Upaya dan Strategi Pendampingan serta Pemenuhan Hak Difabel Mental Psikososial
Solider.id, Tangerang - Perpres Nomor 83 tahun 2019 tentang Kantor Staf Presiden memberikan amanat Kantor Staf Presiden (KSP) untuk memberikan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik/publik, dan pengelolaan isu-isu strategis. Salah satu isu strategis yang menjadi fokus Kantor Staf Presiden adalah pengawasan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM Penyandang Disabilitas, termasuk difabel mental.
Demikian dikatakan Sunarman Sukamto, Tenaga Ahli Madya Kedeputian V KSP pada webinar peluncuran Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Blitar beberapa waktu lalu. Ia menyampaikan situasi umum kesehatan jiwa di Indonesia saat ini yang masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia termasuk Indonesia.
Sunarman mengutip Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 yang menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk anak usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1000 penduduk.
Menurut data organisasi Kesehatan dunia WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan "beban (baca: tanggung jawab)" negara dan penurunan produktifitas manusia untuk jangka panjang.
Riskesdas yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi rumah tangga dengan anggota menderita gangguan jiwa skizofrenia meningkat dari 1,7 per mil menjadi 7 per mil di tahun 2018. Gangguan mental emosional pada penduduk usia di bawah 15 tahun juga naik dari 6,1% atau sekitar 12 juta penduduk (Riskesdas 2013) menjadi 9,8% atau sekitar 20 juta penduduk.
Saat pandemi COVID-19, masalah gangguan kesehatan jiwa dilaporkan meningkat sebesar 64,3% baik karena menderita (baca: terpapar) penyakit COVID-19 maupun masalah sosial ekonomi sebagai dampak dari pandemi. Secara umum, pemahaman, kesadaran, dan sensitivitas tentang ragam difabilitas mental, aksesibilitas dan akomodasi yang layak, termasuk bagaimana memberikan dukungan (support) masih kurang dan butuh upaya pengarusutamaan secara struktural dan kultural.
Baca juga: Konsep Ideal Upaya Promotif Advokasi Kesehatan Jiwa
Peran keluarga harusnya menghapus diskriminasi dan stigma terhadap anggotanya ataupun siapapun yang memiliki gangguan jiwa, sehingga mereka dapat tetap menjaga dan dapat dihargai selayaknya manusia bermartabat yang perlu dibantu untuk mendapatkan kembali kehidupan yang berkualitas. Namun faktanya tidak demikian sebab banyak keluarga yang malah menyembunyikan anggotanya yang mengalami gangguan jiwa.
Seharusnya keluarga sebagai unsur paling kecil masyarakat memiliki peran menjaga dan merawat atau memberikan pertolongan pertama psikologis apabila tampak gejala-gejala gangguan jiwa. Keluarga adalah garda terdepan ketika anggotanya mengakses fasilitas layanan kesehatan yang memberikan informasi yang valid kepada mereka. Dengan dukungan mereka maka difabel mental berangsur kembali ke kualitas hidup yang lebih baik, menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
Sedangkan strategi peran masyarakat, idealnya adalah seperti dikutip pada Mental Health First Aid Action Plan, masyarakat bisa melakukan pendekatan, deteksi, dan membantu pada kritis apapun, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan dan informasi yang tepat, mendorong difabel mental psikososial untuk mendapatkan bantuan profesional yang sesuai.
Seharusnya tidak ada lagi pengucilan dan pendiskreditan permasalahan kesehatan mental dan menjadi sistem pendukung yang kuat yang membantu mengembalikan mereka ke kehidupan yang berkualitas dan bermartabat dan berkualitas serta inklusif.
Sedang peran negara baru 50% ditandai dari 10.321 unit puskesmas yang mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Masih ada 4 provinsi yang belum memiliki RSJ dan baru 40% RSU yang ada fasilitas pelayanan jiwa.
Rasio ketersediaan psikiater di Indonesia masih sangat timpang yakni 1 : 200.000 penduduk artinya setiap 1 psikiater melayani 200.000 penduduk. Rasio ini masih jauh dari standar yang ditetapkan WHO yang idealnya 1 : 30.000. Tak hanya jumlah karena dari sisi persebaran juga belum merata.
Hal itu menjadikan satu kendala utama yakni dan ketika ada pun kadang psikiater berpindah tempat yang meninggalkan risiko pasien putus obat padahal mereka membutuhkan rantai pengobatan yang cukup panjang.[]
Reporter: Puj Astuti
Editor : Ajiwan Arief