Seharusnya Aturan Sehat Jasmani dan Rohani Tidak Ada
Solider.id, Tangerang - Seorang jurnalis mempertanyakan apakah masih memungkinkan para aktivis pegiat di koalisi organisasi penyandang disabilitas mengajukan semacam rekomendasi pada RUU Kesehatan yang masuk dalam prolegnas 2023 ini? Dan kalau mereka nekat mengesahkan tanpa keterlibatan organisasi difabel, apakah berakibat fatal dan hal apa yang paling fatal.
Fajri Nursyamsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan mereka (DPR dan pemerintah_red) mungkin masih bisa menerima ajuan atau rekomendasi karena masih pada tahap awal, sebab di rapat 14 Februari prosesnya mengesahkan RUU ini sebagai inisiatif DPR. Dengan kelompok difabilitas dan kelompok organisasi difabel, masih dimungkinkan untuk dibuka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Kemungkinannya pemerintah dan DPR masih bisa diajak berdialog.
Fajti menambahkan bahwa hal yang paling "mengerikan" baginya sebagai orang hukum, adanya pencabutan hak yakni di pasal 4 ayat 3. Ia mengibaratkan seperti memegang bom waktu
Ia mengutip kembali pernyataan dari Sylvia, perwakilan organisasi penyakit langka. Dan menurutnya jika usulan tidak diakomodir maka kelangsungan hidup dan perbaikan hidup Odalangka terancam. Termasuk adanya syarat sehat jasmani rohani, sehat fisik dan mental gang artinya mencabut hak untuk bekerja.
Lain lagi dengan Ketua PJS Yeni Rosa Damayanti. Hal apa yang mengerikan jika RUU Kesehatan tidak diperbaiki dan tetap disahkan adalah selama ini aturan tentang persyaratan sehat jasmani dan rohani itu ada dua, hanya diatur dalam aturan-aturan yang di bawah seperti PP atau aturan internal dalam kantor. Tidak pernah kewajiban mensyaratkan sehat jasmani dan rohani ada di level undang-undang. Ini pertama kalinya aturan di bawah dilegalkan di undang-undang.
Para orangtua yang punya anak Odalangka mereka kesulitan bekerja. Yang jelas ketika disahkan, difabel mental dan fisik tidak dapat bekerja. Ada pasal yang mengatakan untuk orang-orang yang dinilai tidak cakap hukum diperlakukan sehat jasmani dan rohani. Seolah hanya itu yang dibutuhkan. Seolah-olah kondisi difabel mental yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum adalah situasi permanen. Sehingga ketika diperiksa dianggap tidak cakap hukum. Padahal masalah kejiwaan adalah masalah yang sifatnya episodik.
Apabila dengan bentuknya yang seperti sekarang maka difabel mental psikososial di desa tetap tidak punya akses terhadap pengobatan yang memadai. Karena RUU ini tidak membedakan orang-orang dengan penyakit kronis dengan orang-orang penyakit akut. Kalau penyakit kronis butuh pengobatan seumur hidup. Di puskesmas nyaris tidak ada obat untuk difabel mental psikososial.
Baca Juga: Begini Sikap PJS dan Organisasi Difabel Terkait UU Kesehatan
Tidak Semua Difabel Mental Berat Tidak Bisa Mengambil Keputusan
Jesus Anam menceritakan bahwa sejak SMP ia mengalami gangguan mental dan secara akumulatif kambuh beberapa waktu lalu. Ia yang memiliki bipolar dam skizofrenia, yang sifatnya episodik dalam stadium apapun, ketika sedang baik-baik ia bisa berpikir dan mengambil keputusan serta membuat analisis yang dalam. Pada saat tertentu/tidak kambuh, mereka dapat mengambil keputusan.
Menurut Jesus, tidak semua difabel gangguan mental berat tidak bisa mengambil keputusan.
Karena setiap orang yang dianggap difabel psikosial berat lalu dianggap tidak mampu atau tidak cakap hukum sehingga akan diampu. CRPD menulis bahwa difabel menjadi subjek hukum dan setara.
Sedangkan Marsinah Dhedhe mengatakan hal yang paling mengerikan jika RUU ini disahkan tanpa pelibatan dan partisipasi difabel untuk mengkritisi adalah akan ada pemiskinan massal bagi difabel.
Terkait layanan kesehatan jiwa, dalam hal ini layanan psikologi, dengan adanya klasifikasi yang berbeda menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi, seharusnya psikolog umum bisa mengisi di puskesmas, yang spesialis dan sub spesialis di layanan kesehatan lanjutan. Demikiam dikatakan Gema Gumilar ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Jawa Barat.
Menurut Gema, terdapat hal esensi khususnya penggunaan istilah cacat masih digunakan. Yang masih dipertanyakan bahkan ketika ia mengikuti workshop kata cacat masih digunakan apalagi oleh dokter senior. Untuk kesehatan mental selain SDM masih kurang sebab jumlah psikiater di Indonesia kurang dari 1000, psikolog sekitar 3000-an dan perawat jiwa kurang dari 1000.
Belum lagi, belum tentu psikiater di rumah sakit mau terjun untuk kasus difabel berhadapan umum. Sehingga menurut Gema, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2022 ini bisa mendorong puskesmas di seluruh pelosok tanah air bisa memasukkan psikolog umum karena SDM yang terbatas. "Nah ini bisa diperjelas di RUU Kesehatan," seru Gema.
Pada pasal 89 menyebut bahwa pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum seperti pada ayat 1-4, disebutkan untuk keperluan hukum perlu diselesaikan secara tim dan diketahui dokter spesialis kedokteran jiwa. Mereka boleh bekerja sama dengan dokter spesialis umum, dan psikolog spesialis. Artinya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa masih di echoing. Contohnya waktu ia mendampingi kasus, dari UPTD bilang harus ada psikiater.
Karena ketentuan di undang-undang harus psikiater yang turun, padahal praktiknya psikolog klinis juga bisa artinya jika SDM masih minim maka untuk pemenuhan hak difabel masih minim pula
Gema menambahkan solusinya bukan tenaga kesehatan yang diperbanyak karena waktunya tidak bisa cepat, tetapi otomatis kita masih memikirkan mencari tenaga cadangan dari mana. Akhirnya mesti dipikirkan dari situ. Apakah akhirnya melatih kader, atau melatih konselor sebaya, minimal untuk asesmen awal atau deteksi dini. Bahwa memberikan bantuan awal bisa dilakukan oleh orang awam yang terlatih. Makanya jika harus mengkaver dengan jumlah gabungan psikiater, psikolog klinis dan perawat jiwa, itu tidak ada akan mencapai hal tersebut, oleh karenanya ini perlu dibahas.
Sebaiknya RUU Kesehatan akan memuat pula terkait distribusi atau pemerataan SDM. Ini yang perlu ditekankan. Akan jadi fatal tanpa partisipasi organisasi difabel karena nanti distribusinya akan di pulau Jawa lagi.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief