Ramai Penolakan RUU Kesehatan Bukan Hanya Diskriminatif Bagi Difabel
Solider.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah disahkan sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna Februari 2023. Saat ini draf RUU Kesehatan tersebut sudah digenggaman pemerintah untuk dibahas bersama. Pada tahapan ini pula proses partisipasi publik resmi dimulai. Artinya, Pemerintah dan DPR akan menghimpun setiap masukan dan aspirasi dari masyarakat sebagai forum.
Lembaga dan pemerintahan yang terlibat dalam pembahasan RUU Kesehatan antara lain: (1) Menteri Kesehatan. (2) Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi. (3) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (4) Menteri Dalam Negeri. (5) Menteri Keuangan. (6) Menteri Hukum dan HAM. (7) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (8) Kementerian Ketenagakerjaan. (9) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (10) Badan Pengawas Obat dan Makanan. (11) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (12) Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Partisipasi publik secara luring maupun daring akan dilakukan dengan institusi pemerintah, lembaga, organisasi profesi, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, Civil Society Organization (CSO) juga organisasi-organisasi difabel.
“Partisipasi publik yang luas sangat dibutuhkan, RUU ini akan memicu reformasi sektor kesehatan agar layanannya dapat diakses masyarakat dengan lebih mudah, murah dan akurat. Kebijakan ini juga berfokus pada mencegah masyarakat jatuh sakit daripada mengobati,” ujar dr Mohammad Syahril, Juru bicara Kementerian Kesehatan RI.
Harapan lain dari RUU Kesehatan adalah dapat mengatasi permasalahan seperti kurangnya dokter umum, dokter spesialis, pemerataan tenaga kesehatan, gizi buruk, dan layanan kesehatan yang tidak sesuai.
Pasal dalam RUU Kesehatan yang masih diskriminatif
Draf RUU Kesehatan terdiri dari 20 bab dan 478 pasal ini masih banyak penolakan. Ada pasal-pasal yang dinilai masih mendiskriminasi masyarakat difabel hingga dianggap akan merugikan mereka yang bekerja sebagai tenaga kesehatan. Contoh pada draf per 7 Februari 2023 pada draf RUU Kesehatan:
Pasal 135 Ayat (1) “Dalam rangka pengadaan pegawai atau pekerja pada perusahaan/instansi harus dilakukan pemeriksaan Kesehatan baik fisik maupun jiwa, dan pemeriksaan psikologi.” Ayat (2) “Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi.” Ayat (3) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal tersebut berpotensi membebani pemberi kerja dan calon pekerja/pegawai: (1) Bersifat diskriminatif karena melanggar hak atas pekerjaan, hak atas akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. (2) Kontraporiduktif dengan upaya Pemerintah dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif. (3) Berpotensi bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan ketentuan Undang-Undang lainnya.
Erfen Gustiawan Suwangto, Sekjen Perhimpunan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) juga menggaris bawahi beberapa pasal untuk dihapus, diantaranya:
Pasal 249 Ayat (1) poin c terkait rekomendasi organisasi profesi untuk menambahkan surat izin praktik (SIP).
“Tidak ada satupun organisasi profesi di dunia yang memberikan rekomendasi sebagai salah satu syarat praktik dokter,” ungkap ia.
Pasal 249 Ayat 4 pion c soal perpanjangan syarat surat izin praktik, juga pasal 314 Ayat 2. Menurutnya, setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.
Penolakan terhadap RUU Kesehatan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berpendapat RUU ini akan merugikan para pekerja di bidang kesehatan. Slamet Budiarto, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar IDI mengungkapkan alasannya, yaitu: (1) Undang-Undang Keprofesian dicabut. Menututnya, undang-undang kedokteran, keperawatan ada di seluruh negara. (2) RUU Kesehatan memberikan kewenangan uji kompetensi dokter dan tenaga kesehatan lain diserahkan pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan pemerintah daerah. Dalam pandangannya, ini dapat membahayakan keselamatan masyarakat.
Said Iqbal, Ketua Umum Partai Buruh pun menolak pengesahan RUU Kesehatan. Menurutnya, (1) RUU ini akan menciptakan situasi dunia kesehatan yang tidak ideal dengan membuka ruang munculnya berbagai organisasi. (2) Buruh akan dirugikan dengan persoalan BPJS.
Nova Riyanti Yusuf, Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa DPR RI mengatakan, RUU usulannya terlambat dalam pembahasan. Padahal, RUU Kesehatan Jiwa membahas hak dan kewajiban orang yang mengalami gangguan jiwa, termasuk keluarganya. Dan membahas ranah penegakan hukum.
“Sebelum dipenjara, pelaku kejahatan akan diperiksa kejiwaannya. Jika ia normal akan menjalani hukuman penjara, tapi kalau tidak akan masuk ke psikiater forensik,” terang ia.
Selain itu, juga memuat hal lain seperti sumber daya kesehatan jiwa, mulai dari tenaga kesehatan jiwa, fasilitas, obat-obatan, peralatan dan fasilitas pendukung, sistem pelayanan kesehatan jiwa mulai dari rumah sakit, hingga puskesmas, dan memasukkan sistem pembayaran dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang akan dicanangkan.
Aspirasi dan masukan dari masyarakat terkait RUU Kesehatan ini dibatasi hingga 17 Maret 2023 mendatang. Berbagai lapisan masyarakat meminta perpanjangan waktu, sebab RUU ini masih harus teliti dibaca pasal demi pasal sebelum akhirnya dinyatakan sah dan berlaku sebagai undang-undang.[]
Reporter: Srikandi Syamsi
Editor : Ajiwan Arief