Lompat ke isi utama
ilustrasi kekerasan terhadap perempuan

Pendampingan Perempuan Difabel Meraih Keadilan

Solider.id – Kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk  perempuan difabel didominasi oleh kasus kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran dan lainnya. Kondisi ini menunjukan strategi dan rencana aksi pencegahan kekerasan belum optimal dilakukan dengan melibatkan lembaga penyedia layanan maupun kelompok masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak.

 

Peningkatan perlindungan hak perempuan, dapat diupayakan melalui pengembangan sistem layanan komprehensif (manajemen kasus) yang mencakup layanan pengaduan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial (Kembali ke masyarakat).

 

Upaya lain melalui peningkatan kompetensi sumber daya manusia dari aparat penegak hukum, pekerja sosial, dan pihak terkait dalam upaya memberikan layanan perlindungan perempuan korban kekerasan. Penyediaan layanan rujukan akhir yang komprehensif juga penting bagi perempuan korban kekerasan.  Selain itu, memperkuat sistem penyediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data kekerasan terhadap perempuan melalui peningkatan cakupan dan kualitas data kekerasan dan membangun sistem data kekerasan terpadu.

 

Jejaring maupun koordinasi antar pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dan mitra pembangunan, serta pemahaman pemerintah dan masyarakat tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan melaui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) juga perlu ditingkatkan.

 

Baca Juga: Pastikan Bantuan Hukum bagi Perempuan, Anak, dan Difabel, Aisyiah Gelar Diskusi Online

 

Catatan komisi nasional perempuan dan anak

Dr. Bahrul Fuad, M.A. dari komnas perempuan, menyampaikan perempuan difabel alami diskriminasi berlapis, baik dari gender dan dari kedifabelan yang mereka miliki. Perempuan difabel dinilai bukan perempuan ideal karena memiliki hambatan, sehingga dianggap tidak mampu melakukan tiga hal penting unsur domestik dalam urusan rumah tangga.

“Mereka selalu didiskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan, baik di ranah rumah tangga maupun diranah publik. Kekerasan pada perempuan paling tinggi yaitu 80% hingga 90% dalam urusan domestik keluarga atau ranah personal,” ungkap Fuad.

 

Perempuan difabel yang alami kekerasan sebagian besar tidak mau melaporkan kasus yang dialami mereka. Faktor penyebabnya antara lain karena stigma dan rasa ketergantungan baik secara psikis, ekonomi, dan fisik.

“Adanya rasa kebergantungan terhadap suami atau keluarga mereka, sehingga bila alami kekerasan dari yang bersangkutan, korban takut melapor, takut ditinggalkan atau dihilangkan ketergantungan tersebut,” terang ia.

 

Menurut Fuad, saat ini ada perkembangan yang sangat baik dari perempuan difabel yang tergabung dalam gerakan-gerakan inklusif. Mereka sedang membangun kontranarasi atau melawan narasi yang bertigma negatif.

 

Faktor yang bisa membuat perempuan difabel menjadi mau ikut andil dalam membuat keputusan adalah dengan cara memberi jalan, kesempatan, ruang pada mereka untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka harus diberi peran aktif, bukan hanya untuk keluarga tapi juga untuk lingkungan dan masyarat luas. 

 

Tujuh isu strategis perempuan dalam konteks Hak Asasi Manusia

Disampaikan Purwanti, Koordinator advokasi dan jaringan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (Sigab) Indonesia, mengungkapkan terdapat tujuh isu strategis perempuan difabel berhadapan dengan hukum. Bagaimana mereka dapat memperoleh keadilan dari kasus-kasus kekerasan yang rentan dialami.

 

Isu tersebut adalah: (1) Partisipasi penuh dan bermakna bagi difabel. (2) Kapasitas hukum yang bukan hanya sebagai subyek hukum saja. (3) Kerentanan aspek hukum berbeda dengan aspek hukum. (4) Kebijakan yang terkait perlindungan hukum. (5) Mengembangkan isu crosscuting. (6) Penguatan pada paralegal. (7) Dukungan untuk pendampingan difabel berhadapan dengan hukum, yaitu litigasi dan non litigasi.

“Pada isu-isu strategis ini, sangat berkaitan dengan bagaimana menempatkan perempuan dalam konteks hak asasi manusia atau HAM nya,” tegas ia.

 

Keberadaan paralegal di daerah dalam turut serta melakukan pendampingan kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan difabel sangat membantu upaya korban perempuan difabel dalam mendapatkan keadilan sebagai bagian dari haknya.[]

 

Reporter: Srikandi Syamsi

Editor      : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.