang disampaikan oleh orangtua dan dari Yayasan  Mitra Netra kemudian ia  termotivasi ingin belajar supaya bisa  kuliah, sama  seperti kembarannya.

 

Di Mitra Netra ia bergiat kursus komputer dan  orientasi mobilitas serta les bahasa Inggris dan Jerman. Latif lalu fokus ke komputer sebab ia memiliki pendirian bahwa "kalau ingin kuliah, perdalam dulu komputer". Kemudian ia mulai aktif penuh di Mitra Netra setelah lulus kuliah.

 

Cerita lain disampaikan oleh Ahmad Halim Yulianto, seorang difabel netra yang saat ini berdomisili di Bogor, setelah lama tinggal di Kota Solo.

 

Yulianto pernah mengalami penyakit Sindrom Steven Johnson di usia sekolah. Itu terjadi di tahun 2004 ia bersama keluarga tinggal di Kabupaten Muara Enim. Ada empat dokter spesialis yang merawatnya saat itu. Ia pernah dirawat di ruang ICU bahkan pernah divonis tidak memiliki harapan hidup. Setelah melewati masa kritis, beberapa minggu kemudian dokter spesialis mata memiliki kecurigaan sebab kelenjar matanya mengering. Lambat laun selaput matanya tertutup. Akhirnya dokter menyatakan kornea mata rusak dan harus dicangkok. Di saat itulah Yulianto merasa sangat terpuruk. Ia sangat membutuhkan. konseling. Orangtuanya pun juga mengalami hal sama.

 

Ketika dirawat di Jakarta, ia ingat segala hal yang pernah disampaikan oleh dokternya di Muara Enim tentang segala kemungkinan buruk dan nasihat untuk menerima keadaan. Lalu ia menjalani cangkok mata pertama kalinya dengan sponsor tokoh di daerahnya. Dokter kala itu sudah mewanti-wanti bahwa kornea buatan tidak akan bertahan hingga 10 tahun sehingga Yulianto sudah bersiap diri. Benar saja, tahun 2008 ia melepas kormea matanya.

 

Yulianto mengakui, orangtuanyalah yang memiliki dukungan paling kuat kepadanya. Apalagi saat itu di  tahun 2007 ia mengalami diskriminasi di sekolahnya. Ia melanjutkan SMA  di wilayah Solo Raya, tempat kelahiran orangtuanya.  Di saat guru sekolahnya menganjurkan dirinya masuk SLB, disitulah ia merasa jatuh terpuruk. Akhirnya ia memilih untuk tidak bersekolah. 

 

Tahun 2010 Yulianto dikenalkan oleh saudaranya kepada komunitas di Panti Rehabilitasi bagi difabel netra, yakni Balai Rehabilitasi Bakti Chandrasa milik provinsi Jawa Tengah. Disitulah kemudian dia mengenal diri lebih dalam tentang kebutaannya. Ia mengalami penerimaan lebih dalam dan belajar banyak dari teman-temannya. Ia merasa nyaman saat itu, untuk pertama kali merasakan pertemanan yang 'senasib' sehingga hari-hari sangatlah biasa jika para warga panti saling 'mengejek', menertawakan kondisi masing-masing  dalam konteks bercanda yang disampaikan dengan bahasa sehari-hari mereka.

 

Yulianto juga belajar tentang mobilitas serta  vokasi sebagai program dari panti diantaranya keterampilan memijat hingga ia lulus dan bekerja secara mandiri dengan membuka panti pijat. Ia lalu  memulai mengadvokasi diri sendiri kemudian mengajak teman-temannya di komunitas. Ia membentuk organisasi Forum Komunikasi Tuna Netra (FKTN) Surakarta sebagai gabungan dari organisasi difabel  netra yang ada di Kota Solo. Sejak saat itulah ia kemudian sangat aktif menyuarakan pemenuhan hak-hak difabel netra.[]

 

Reporter: Puji Astuti

Editor      : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.