Begini Sikap PJS dan Organisasi Difabel Terkait UU Kesehatan
Solider.id, Tangerang - Setiap tahun selalu ada persoalan dalam penyusunan kebijakan yang muncul karena ketiadaan perspektif dan pelibatan difabel dalam perancangan undang-undang yang dibuat oleh DPR. Lalu ada harapan yang besar agar Rancangan Undang-Undang (RUU) kesehatan tidak melukai atau mencederai hak-hak difabel. Marsinah Dhedhe, mewakili Perkumpulan Jiwa Sehat dan Koalisi Organisasi Disabilitas Indonesia menyingkapi RUU Kesehatan Omnibuslaw yang memjadi prolegnas prioritas 2023 dengan menyampaikan berbagai sorotan.
Belajar dari pengalaman-pengalaman penyusunan undang-undang, koalisi melihat sangat penting untuk menyikapi RUU omnibuslaw ini. Dengan munculnya mandat aturan baru yang diskriminatif, sangat memungkinkan difabel akan tersingkir bahkan sebelum kapasitasnya diuji.
PJS bersama koalisi melihat kemudian menyoroti ada yang menjadi persoalan bagi kalangan organisasi difabel yakni pada pasal 135. Menurut mereka hal ini menghalangi, menyingkirkan kemudian menghilangkan hak difabel untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Di pasal 135 tersebut kalau dibaca dengan jelas, pasal ini secara eksplisit menyatakan bahwa penyandang disabilitas yang hendak melakukan, mengikuti seleksi penerimaan kerja, baik di perusahaan maupun pemerintahan, harus melakukan tes kesehatan yang tes ini berpotensi besar menghilangkan hak difabel karena menentukan lulus atau tidak. Karena ini sering terjadi pada difabel, baik difabel psikososial mental, intelektual dan fisik serta semua ragam.
Baca Juga: Ramai Penolakan RUU Kesehatan Bukan Hanya Diskriminatif Bagi Difabel
Aturan ini sebetulnya baru muncul dari dimintanya keteramgan untuk sehat jasmani dan rohani. Syarat sehat jasmani dan rohani Setiap tahun ada persoalan dalam penyusunan kebijakan yang muncul karena ketiadaan perspektif dan ketiadaan pelibatan difabel dalam perancangan undang undang yang dibuat oleh DPR. "Kami berharap RUU kesehatan tidak melukai, mencederai hak-hak difabel," ujar Dhedhe.
Lalu diskriminasi itu juga terjadi di pasal 13. Hak difabel untuk mendapatkan pekerjaan disingkirkan oleh pemerintah melalui pasal 13. Kenapa Dhedhe melihat hak untuk menerima atau menolak layanan kesehatan itu penting bagi difabel psikososial karena inilah salah satu alasan difabel psikososial sering dimasukkan ke dalam panti, rumah sakit jiwa, tanpa persetujuan dari darinya. Banyak orang yang semena-mena. Seperti keluarga, bahkan petugas kesehatan yang seenaknya memasukkan difabel di layanan rehabilitasi tanpa persetujuan karena dianggap tidak cakap hukum. Artinya persetujuan atau consent ini adalah salah satu pengakuan atas kecakapan hukum difabel psikososial. Di mana mereka memiliki hak atas tubuhnya, atas segala hal tentang hidup mereka.
Ketika segala hal ini dihilangkan maka koalisi merasa bahwa negara telah menghilangkan hak kemerdekaan difabel yakni hak untuk menentukan akan mau seperti apa. Consent sangat prinsipil dan para pegiat tidak mau ketika berkaitan dengan persetujuan ini diatur untuk dihilangkan. "Kami secara tegas menolak pasal 135 sangat berpotensi mendiskriminasi difabel di Indonesia. Terdapat diskriminasi, hak mereka untuk memberikan consent untuk menyatakan "Tidak" dalam layanan kesehatan dinafikan.
M. Joni Yulianto dari Sigab dan salah satu inisiator Formasi Disabilitas menyatakan bahwa ia yang tergabung di koalisi organisasi difabel memiliki sejumlah concern dari RUU Kesehatan ini.
Menambahkan dari apa yang diucapkan oleh Dhedhe bahwa Indonesia sudah punya Undang-undang nomor 8 tahun 2016 yang mengacu CRPD. Dalam konvensi yang diturunkan menjadi UU nomor 8 tahun 2016, ada sejumlah hak spesifik terkait kesehatan yang belum muncul dan diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), misalnya layanan kesehatan yang berkaitan dengan disabilitas dimana disabilitas ini sangat beragam.
Mandat Undang-Undang Nomor 8 adalah harmonisasi regulasi jadi sebetulnya dengan adanya RUU, Joni berpandangan baik bahwa tujuannya untuk mengharmonisasi UU nomor 8, ke dalam undang-undang teknis terutama yang terkait kesehatan tetapi itu belum terwakili dalam RUU Kesehatan ini.
Secara umum misalnya difabel dalam RUU ini hanya disebut/diatur dalam pasal 59 itupun hanya satu pasal. Padahal disitu tentang layanan kesehatan bagi disabilitas. Hanya satu pasal dan hanya berbicara aksesibilitas layanan kesehatan. Sebelumnya juga disinggung tentang consent, belum juga disinggung secara spesifik yakni adanya kebutuhan deteksi dini, intervensi dini, dan sistem rujukan bagi anak yang terdeteksi difabilitas. "Ini masalah panjang dalam Catahu Formasi Disabilitas. Kami mengangkat banyak kasus terkait kebutuhan ini," ujar Joni. Bagaimana faktanya di lapangan? adalah orangtua dari anak difabel sendiri yang mengupayakan. Negara tidak punya sistem tentang ini. Dalam RUU Kesehatan, permasalahan ini sama sekali tidak terbaca.
Dalam CRPD pasal 25 terutama, yang perlu dielaborasi lebih jauh terkait tentang hak layanan kesehatan yang berkaitan dengan difabilitas karena itu yang menjadi kekosongan dalam penyusunan regulasi ini. Sehingga konsen koalisi berikutnya adalah karena RUU ini mengatur berbagai hal terkait kesehatan. Belum lagi terkait obat. Ada banyak isu terkait obat misalnya obat generasi lama yang sangat memberikan risiko terhadap pengguna. Dalam konteks disabilitas itu akan memberikan risiko ketika obat-obatan yang beredar sampai PPK tingkat 1 bukan obat yang aman atau generasi baru yang efek samping lebih kecil. Maka keterwakilan ini menjadi sangat penting supaya RUU dapat memuat lebih proporsional yang sudah diatur dalam CRPD.
Komunitas Orang dengan Penyakit Langka pun Menjerit
Sylvia dari Spinal Muscular Arthrofi Indonesia, salah satu penyakit langka, menyuarakan mewakili komunitas Odalangka. Bahwa diperkirakan sekitar 10% dari jumlah penduduk suatu negara adalah orang dengan penyakit langka. Di Indonesia ada sekitar 27 juta Odalangka, sebagian besar disebabkan oleh penyakit genetik yang sifatnya kronis, menahun dan progresif, lalu semakin memburuk. Kondisi tersebut mengakibatkan alat bantu kesehatan dan pengobatan bagi Odalangka sangat esensial untuk kelangsungan hidup dan kualitas hidup yang baik.
Maka Sylvia mengusulkan pada bab 5 RUU Kesehatan ini memuat bagian atau ketentuan terkait dengan orang dengan penyakit langka yang secara garis besar akan memuat pasal-pasal tentang penyakit langka, uji coba obat baru, keikutsertaan uji internasional, penyediaan papan drug dan penyediaan alat bantu kesehatan yang terjangkau dan ditanggung oleh BPJS seperti homecare , pemeriksaan dan tes genetik. Itu yang belum diakomodasi oleh RUU Kesehatan saat ini.
Fajri Nursyamsi, Direktur PSHK dalam konferensi pers menyatakan bahwa RUU Kesehatan masih bersifat diskirminatif terutama untuk kelompok difabel serta kelompok penyakit langka dan kronis. Menurutnya RUU ini sudah ada keinginan untuk mengatur tetapi belum menyelesaikan permasalahan.
Ada beberapa poin, sebagian sudah disampaikan dan dii pasal 4 ayat 3, ada pencabutan hak padahal jarusnya negara melindungi hak seseorang. Ketika membaca pasal-pasal dan ketentuan di RUU ini, terdapat 400-an pasal. Pemerintah dalam hal ini DPR, karena RUU ini usulan inisiatif DPR maka harusnya membuat materi-materi publikasi dengan bahasa yang sederhana untuk memudahkan publik paham. Apalagi RUU ini akan mencabut 9 undang-undang. Ini bukan pekerjaan sederhana karena lingkupnya tidak singkat. Justru harusnya dilakukan oleh pemerintah melalui Kemenkes, dan membuka ruang partisipasi. Waktu yang sangat terbatas beberapa minggu untuk membaca RUU ini, sangatlah mustahil.
Hasil pembacaan yakni adanya usulan dan harus dicatat baik-baik. Dan jangan hanya karena keinginan adanya legacy atau warisan yang baik dari siapapun yang menjabat hari ini sehingga disahkan 2023 ini. Menurut Fajri, inii sama halnya mengkerdilkan aspek partisipasi
yang di dalam RUU ini menyangkut banyak hal.
Maka ada beberapa desakan kepada DPR dan pemerintah agar ;1. Membuka ruang partisipasi. Harapannya ada ruang dan waktu yang cukup bagi koalisi. Koalisi ingin menyempurnakan ketentuan dan pasal dalam RUU ini. Kalau tidak dibuka, berarti prosesnya tidak partisipatif. 2. DPR dan pemerintah membuat materi edukasi terkait RUU ini. 3. Dengan menggunakan bahasa sederhana dan bisa dipahami oleh siapapun. 4. .Bersedia menghilangkan pasal yang diskriminatif. 5. Memperkuat ketentuan-ketentuan yang belum tegas terkait penyelesaian masalah di lapangan.
Juga dengan organisasi penyakit langka. Inipun juga harus dipahami situasinya karena menyangkut perihal perspektif. Pemerintah dan DPR harus mempertajam perspektif HAM dan perspektif disabilitasnya. Posisi RUU ini harusnya mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan bukan semata-mata mencabut hak warga negaranya. Ini titik diskriminatif.
Seperti dikisahkan oleh Salwa dari PJS yang pernah terkendala surat keterangan sehat jasmani dan rohani. Dengan tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) akan tergambar bagaimana kondisi psikologis si pelamar. Ketika itu ia sudah melakukan tes dan tidak mendapat surat sehat jasmani dan rohani karena ia seorang bipolar. Jadi ia tidak lolos untuk seleksi. Ada juga tes jasmani, tes Medical Check Up (MCU), dan tes urin. Tes urin hasilnya menunjukkan ia memakai obat psikotropika. Ketika ditanya oleh pihak selektor kenapa ia positif psikotropika, ia menjawab pemakai obat-obatan yang diresepkan oleh dokter. Saat itu juga ia dimintai surat dari dokter.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief