Lompat ke isi utama
animasi perempuan difabel

Bagini Praktik Baik Pendampingan Perempuan Difabel Berhadapan Hukum

Solider.id – Perempuan difabel memiliki potensi kerentanan yang berlapis sebagai korban dari tindak kekerasan. Secara umum jenis kekerasan dalam bentuk fisik mudah dipahami, semisal kasus kekerasan rumah tangga yang menyakiti pada fisik mereka.

 

Namun, bentuk kekerasan secara psikis masih dianggap hal yang dapat ditolerir, misal saat dalam kondisi emosi, pelaku menyakiti secara verbal melalui ucapan bernada marah atau bahkan hingga merendahkan.

 

Kekerasan psikis ini tidak menimbulkan luka yang dapat teridentifikasi layaknya kekerasan bentuk fisik. Akan tetapi, bila terjadi dalam waktu lama dan dilakukan secara terus-menerus dapat menimbulkan penyakit   jiwa bagi korban.

 

Upaya penanganan kekerasan pada perempuan difabel baik fisik maupun psikis perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak, mulai dari lingkup keluarga terdekat, lingkungan sekitar, pemerintahan setempat hingga di tingkat pusat.

 

Baca Juga: Dukungan keluarga dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Gunung kidul

Praktik baik pendampingan pada perempuan difabel

Praktik-praktik baik dalam upaya pendampingan perempuan difabel perlu digencarkan. Salah satu caranya dengan memberikan edukasi, terhadap para perempuan difabel dan lingkungan sekitar mereka.

 

Menurut Luluk Ariyantiny, Direktur Pelopor Peduli Disabilitas (PPDIS) Situbondo Jawa Timur, perempuan difabel memiliki kelebihan. Di wilayah kerjanya, untuk kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum, dengan perempuan sebagai korban memang belum ada yang sampai ke meja hijau. Namun, pendampingan tetap dilakukan.

“Pelaku ada yang meninggal, ada yang melarikan diri. Kasus-kasus perempuan ini telah mendapatkan dukungan penuh dari aparat penegak hukum dan pemerintahan terkait,” ucap ia.

 

Disampaian Luluk, hal yang urgent adalah bagamana caranya perempuan difabel ikut menyuarakan, mengadvokasi diri mereka sendiri atau difabel di lingkungannya agar bisa mendampingi difabel berhadapan dengan hukum tadi.

“Banyak perempuan difabel yang enggan melaporkan kasus hukumnya, karena mereka sendiri nantinya yang akan merasakan pahit dari respon lingkungan. Namun melalui jaringan advokasi kita berjuang untuk mendapatkan hak-hak difabel sebagai korban. Kami tidak mau ada kasus perempuan seperti kekerasan fisik, psikis, atau kekerasan seksual yang diselesaikan secara damai. Hal ini dilakukan agar memberi efek jera dan pembelajaran kepada pelaku,” pungkasnya.

 

Tutik Kurniyawati, paralegal Gunung Kidul Yogyakarta memaparkan, banyak sekali kelompok-kelompok difabel yang pimpinannya perempuan seperti Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), salah satu peran mereka adalah melakukan pendampingan terhadap perempuan-perempuan difabel.

“Untuk kasus-kasus kekerasan seksual, dalam proses pendampingan memang masih sangat alot. Butuh kepercayaan penuh terhadap pendamping dari korban dan keluarganya karena akan membutuhkan waktu panjang dalam pendampingan proses hukum tersebut. Mulai dari tahapan penyidikan hingga ke pengadilan,” terang ia.

 

Ia mencontohkan, seperti dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) harus berulang dan tidak mungkin satu kali langsung beres. Korban dan keluarganya banyak butuh support agar kasusnya terus berlanjut. Kasus-kasus yang sudah sampai hingga pengadilan, perlu kerja advokasi yang sangat aktif, sehingga mampu membawa perubahan di lingkungan aparat penegak hukum, mulai dari akomodasi yang layak seperti dari sarana prasarana fisik dan nonfisik. 

“Bukan hanya halangan dari luar saja, terkadang dari keluarga pun demikian. Butuh dukungan dari luar keluarga untuk kasus tersebut. Butuh aparat penegak hukum yang berperspektif difabel. Kadang dalam sebuah kasus yang masih berlangsung, ada pergantian jabatan dari mereka sehingga perlu ada edukasi dan advokasi lagi terhadap aparat penegak hukum,” Luluk menjabarkan.

 

Rica Rahim, Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Samarinda, Kalimantan Timur membuat sebuah terobosan dengan mendirikanPusat inforamsi konsultasi perempaun penyandang disabilitas.’

“Hasilnya dari 64% kasus, pelaku kekerasan diproses hingga pengadilan. Sebagian besar permasalahan yang timbul justru ada di keluarga korban. Banyak lagi kasus yang ditutupi keluarga korban, dan pelaku juga lebih banyak justru dari orang terdekat korban,” ungkap ia.

 

Contoh dua kasus di wilayah dampingan yang bisa terselesaikan dengan baik, seperti pada kasus pemasungan yang sudah terjadi selama dua puluh tahun. Kasus kekerasan  seksual yang dialami oleh Downsyndrom yang hamil oleh keluarga terdekatnya. Kedua kasus ini naik hingga ke pengadilan.

“Kami memberikan advokasi kepada keluarga, lingkungan, aparat pemerintah setempat, hingga aparat penegak hukum. Difabel perempuan di Samarinda sudah sadar bukan hanya sebagai istri atau ibu dalam keluarga. Mereka sudah mampu berperan sebagai pengambil keputusan,” kata Rica.

 

Ia juga berharap, agar perempuan difabel dapat benar-benar mandiri, kuat, mampu memperjuangankan kehormatan keluarga, menjaga anak-anaknya sendiri, mampu mengambil keputusan untuk kebahagiaan diri dan keluarga mereka.  

 

Peran laki-laki dalam pendampingan terhadap perempuan difabel

Menurut Yafas Aguson Lay, Ketua Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (Garamin), Nusa Tenggara Timur (NTT), peran laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga harus berimbang. Misal dalam menentukan masa depan keluarga, tidak didominasi oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Akan tetapi, harus tetap mendengarkan suara istri.

 

Di wilayah NTT ada gerakan laki-laki baru yang mengedukasi masyarakat tentang kesetaraan gender. Bukan hanya kepada kaum perempuan, tapi justru laki-laki juga harus tahu tentang kesetaraan gender, laki-laki mendapatkan edukasi tentang hal tersebut.

“Pembagian tugas pun berimbang, tidak didominasi perempuan yang nantinya malah akan menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan,” imbuhnya.

 

Ia menggambarkan tentang bagaimana perempuan berjuang untuk keadilan. Banyak kasus yang terjadi pada perempuan, sehingga perempuan juga harus diberi ruang untuk ikut berperan serta dalam memperjuangkan keadilan bagi dirinya.

 

Untuk kasus kekerasan sudah bekerjasama dengan para penegak hukum, mulai dari lembaga bantuan hukum, organisasi difabel yang ada pararegalnya, selain itu juga ada kerjasama dengan aparat penegak hukum dari kepolisian hingga pengadilan.

“Kami memberikan contoh dan penjelasan kasus-kasus yang di alami perempuan difabel yang belum bisa sampai ke ranah hukum. Sehingga para penegak hukum menjadi tahu permasalahan yang dialami perempuan difabel,” pungkas ia.[]

 

Reporter: Srikandi Syamsi

Editor      : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.