Sutiayah, Mengukir Prestasi di antara Derasnya Arus Diskriminasi
Solider.id, Yogyakarta - SESEORANG yang sanggup mencapai prestasi, maka dalam dirinya akan timbul kepercayaan diri. Selanjutnya, mekanisme mempertahankan prestasi dengan sendirinya tumbuh dan terpatri. Hal ini yang terjadi pada seorang difabel perempuan, atlet angkat berat (power lifting) dari Gunung Kidul, Sutiayah (40). Prestasi yang diukirnya pada Peparnas XXI 2021 di Papua, memberinya kekuatan. Kini dia yakin dan percaya diri akan terus dapat mengukir prestasi.
Sebelum meraih prestasi, paralimpian ini mengaku tidak memiliki cukup kepercayaan diri. Hal ini karena dirinya yang belum banyak memiliki pengalaman dalam bertanding. Ditambah usianya yang tak lagi muda, belum lagi cibiran dari orang-orang sekitar, cukup menjatuhkan mentalnya.
Sebelum Peparnas di Papua, Sutiayah baru bertanding sebanyak empat kali. Pertama, pada Peparda DIY 2019, di kelas 41 kg, belum mengantongi kejuaraan. Kedua, Peparda 2021, kelas 45 kg, meraih juara pertama dengan angkatan 55 Juara kg. Ketiga pada Kejurda kelas 45 kg di angkatan 60 kg. Keempat, Kejurnas 2022 di Solo kelas 50 kg di angkatan 70 kg dikalahkan Nukma dari NPC Palembang di angkatan 73.
Bertekat bulat keluar dari stigma yang dilekatkan terhadap dirinya, menjadi modalnya. Derasnya diskriminasi yang terus menyelimuti, tak mematahkan semangatnya. Benar saja, di tengah menguatnya isu pemberdayaan perempuan dan kesamaan gender, Sutiayah telah membongkar stigma tentang perempuan, difabel, terlahir dari keluarga miskin.
Baca Juga: Jelang Peparda ke 3 DIY, NPC Kota Yogyakarta Gelar Pencanangan dan Sosialisasi
Perempuan kelahiran Malang, 4 Juni 1983 ini, berhasil mengharumkan nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) 2021 di Papua. Ia memperoleh medali emas pada cabor angkat berat kelas 50 kg putri. Atlet dari Gunung Kidul ini berhasil mengangkat beban di angkatan bench press seberat 85 kg. Berhasil memecahkan rekor baru Peparnas, yang sebelumnya dipegang Nukmah, atlet NPC Sumatera Selatan (Palembang) di angkatan 65 kg.
Konsisten dan komitmen
Kini, Sutiayah mengaku lebih percaya diri untuk terus meningkatkan kualitas diri. Tekanan mental dari sekitar serta diskriminasi yang membanjiri disiasatinya dengan strategi. Mempertahankan prestasi sebagai lifter pemecah rekor, di ajang Peparnas 2024 menjadi target selanjutnya.
Konsisten dan komitmen berlatih, itulah Sutiayah. Jarak ratusan kilo meter pulang dan pergi dari tempat tinggalnya menuju tempat latihan tak dihiraukannya. Tiga kali dalam satu minggu, dengan motor roda tiga dia tempuh perjalanan dari rumahnya di Semanu menuju Kantor NPC DIY. Kantor ini berada di area alun-alun utara Kota Yogyakarta. Demi dapat berlatih dengan nyaman. Demi mempersiapkan diri mencapai target, dia pegang.
Sebenarnya, ibu dari Elfito Audi Ganiswara (12) itu bisa berlatih di Kantor NPC Gunung Kidul. Tapi dia memilih tempat latihan yang lebih jauh. Mengapa? Di NPC DIY, Sutiayah merasa lebih optimal berlatih. Karena tidak mendapatkan tekanan dan perlakuan tidak mengenakkan. Justru dukungan yang diperolehnya.
Virus polio menyerang
Sedikit flash back, Sutiayah menuturkan riwayat hidupnya. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu lahir dengan kondisi baik-baik saja. Dia pernah berjalan dan berlarian, bersama teman dan saudaranya. Namun, ketika usianya tiga tahun, tiba-tiba demam tinggi menyerang tubuh mungilnya. Lumpuh pada kedua kaki akhirnya, meski pengobatan telah ditempuh kedua orang tuanya.
Gadis asal Malang ini hanya menamatkan pendidikan hingga jenjang SMP. Demikian juga dengan kedua kakaknya. Faktor ekonomi dan jarak tempuh, melatar belakangi. “Dulu orang tua tidak mampu. Menyekolahkan anak itu berat. Jarak sekolah jauh. Sehingga harus kos. Saya tidak tega jika harus membebani bapak dan ibu. Karena itu, saya dan kedua kakak saya hanya sekolah sampai SMP,” tuturnya.
Tak tinggalkan tanggung jawab
Atlet ini, sehari-hari menjalani hidup sebagaimana ibu rumah tangga lainnya. Mengurus rumah, membimbing anak semata wayangnya. Dia juga seorang penjahit. Sedang suaminya, adalah seorang tukang servis elektronik. Setelah memilih jalan hidup sebagai atlet, dia tetap sanggup mengatur waktunya. Tak melupakan tanggung jawa, itulah Sutiayah. Meski sesekali sang putra merengek dan protes karena seringnya ditinggal sang ibu. Memberikan pemahaman kepada sang putra tentang tanggung jawab hidup dilakukannya.
Kini, sang anak yang dipanggil Alfito itu pun hendak mengikuti jejak sang ibu. Pria kecil yang duduk di kelas enam sekolah dasar itu, kini mulai menekuni bela diri kempo. Menjadi atlet kempo dan membanggakan kedua orang tuanya, menjadi cita-cita yang akan diwujudkannya. Karenanya, disela waktu belajar, Alfito juga konsisten berlatih dua kali dalam satu minggu.
Bonus dan intrik
Terkait penghargaan yang diraih oleh atlet paralimpian, Sutiayah memiliki cerita. Penghargaan sudah bagus, kata dia. Karena sudah setara dengan atlet nondifabel. Namun, lanjutnya, upaya, biaya (effort) kami lebih besar. Bagi yang tidak memiliki kendaraan, maka harus menggunakan jasa transportasi umum. Pun jarak tempuh dari rumah menuju jalan raya, juga berat. Mewakil teman-teman paralimpian lainnya, Sutiayah berhadap agar bonus selalu disamakan. Syukur-syukur jika ditingkatkan. Atau diminimalisir potongan bonusnya.
Ada kesedihan yang nampak melalui penuturannya. Target mengikuti pertandingan tingkat internasional, Seagames yang akan dilangsungkan Juni 2023 harus diredamnya. Pasalnya, saat ini, tangannya sedang cedera. Hal ini terjadi, ketika dirinya berlatih mempersiapkan diri pada pertandingan di Peparda 2022 lalu. Dia mengaku tidak ada suplemen saat berlatih. Sementara, dia harus mengejar angkatannya.
Hindari cidera
Agar tidak cidera, suplemen sangat penting, kata dia. Selain itu, kesimbangan hidup harus dijaganya. Seimbang antara latihan, istirahat dan pola makan harus dijaga. Hal itu dilakukan agar masa otot tetap terjaga dengan baik, untuk menghindari cidera.
“Suplemen sangat dibutuhkan saat latihan. Kerja otot kita harus dibantu dengan suplemen. Rawan cidera jika tidak ada suplemen. Selain itu, pola makan juga harus dijaga. Yaitu dengan mengkonsumsi makanan banyak protein, vitamin. Selanjutnya recovery atau istirahat, paling tidak dua jam sehabis latihan. Semua itu harus diijaga keseimbangannya. Agar masa otot tetap terjaga.
Tenaga habis, oksigen berkurang. Seusai latihan harus banyak makan yang mengandung gula agar cepet pulih. Pemecah rekor baru nasional itu membagikan tipsnya.
Meski cidera, Sutiayah tetap berlatih. Dia mengakat beban semampunya. “Kalau hanya mampu mengangkat 50 kg tidak apa-apa. Yang penting tetap latihan. Kalua tidak berlatih otot saya bisa kembali ke nol lagi. Sebagaimana saya belum mengenal angkat berat dulu,” pungkasnya perempuan yang tinggal di Dadapayu, Pokdadap, Semanu, Gunung Kidul itu.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief