Cerita Pendamping Perempuan Difabel Berhadapan dengan Hukum dari 3 Wilayah
Solider.id - Dalam melakukan advokasi hak-hak difabel, peran perempuan difabel dalam pendampingan penanganan kekerasan sangat penting. Berikut cerita pendampingan yang pernah dilakukan Luluk Ariyantiny ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Situbondo, Tutik Kurniyawati paralegal Sigab di wilayah Gunungkidul dan Ratu Mas Dewi dari HWDI DPD Jambi.
“Stigma terhadap perempuan difabel sangat luar biasa, kita dianggap orang yang tidak mampu dan tidak bisa apa-apa, ” ujar Luluk membuka sharingnya pada perayaan IWD yang dihelat Sigab, 21/3.
Luluk mencontohkan dirinya yang sejak tahun 2012 sudah memulai advokasi pemenuhan hak-hak difabel. Advokasi tidak bisa dilakukan setahun dua tahun, sampai sekarang pun perempuan difabel masih berjuang.
Luluk menegaskan pentingnya berjejaring dengan semua pihak. Salah satunya melakukan MoU dengan bupati Situbondo. Situbondo sendiri telah mendeklarasikan sebagai kabupaten inklusif sejak 2018, tapi menurut Luluk masih banyak tantangan terkait pemenuhan hak-hak difabel berhadapan dengan hukum.
Baca Juga: Paktik Baik Rica Rahim dan Purwanti dalam Pendampingan Perempuan Raih Kesetaraan
“Beberapa kasus yang kami dampingi sampai saat ini belum ada satu pun yang sampai ke meja hijau,”
Ia menuturkan ada saja hal-hal yang membuat kasus yang mereka dampingi tidak sampai ke pengadilan. Entah karena tersangkanya meninggal dunia sebelum kasusnya naik ke pengadilan, ada yang kabur ketika sudah dilakukan penangkapan. Namun hal itu tak menyurutkan semangat Luluk dan kawan-kawan, mereka tetap melakukan upaya jejaring, merangkul semua pihak untuk mendapatkan dukungan mulai dari level daerah hingga ke Komnas Perempuan.
Hal lainnya yang menurut Luluk penting adalah bagaimana memberikan penyadaran pada perempuan difabel untuk menyuarakan atau memperjuangkan keadaannya dari dirinya sendiri dahulu dan lingkungan sekitarnya.
“Kita ada kelompok difabel desa, kita tidak mau hanya jadi obyek penerima manfaat, tetapi kita juga bergerak mendampingi teman-teman yang berhadapan dengan hukum,”
Luluk juga mengatakan bahwa perempuan difabel yang menjadi paralegal komunitas lebih dipercaya karena si korban merasa nyaman karena lebih tahu cara berinteraksi ketika memberikan keterangan di kepolisian atau proses hukum lainnya.
“Biasanya korban difabel itu malu atau bahkan keluarganya tidak mau kasusnya diekspose apalagi dilaporkan karena menganggap ini adalah aib,” Dengan hadirnya perempuan difabel yang menjadi paralegal, korban lebih berani berbicara dan merasa nyaman didampingi.
Tutik, paralegal Sigab di wilayah Gunungkidul pun mengamini hal ini. “Korban sudah trauma dengan intervensi keluarga, tidak didukung, maka peran kami sebagai paralegal perempuan dalam proses hukum sangat dibutuhkan,”
Mendampingi perempuan difabel yang mengalami kekerasan seksual banyak tantangan, diantaranya keluarga korban di awal banyak yang belum bisa terima untuk dilakukan pendampingan. Alasannya, mereka ragu apakah kasus bisa diselesaikan secara hukum. Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel memakan waktu sangat panjang, jadi keluarga merasa lelah duluan meski baru di tingkat penyidikan atau dimintai keterangan untuk BAP di Polsek atau Polres.
Tutik juga mengeluhkan hambatan dari APH yang sudah menjadi rahasia umum, bahwa ketika ada satu orang dari satu instansi yang mengikuti pelatihan, kemudian sudah memiliki perspektif difabel, orang tersebut di-rolling jabatan. Hal itu bukan sekali dua kali terjadi, tetapi berulang, sehingga advokasi memang perlu dilakukan terus-menerus.
“Saya mulai mengadvokasi hak-hak difabel di Gunungkidul sejak 2015, sampai sekarang sudah banyak perubahan di lingkup APH, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, meski belum bisa dibilang maksimal,” Menurut Tutik semua hal terkait pemenuhan hak-hak difabel berhadapan dengan hukum memang perlu proses, oleh karenanya ia berharap perempuan difabel yang menjadi paralegal di Gunungkidul semakin visibel secara jumlah.
Selain menuturkan hal yang sama dengan Luluk dan Tutik, Ratu Mas Dewi dari HWDI Jambi pada peringatan IWD yang diselenggarakan Sapda beberapa hari sebelumnya menambahkan pentingnya rumah aman bagi perempuan difabel yang menjadi korban. Menurut Dewi, panggilan akrab Ratu Mas Dewi, pelaku kekerasan terhadap difabel mayoritas adalah orang terdekat, sehingga meski pelaku di penjara, tak jarang keluarga menyalahkan korban karena membuat pelaku di penjara. Seperti dikatakan Tutik bahwa tak semua anggota keluarga mendukung keputusan perempuan difabel yang menjadi korban menempuh jalur hukum. []
Reporter: Alvi
Editor : Ajiwan Arief