Highlight Data Temuan untuk Catatan Tahunan KBGD 2023, Sinergitas itu Penting
Solider.id - Tahun ini Sentra Advokasi Perempuan Difabel Dan Anak (Sapda) menginisiasi pendokumentasian Catatan Tahunan (Catahu) Bersama Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas (KBGD) 2023 yang akan ditulis bersama 25 pengada layanan di 8 provinsi di Indonesia. Tahun lalu Sapda juga melakukan pendokumentasian kasus, tetapi hanya berdasarkan data penanganan kasus yang dilakukan sendiri oleh Sapda, sehingga penyusunan Catatan Tahunan Bersama ini akan memotret seberapa jauh penanganan kasus terselesaikan, apa saja hambatannya, sekaligus rekomendasi untuk perbaikan ke depan. Sapda ingin memastikan perempuan difabel yang mengalami kekerasan mendapat keadilan.
“Pencatatan kasus dalam rangka penyusunan Catahu ini menjadi ruang partisipasi dan kontribusi yang bermakna bagi teman-teman perempuan dan perempuan difabel dari berbagai lembaga pengada layanan untuk saling berbagi dan mendokumentasikan kasus kekerasan berbasis gender dan difabilitas,” ujar Nurul Saadah Andriani, Direktur Sapda dalam sambutan webinar memperingati Hari Perempuan Sedunia, 16/3.
Arini Izzati, Koordinator Rumah Cakap Bermartabat Sapda, selanjutnya mendiseminasikan highlight data temuan KBGD dengan metode kuantitatif dan kualitatif dari 25 pengada layanan dan telah melalui tahapan klarifikasi data. Terdapat 81 kasus dengan ragam difabel yang berbeda, yaitu 31 sensorik rungu wicara/tuli, 22 difabel intelektual, 14 kasus difabel mental, 9 difabel fisik, 2 korban difabel sensorik netra, dan 3 korban difabel ganda. Berdasarkan jenis kelaminnya, korban perempuan difabel lebih banyak berjumlah 76 orang, dan 5 orang difabel laki-laki.
Berdasarkan rentang usia, paling tinggi diantara usia 15-19 berjumlah 22 korban. Sedangkan berdasarkan pendidikan terakhir, 18 orang korban lulus SMA, 14 korban tidak sekolah dan 13 korban lulusan SD. Dari segi pekerjaan, 29 korban tidak bekerja. Arini menekankan bahwa kondisi korban difabel yang tidak bekerja ini membuat kerentanannya kian berlapis.
“Korban tidak bekerja, jadi secara ekonomi, dia tergantung pada orang-orang di sekitarnya yang notabene itu juga tidak sedikit menjadi pelaku. Artinya kerentanan korban semakin berlapis lagi, selain karena kondisi kedifabilitasannya, ditambah nilai-nilai patriarki ataupun budaya-budaya yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi pada perempuan, termasuk perempuan difabel,” tegasnya.
Kekerasan Seksual Tertinggi, Pelaku dari Keluarga!
Dari data yang terkumpul, jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual dengan jumlah 48 kasus. Disusul 39 kasus kekerasan berbasis difabilitas, 31 kasus KDRT, dan 11 kasus kekerasan dalam pacaran. Lainnya, jenis kekerasan dengan jumlah dibawah 10 diantaranya 5 kasus perundungan, 2 kasus pengasuhan tidak berperspektif difabel, 1 kasus kekerasan berbasis gender online dan 3 kasus lain tidak teridentifikasi jenis kekerasannya.
Arini lebih jauh menjelaskan bahwa dalam pemetaan yang dilakukan Sapda, korban sebenarnya banyak yang tidak hanya mengalami satu jenis kekerasan saja. “Dapat dipastikan bahwa kekerasan berbasis difabilitas itu menyertai kekerasan yang utama semisal KDRT, artinya saling beririsan,” imbuhnya.
Berdasarkan ranahnya, jenis kekerasan seksual terjadi banyak di ranah publik dengan jumlah 30 kasus. Sedangkan di ranah privat KDRT mendominasi dengan angka 31 kasus. Pelakunya, tiga peringkat tertinggi berasal dari keluarga (20), tetangga (15), dan suami (14).
Bagaimana Pemenuhan Akomodasi Yang Layak?
Forum Pengada Layanan (FPL) yang memiliki 95 anggota organisasi penyedia layanan yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia menyatakan bahwa kebutuhan pendampingan korban difabel sebagian besar adalah kebutuhan litigasi, non-litigasi, pemberdayaan ekonomi, penguatan korban dan keluarganya, serta kebutuhan administratif bagi anak korban dari penyintas perempuan difabel yang mengalami kekerasan seksual.
Sejauh ini FPL telah mengupayakan advokasi pendanaan yang berasal dari sektor swasta atau kepada negara untuk mendukung kerja-kerja layanan bantuan hukum. Selain itu memberikan dukungan pada lembaga-lembaga anggota FPL yang sedang melakukan penanganan kasus kekerasan dengan korban perempuan difabel. Di tingkat nasional, FPL melakukan advokasi kebijakan dan lobi.
Data yang dihimpun Sapda menemukan 55 kasus membutuhkan layanan psikologi, 42 kasus memerlukan layanan hukum, 5 kasus ditangani secara medis, 4 kasus rehabilitasi sosial dan 17 kasus dengan layanan lainnya.
Catahu KBGD 2023 ini menurut Arini ingin menjamin apakah proses layanan pendampingan penanganan kasus telah memenuhi aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi korban. Dari data 81 kasus tersebut 75 diantaranya menyatakan telah terpenuhi akomodasi layaknya, 5 kasus tidak terpenuhi dan 1 kasus tidak teridentifikasi.
Layanan yang memenuhi akomodasi yang layak ini adalah layanan yang mengacu pada PP 39/2020, seperti layanan yang berperspektif tidak diskriminatif, keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki APH dan petugas layanan, bagaimana cara berinteraksi, dan lainnya.
Di awal, Nurul Saadah menegaskan bahwa penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak difabel tidak bisa dilakukan sendiri oleh masing-masing lembaga, tetapi butuh sinergitas dengan lembaga layanan lain. Hal ini tak berbeda jauh dengan angka yang masuk terkait posisi penanganan kasus. Ditemukan 76 kasus yang penanganannya dilakukan di masing-masing lembaga, lalu 34 kasus dirujuk ke lembaga layanan lain, dan 29 kasus sisanya ditangani secara sinergis antar beberapa lembaga layanan. []
Reporter: Alvi
Editor : Ajiwan Arief