Lompat ke isi utama
gambar tutik kurniawati

Dukungan keluarga dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Gunung kidul

Solider.id  - Tutik Kurniyawati, dalam salah satu acara mimbar online yang diadakan oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) Indonesia tanggal 21 Maret kemarin, menceritakan sejumlah pengalamananya mendampingi kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan difabel.

 

Ia menjelaskan bahwa    untuk penanganan kasus  kekerasan seksual yang terjadi di Gunung Kidul, Tutik mendampingi sendiri sudah sekitar 14 kasus kekerasan seksual. Perempuan difabel memang sangat rentan  mendapatkan kekerasan seksual. Di awal  pendampingan,  memang sangat sulit untuk masuk di keluarga korban, karena  belum bisa menerima ketika pihaknya masuk melakukan pendampingan. “sulitnya mengambil kepercayaan mereka, bahwa apakah bisa nanti pendampingan sampai ke proses hukum bahkan sampai pengadilan atau enggak. Karena kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan difabel itu akan memakan waktu yang sangat panjang, prosesnya mulai dari penyidikan kemudian ke Kejaksaan dan sampai ke pengadilan”.

 

Tutik melanjutkan, untuk proses Berita Acara Penyidikan BAP mungkin sangat lelah, karena menggali Keterangan BAP di Polsek maupun di Polres tidak bisa satu kali jadi.  Prosesnya harus berkali-kali menunggu mood-nya si korban, karena harus membangun kemistri dulu bersama korban,  baru ketika sudah merasa nyaman , merasa terlindungi baru kemudian bisa menceritakan apa yang menimpanya.

 

Baca Juga: Pendampingan Perempuan Difabel Meraih Keadilan

Dukungan keluarga sangatlah penting.

Imbuhnya, “Untuk di Gunung Kidul saya dan teman-teman mengadvokasi untuk ke lingkungan lingkup aparat penegak hukum, kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan itu. Dan untuk advokasi harus diaktifkan lagi, karena jika terjadi tindak kekerasan pada  perempuan, setidaknya  sudah banyak  perubahan di lingkungan aparat kepolisian, Kejaksaan, pengadilan dan juga untuk sarana dan prasarana walaupun belum maksimal dari nonfisik sampai fisik memang harus berproses”.

 

Pihanya berharap  agar teman-teman dari HWDI khususnya, untuk perempuan-perempuan di Gunung Kidul untuk meningkatkan Kerjasama di bidang advokasi.  Dari empat belas kasus yang telah dilakukan investigasi sampai kemudian ke pengadilan  banyak hambatannya, tidak hanya dari keluarga tetapi dari luar (paralegal). Karena Korban sendiri sudah merasa trauma, sudah diintervensi keluarga. Peran paralegal dalam proses hukum itu sangat dibutuhkan. “Kami berharap kalau memang sudah ada kelompok-kelompok disabilitas yang di desa itu akan  ada informasi-informasi terkait dengan Kegiatan, juga ketika misal ada salah satu dari Kelompok tersebut mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan atau mendapatkan perilaku kekerasan seksual itu informasinya bisa cepat terupdate. Dan terus berharap untuk advokasinya itu dapat mendorong untuk terciptanya aparat penegak hukum yang berprestatif disabilitas.  Harapannya dengan  adanya forum- forum disabilitas itu sangat membantu memberikan  informasi-informasi yang di butuhkan.

 

Tutik, sapaan akrabnya menjadi salah satu    Paralegal dari Gunung Kidul DIY. Ia juga  adalah orang tua dari difabel  Cerelbral Palsy yang juga aktif sebagai bendahara di kelompok orang tua dengan anak cerebal palsy, aktif  di forum disabilitas tanggap bencana , kemudian juga aktif dalam sebagai pengurus forum disabilitas Gunung Kidul.

 

 

Terkait kepemimpinan perempuan difabel, Tutik memberikan gambaran bahwa  banyak sekali kelompok-kelompok difabel yang ketuanya pengurusnya itu kebanyakan memang perempuan,  termasuk himpunan wanita disabilitas Indonesia.[]

 

Reporter: Sumarayanti

Editor      : Ajiwan Arief

 

 

The subscriber's email address.