Lompat ke isi utama
gambaar orang gunakan VR

Nasib Pekerja Autistik dalam Genggaman Metaverse

Solider.id – SAAT ini topik metaverse begitu ramai dibicarakan publik. Kehadirannya di bumi dirasa akan membawa manusia pada peradaban baru. Bahkan, melampaui batas-batas kehidupan sebelumnya. Apabila metaverse benar bersifat humanis dan berpihak kepada pekerja autistik.

 

Adalah dunia virtual dengan pengalaman yang benar-benar nyata, begitu pandangan Mark Zuckerberg tentang metaverse, dikutip dari The Verge. Bukan sekadar menekan tombol di laptop menggunakan jari seperti dulu. Melalui salah satu teknologi penunjang yaitu virtual reality (VR), kita akan diajak untuk merasakan langsung pengalaman hidup di dunia virtual.

 

Tidak terbatas pada satu dua kegiatan saja. Mau itu bekerja, bermain, berjalan-jalan, dan lain sebagainya, semua dapat dilakukan di dalam metaverse. Hal ini karena metaverse telah didukung pilar-pilar utamanya, yang bekerja secara utuh dan terintegrasi (Ball, 2021). Alhasil, kita bisa bebas menciptakan horizon untuk beraktivitas sesuai ambisi pribadi tanpa ada kendala.

 

Apalagi bagi pekerja autistik, keberadaan metaverse sangat membantu kehidupan mereka. Sebut saja kutipan dari Forbes.com, penggunaan VR pada pekerja autistik dikatakan mampu melejitkan kemampuan berkomunikasi mereka. Oleh sebab keberadaan VR membawa mereka pada semesta baru, yang bisa dijadikan sebagai ruang mengaktualisasikan diri sebaik mungkin. Hal ini terbukti dari adanya opsi role play untuk pekerja autistik memeragakan bagaimana berbicara di depan umum tanpa harus melakukan kontak mata.

 

Metaverse adalah jawabannya

Sebelumnya, autism spectrum disorder (ASD) merupakan difabel dengan perkembangan otak dan saraf (neurologis) yang berlaku seumur hidup. Dengan mengalami kedifabelan jenis ini, seorang individu akan memiliki cara berkomunikasi, berperilaku, dan bagaimana sensorik merespons masukan informasi yang berbeda dengan orang-orang non autistik. Karena berbasis pada spektrum, seorang individu autistik dengan yang lainnya akan memiliki kondisi yang berbeda pula; ada yang membutuhkan pendampingan orang lain dalam beraktivitas, ada juga yang bisa berkegiatan secara mandiri. 

 

Meski begitu, perbedaan kondisi pekerja autistik dengan orang-orang non autistik, secara tidak langsung berpotensi membuat kebutuhan pekerja autistik tidak terpenuhi dengan baik, bahkan tak jarang menimbulkan konflik lebih lanjut dalam hubungan profesional. Sebut saja ada seorang individu autistik yang sebenarnya memiliki kendala dalam berkomunikasi. Namun bagi orang-orang terdekat, itu bukanlah masalah besar. Padahal, ada kemungkinan kendala tersebut memberi dampak berkepanjangan, seperti miskomunikasi dengan atasan dan rekan kerja.

 

Inilah sebabnya kehadiran metaverse membawa berkah bagi pekerja autistik. Seperti disinggung sebelumnya, metaverse diamini dapat memudahkan pekerja autistik dalam melakukan apa pun. Buktinya — dikutip dari laman resmi Facebook.com —  empat dari lima janji metaverse dikabarkan mengedepankan prinsip inklusivitas, di antaranya: (1) kebebasan berekspresi, (2) membangun jejaring talenta muda lainnya dengan keragaman latar belakang, (3) teknologi VR yang ramah difabel, dan (4) tujuan pembuatan teknologi dalam mengentaskan permasalahan kelompok difabel.

 

Pernyataan ini bukan sekadar omong kosong. Tim metaverse diketahui telah menghabiskan dua tahun untuk mengeksplorasi potensi masalah inklusivitas baru dalam metaverse dan mencari solusinya. Mereka mempekerjakan orang-orang dengan keragaman latar belakang — termasuk pula orang-orang dengan kondisi saraf yang berbeda — dalam mengembangkan teknologi VR untuk metaverse.

 

Kerja keras tersebut pun berbuah manis. Kini, metaverse tidak harus diakses menggunakan perangkat jemala. Secara tidak langsung, pekerja autistik dijanjikan bisa berpartisipasi dalam metaverse menggunakan perangkat apa pun, termasuk ponsel. Tak ayal, eksistensi metaverse dengan teknologi VR telah mematahkan keraguan yang tertuju pada teknologi VR — yang dipercaya tidak mampu membantu individu autistik dengan hambatan fisik dalam menggerakkan bagian tubuh tertentu.

 

Terlebih lagi, pekerja autistik bisa merepresentasikan diri mereka sebebas mungkin menggunakan fitur avatar dengan ratusan pilihan. Bayangkan, Center for BrainHealth and the Child Study Center di Universitas Yale dengan teknologi VR-nya membantu individu autistik dewasa dalam menangani berbagai situasi profesional. Apalagi metaverse dengan teknologi VR yang lebih membebaskan bagaimana seharusnya berekspresi di dunia kerja. Pekerja autistik tidak perlu lagi mengkhawatirkan raut wajah mereka saat berinteraksi dengan orang-orang non autistik. Terutama di pertemuan profesional yang kerap kali menuntut mereka untuk menampilkan ekspresi terbaik.

 

Selain itu, kehadiran metaverse juga membuka ruang bagi pekerja autistik untuk terlibat dalam semua kegiatan penting tanpa ada kendala. Jika ruang kantor terlalu ramai, misalnya, individu autistik dapat mengecilkan volume suara dalam ruang pribadinya tanpa harus menyesuaikan diri dengan volume suara sesungguhnya, sehingga bisa lebih mudah berkonsentrasi pada orang-orang di sekitar. Apalagi jika individu autistik non verbal atau mempunyai hipersensitivitas terhadap suara, ia dibebaskan memilih opsi memperoleh terjemahan dari suatu percakapan yang bising, bahkan ke bahasa sendiri.

 

Dengan demikian, realisasi metaverse dapat memungkinkan pekerja autistik untuk menikmati pengalaman kerja yang sama dengan orang-orang non autistik. Tidak lebih, tidak kurang. Menghilangnya batasan-batasan pada pekerja autistik secara langsung meningkatkan produktivitas kerja mereka. Hasil studi Jacob dkk (2015) menunjukkan bahwa pekerja autistik dapat memberi manfaat bagi perusahaan dengan bekerja secara konsisten dalam jangka waktu yang panjang. Keuntungan ini semakin berlipat bilamana perusahaan menyediakan aksesibilitas untuk pekerja autistik sekaligus memberi ruang kepada mereka untuk bertumbuh dengan baik.

Sejumlah kekhawatiran

Namun, bukan berarti metaverse hadir tanpa cela. Apabila ditelusuri lebih jauh, masih banyak sekali kendala operasional dan esensial metaverse yang dapat memicu permasalahan lebih lanjut pada pekerja autistik. Alih-alih membantu produktivitas pekerja autistik, kendala-kendala ini malah menghambat pekerja autistik.

 

Pertama, pembuatan teknologi VR untuk metaverse diketahui masih menggunakan sudut pandang orang-orang non autistik dan bersifat “diskriminatif”. Alhasil dalam pemakaiannya, teknologi VR secara tidak langsung memaksa orang-orang autistik untuk merasakan pengalaman yang bukan milik mereka. Fitur avatar, misalnya, meski membebaskan pekerja autistik untuk membuat profil yang sudah lama didambakan, tetap saja berpotensi menimbulkan rasa rendah diri pada diri pekerja autistik, karena keberadaan hanya diapresiasi dari penampilan. Selain itu, orang-orang non autistik juga akan menaruh ekspektasi berlebih kepada pekerja autistik, untuk berperilaku sesuai tuntutan sosial. Ini secara tidak langsung seirama dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa 60 persen responden mengkhawatirkan meningkatnya angka bullying dan diskriminasi terhadap orang-orang difabel di dalam metaverse.

 

Berikutnya, meskipun penggunaan teknologi VR sudah dijanjikan tidak akan membebani fisik penggunanya, tetap saja memberatkan saraf pekerja autistik. Hal ini karena teknologi VR untuk metaverse menuntut konsentrasi dalam mengoperasikan controller dengan menggunakan kedua tangan secara bersamaan. Di waktu yang sama, pekerja autistik juga diharuskan untuk berkonsentrasi setiap mengambil keputusan penting. Dengan mempertimbangkan kondisi pekerja autistik yang hiperfokus, mengontrol gerakan avatar akan menjadi pekerjaan berat. Walaupun nantinya metaverse tidak menggunakan controller,  mengendalikan tubuh agar sesuai dengan jalan berpikir tetaplah sulit.

 

Ketiga, realisasi metaverse menguras banyak biaya. Dikutip dari laman Laptop Mag, total harga semua peralatan metaverse mencapai Rp 11 juta per orang. Itu baru peralatan fisik. Belum fitur-fitur tambahan dalam metaverse yang baru bisa dipakai setelah dibeli. Tak ketinggalan biaya untuk membeli kuota internet dengan jaminan kualitas koneksi terbaik. Apalagi di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (daerah 3T) dengan kuota internet 1 GB dibanderol Rp 120.000 (Jatmiko, 2021). Realisasi metaverse jelas membutuhkan lebih banyak biaya. Menjadi beban ekonomi tersendiri bagi orang-orang autistik (apalagi yang tinggal di daerah 3T), yang notabenenya memiliki biaya hidup lebih besar dari orang-orang non autistik.

        

Menyita banyak waktu pula. Mengingat orang-orang autistik membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan hal-hal baru. Lebih banyak ketimbang orang-orang non autistik. Walau pemangku kepentingan mencoba mengajarkan cara menggunakan teknologi VR untuk metaverse kepada pekerja autistik, tetap saja memakan waktu yang lama. Belum lagi menyebutkan pekerja autistik yang belum pernah tersentuh layanan internet — semakin membutuhkan banyak waktu.

 

Alhasil, realisasi metaverse berpotensi memperlebar ketimpangan antara pekerja autistik dan orang-orang non autistik, baik aspek kultural maupun struktural. Alih-alih membantu, belum tuntasnya penyelesaian masalah operasional dan esensial malah memberi beban berlipat kepada pekerja autistik. Mengharapkan kemajuan ekonomi nasional saja sulit, apalagi mengupayakan pekerja autistik untuk bekerja secara produktif.

 

Masih terbuka

Andai kata masih berpikir metaverse mustahil, maka realitanya akan mengikuti seperti itu. Kecuali jika tetap memercayai adanya peluang untuk memperbaiki masalah operasional dan esensial metaverse.

 

Dengan memulai gerakan dari akar rumput, yakni merealisasi metaverse dengan orientasi inklusif. Meningkatkan angka partisipasi pekerja autistik dalam pengembangan metaverse. Mulai dari proses perencanaan hingga pengambilan keputusan penting. Mengedepankan prinsip bahwa melibatkan pekerja autistik dalam pengembangan metaverse adalah harga mati.

 

Gerakan ini haruslah diterapkan secara serentak, tidak bisa bergerak sendiri-sendiri. Mengingat realisasi metaverse membutuhkan konektivitas antar daerah secara kontinyu, sehingga kolaborasi antar perusahaan/komunitas dalam mengembangkan teknologi metaverse harus dilakukan. Yang artinya, dalam konteks inklusivitas, gerakan juga perlu menggandeng semua pekerja autistik dan komunitas autisme dalam pengembangan metaverse.

 

Tak dimungkiri nantinya akan tercipta metaverse dengan orientasi inklusif. Ekosistem sosial pun dipastikan sangat ramah autisme. Fitur avatar tak lagi menimbulkan rasa rendah diri, malah membantu pekerja autistik untuk berekspresi secara nyaman. Pekerja autistik pun tidak akan menerima diskriminasi. Sehingga bisa mengaktualisasi diri dengan bekerja secara produktif — sesuai dengan kapabilitas.

 

Belum lagi fisik teknologi VR untuk metaverse. Bobot sesuai kondisi spektrum pekerja autistik, tanpa membebani tubuh. Perangkat controller pun bekerja sesuai jalan berpikir. Bisa digerakkan kapan pun dan di mana pun, meski kondisi saraf sedang kurang sesuai dengan “peraturan dalam metaverse”.[]

 

 Penulis : Habibah Auni merupakan individu autistik dewasa di Indonesia, saat ini tergabung dalam komunitas Pemuda Autisme Indonesia. Ia memiliki minat untuk mendalami isu autisme dan jurnalisme. Habibah bisa dihubungi melalui akun Facebook-nya Habibah Ahni Auni.

 

Editor   : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.