Butong, Konsisten Menggeser Sekat Eksklusif Ruang Berkesenian bagi Difabel
Solider.id, Yogyakarta - Sebagian orang saling berlomba demi terlihat hebat dan istimewa. Menampakkan pencapaian yang berhasil diraih, agar mendapat pengakuan dan pujian dari orang-orang di sekitarnya.
Tanpa disadari, ada ketakutan yang perlahan muncul dan mengganggu konsentrasi. Ketakutan lantaran enggan diremehkan atau dianggap tak berhasil membuat pencapaian.
Sementara, satu-satunya yang dibutuhkan bukanlah pengakuan dari orang lain. Melainkan keberhasilan itu sendiri. Melakukan yang terbaik secara optimal, menjadi satu cara dalam mewujudkan. Tak perlu phobia (takut berlebihan) dikatakan gagal atau dianggap tak punya kemampuan. Bagaimana pun, hanya diri masing-masing yang paling mengerti seberapa keras usaha telah dilakukan. Berproses, dengan kata lain.
Hal itu diyakini oleh salah seorang aktivis pengusung isu kesetaraan bagi difabel, di bidang seni dan budaya. Sukri Budi Dharma, namanya. Budi yang bermobilitas menggunakan tongkat di tangan kirinya ini, akrab dipanggil dengan nama Butong. Budi Tongkat. Panggilan Butong, dilekatkan oleh kawan-kawannya, semasa kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sekolah tinggi yang pada akhirnya tidak ditamatkannya, karena alasan bosan belajar. Meski kuliah tak dituntaskannya, dia tetap belajar di pergaulan seni. Bagi dia, seni itu cair. Bisa belajar dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Dan Butong memilih merampungkan kuliah psikologinya di Universitas Gunadharma.
Ada kisah lain di balik panggilan itu. Bukan saja karena dirinya yang menggunakan tongkat. Tetapi, karena saat bermain game, salah satu karakter yang paling disukainya ialah tokoh Shaolin yang membawa tongkat. Dan Butong, adalah salah satu aliran dalam kungfu yang ada pada game itu. Hingga kini, nama Butong, lekat, akrab dan menjadi nama popular Sukri Budi Dharma (48).
Bungsu tiga bersaudara ini lahir di Jakarta. Pria satu-satunya pasangan Salamah Diana dan Djumsari, seorang tentara. Invalid pada kaki dan tangan kiri sebagai bawaan lahir, tak membuatnya diperlakukan spesial, dikasihani, dimanja. Disiplin, mandiri, bertanggung jawab, berani jika tidak salah, diajarkan sang ayah sedari dini. Satu kata, sang ibu dan dua kakak perempuannya, Risa Novia dan Lina Syafrina melakukan hal sama. Dengan kasih sayang tanpa pamrih keluarga, mengantar Budi kecil tumbuh percaya diri.
Tongkat kayu yang dibuat sang ayah, adalah pengganti kaki kirinya. Menjadi piranti menjalani hidup, bersosial dan menempuh pendidikan. Tongkat bikinan tangan sang ayah, dimaknainya sebagai bukti kasih dan support kemadirian bagi dirinya. Butong, tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah luar biasa. Semua tahapan pendidikan ditempuhnya di sekolah umum. Sedari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Naik turun bis kota menuju sekolah bukan hal luar biasa.
Seni bagian hidup
Seni rupa, menjadi bagian hidup yang digemarinya sedari kecil. Budi kecil senang sekali menggambar tokoh pada cerita bergambar (cergam) yang dibacanya. Tokoh Doyok dan Ali Oncom, pada cergam terbitan Surat Kabar Pos Kota, Jakarta, yang dieksplorasi dan ditirukan. Tanpa bimbingan guru, Butong kecil mengembangkan hobby melukis secara otodidak atau belajar sendiri. Kecintannya menggambar, mengantarkan alumni Fakultas Psikologi Gunadharma ini, akrab dengan dunia seni hingga kini.
Baca Juga: Mewacanakan Ulang Disabilitas dalam Seni, Sebuah Diskusi Restorasi Nilai Diri
Sebelumnya, Butong sempat beberapa tahun bekerja pada sebuah perusahaan ekspedisi yang berkantor pusat di Jakarta. Sekaligus memiliki kantor cabang di Yogyakarta. Pada 2007, Butong mendapat tugas di Yogyakarta. Sejak itu, Yogyakarta menjadi rumah kedua baginya. Hingga akhirnya, Butong memutuskan menetap di kota ini. Bahkan sudah menjadi warga dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Bagi Butong, di Yogyakarta, begitu mudah menemukan agenda seni dan budaya. Dari sana, jiwa berkeseniannya bangkit. Berkegiatan seni bersama teman-temannya, difabel maupun nondifabel mulai dijalaninya. Tahun 2009, Butong mulai menggawangi komunitas seni yang diberi nama Difabel and Friends Community (DiffCom). Komunitas seni inklusif ini bermarkas di Panggungharjo, Sewon, Bantul. Dalam prosesnya, DiffCom mengembangkan berbagai jenis kesenian. Ada melukis, musik, juga teater.
Beberapa kali komunitas telah menggelar pameran karya lukis kelompoknya. Pentas musik dari panggung ke panggung pun telah dilakoni devisi musik Not Biru Band. Pada 2015, tiga karya musik yang diaransemen Not Biru Band, menjadi back sound pameran berskala internasional Shedding Light di OzAsia Festival, Adelaide, Australia Selatan. Berikutnya peringkat 10 besar nasional, dikantongi Not Biru Band pada kompetisi lagu anti korupsi, pada 2017. Kelompok teaternya? Seirama dengan dua bidang seni lain yang dikembangkan DiffCom. Kelompok ini beberapa kali menyabet prestasi pada berbagai even lomba. Tak hanya di lokal DIY, namun hingga tingkat nasional.
Melalui DiffCom, Butong pun mempunyai program pawiyatan atau pendidikan seni. Mendapatkan support dari Kelurahan Pangguharjo, pawiyatan seni lukis dan musik menjadi program rutin DiffCom. Memberi kesempatan pada siapapun, difabel dan nondifabel mengasah bakat seni, berjalan selama dua tahunan. Kemudian sempat terhenti, karena pandemi menghantam negeri. Karena berbagai situasi, DiffCom pun meredup. Tinggal program pawiyatan yang masih terus berjalan.
Baca juga: Jogja Disability Arts dengan Babad Wikara pada ArtJog MMXXII
Mengikis sekat eksklusif