Hasil Studi di India: Memotret Posisi Laki-Laki Difabel dalam Hegemoni Maskulinitas
Di tengah minimnya studi tentang laki-laki difabel, terutama yang spesifik mengangkat ragam difabel fisik, Debarati Chakraborty meneliti situasi kerentanan tak terlihat yang dialami dua puluh responden laki-laki dengan difabel fisik di Kolkata, India. Studi ini memotret dampak dari hegemoni maskulinitas dan patriarki yang hidup di keluarga dan masyarakat India terhadap laki-laki difabel fisik.
Solider.id - Bulan Februari lalu, penerbit Bloomsbury Inggris meluncurkan buku Patriarchy in Practice: Ethnographies of Everyday Masculinities. Buku ini memotret hubungan antara patriarki dan maskulinitas dari perspektif antropologis dan etnografis. Di dalam bab tiga, ada satu tulisan menarik yang membahas tentang laki-laki difabel fisik dan maskulinitas berjudul ‘Unheard voices, untold stories; men with disabilities - The invisible victims of patriarchy, a study of Kolkata, Bengal, India’. Debarati Chakraborty, penulisnya, bermaksud menceritakan bagaimana kacamata ableist yang dipengaruhi patriarkal mempunyai standar ekspektasi tertentu terhadap maskulinitas atau feminitas yang berakibat membuat laki-laki difabel fisik di Kolkata, India, mengalami situasi kerentanan yang tidak terlihat.
Dalam konteks ketubuhan, seperti halnya analisis gender Simone de Beauvoir’s dimana perempuan adalah gender kedua dibawah laki-laki, tubuh difabel juga dianggap lebih inferior daripada able-body atau tubuh non-difabel. Ini yang menyebabkan perempuan difabel berada dalam posisi diskriminasi berlapis, sedangkan laki-laki difabel masih diposisikan ‘mengawang’ karena laki-laki difabel masih mempunyai privilege atau hak istimewa karena gendernya laki-laki tapi juga bagian dari kelompok marjinal karena kedifabelitasannya. Analisis kontradiksi konstruksi maskulinitas diantara laki-laki difabel di Kolkata inilah yang menjadi bagian penting yang diulas dalam tulisan Chakraborty, selain menyoroti pengalaman laki-laki difabel termarjinalisasi pada kehidupan sehari-hari dan bagaimana cara mereka bernegosiasi dengan patriarki.
Kelindan Patriarki dan Hegemoni Maskulinitas
Studi yang dilakukan Debarati Chakraborty ini melibatkan dua puluh responden yang mengidentifikasi sebagai laki-laki difabel fisik pengguna kursi roda atau kruk yang berusia antara 20-35 tahun. Dari 20 responden, 12 orang adalah mahasiswa, 2 orang bekerja, dan sisanya adalah sarjana yang belum bekerja. Pengumpulan data dilakukan dengan snowball sampling dan wawancara dilakukan melalui wawancara semi terstruktur yang terdokumentasi via rekaman.
Bagi laki-laki difabel, patriarki sangat kompleks dan berlapis, selain juga ‘diabaikan’ dalam studi literatur tentang maskulinitas. Tidak bermaksud untuk memperbandingkan bagaimana dampak patriarki pada laki-laki dan perempuan, namun karena ketidakterlihatan hak-hak istimewa normatif sebagai laki-laki inilah yang mempengaruhi konstruksi identitas laki-laki difabel dari segi gender, seksualitas dan aspek lainnya dalam kehidupan keseharian mereka.
Gerschick dan Miller (1995) dalam studi tentang difabel dan maskulinitas menemukan bahwa individu difabel mendapat pengucilan dari banyak bidang kehidupan, mayoritas dalam hal pengambilan keputusan. Dampaknya, timbul rasa kurang percaya diri, perasaan tidak berdaya dan tidak mampu membuat pilihan. Tantangan utamanya adalah akses akan informasi, meski Gerschick dan Miller luput menganalisis bagaimana gender dan relasi kuasa mempengaruhi laki-laki difabel melalui patriarki yang berkontribusi pada marjinalisasi di dalam dan luar rumah.
Persinggungan antara maskulinitas dan difabilitas dapat dieksplorasi melalui konsep Connell tentang hegemoni maskulinitas. Penghalang lain untuk memotret posisi laki-laki difabel adalah gagasan tradisional patriarki tentang maskulinitas yang sebagian besar masih lazim di India, bahkan di seluruh dunia. Hegemoni maskulinitas dan patriarki saling terkait, sehingga setiap ‘ketidaksesuaian’ terutama yang berkaitan dengan gender, dipandang sebagai ancaman (Cheng, 1999) dan disebut tidak ‘normal’ dan dapat berimplikasi luas. Ditambah pemahaman difabel yang berorientasi medis menumpulkan pemahaman ketertindasan berlapis di India yang masih mengenal kasta. Meski sama seperti praktik patriarki di Indonesia, bahwa laki-laki diharuskan meninggalkan rumah, bekerja dan menjadi kepala keluarga, sehingga berdampak tingkat pengangguran laki-laki difabel jauh lebih tinggi daripada laki-laki non-difabel di pasar tenaga kerja.
Domestifikasi Peran Gender terhadap Laki-Laki Difabel
16 dari 20 responden mengatakan bahwa mereka telah tinggal di dalam rumah sejak masa kanak-kanak. Hal ini menunjukkan bahwa situasi rumah tangga merupakan dinamika utama yang perlu dipertimbangkan dalam memahami pengalaman mereka. Responden yang secara finansial lebih mampu mempunyai keistimewaan dalam hal pengasuhan dan perawatan, sisanya mendapat posisi sebagai subordinat di rumah. Sementara untuk aktivitas di luar ruangan (terutama olahraga), partisipasi mereka tetap berbeda dengan banyak rekan mereka yang non-difabel. Terutama bahwa mereka dianggap bukan pesaing atau berada di luar persaingan dengan non-difabel.
Para responden merasa bahwa pembatasan untuk keluar rumah menjadi alat kontrol oleh anggota keluarga lainnya yang mengambil keputusan atas nama mereka. Beberapa mengeluh tentang menerima terlalu banyak perhatian dari orang tua dan anggota keluarga lainnya yang membuat mereka malu, karena merasakan hal tersebut adalah kekangan terhadap individu dewasa, sekaligus mempengaruhi tingkat kepercayaan diri dan harga diri mereka. Mereka tidak memiliki otonomi atas tubuhnya dan dikendalikan atas nama perhatian dan cinta kasih keluarga. Bahkan yang lebih parah, dalam urusan keputusan rumah tangga, suara mereka tidak dipertimbangkan oleh anggota keluarga lain.
Namun sebaliknya, dalam keluarga di mana tidak ada saudara laki-laki lain yang menjadi anggota keluarga, terutama di mana kepala rumah tangga dipegang oleh perempuan/ibu, posisi laki-laki difabel menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi. Anggota keluarga lain menghormati semua keputusan dan memberinya posisi penting setara dengan posisi sebagai ayah. Responden lainnya memilih mengambil aktivitas yang mengandung risiko demi ketidakpatuhan mereka terhadap norma gender dan menjaga maskulinitas sebagai laki-laki. Beberapa responden mengaku sengaja mengurangi mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena jika mereka selalu ‘patuh’ akan semakin mengurangi status mereka sebagai laki-laki.
Tantangan yang Dihadapi Laki-Laki Difabel
Semua responden penelitian Chakraborty setuju bahwa kedifabilitasan berdampak pada citra tubuh mereka. Ada kekuatiran penolakan, tidak hanya untuk hubungan romantis, tetapi juga dalam pertemanan. Beberapa responden menggunakan situs jejaring sosial untuk dating karena platform jejaring sosial dapat ‘menyembunyikan’ identitas mereka sebagai difabel. Bahkan beberapa orang lebih memilih percakapan online atau panggilan telepon daripada interaksi tatap muka.
Tantangan berikutnya adalah akses atas informasi. Para responden berpendapat bahwa akses informasi, misalnya akses tentang kesehatan seksual dan reproduksi, lebih banyak diberikan kepada perempuan difabel. Mereka tidak tahu harus kemana mencari informasi-informasi tersebut, termasuk juga ketiadaan buku panduan kesehatan seksual dan reproduksi untuk laki-laki difabel. Bahkan ketika Chakraborty menanyakan pertanyaan tentang seksualitas, beberapa responden merasa malu menceritakan tubuh mereka. Salah seorang mengisahkan kekerasan fisik dipukul bagian vitalnya ketika tak bisa menyelesaikan tugas akademik dan seorang responden lain mengeluhkan ketiadaan ruang privasi di rumah ketika anggota keluarga lain bebas masuk ke kamar mereka tanpa izin.
Tantangan lainnya, ketika memilih profesi atau pekerjaan. Masyarakat masih melihat mereka sebagai pihak yang inferior dan melakukan diskriminasi dengan membuat laki-laki difabel seolah tak bisa melakukan apa pun atau tak layak mendapat pekerjaan apa pun terutama pekerjaan yang memerlukan tanggung jawab.
Pada akhirnya, hal terpenting bagi responden yang saat ini bisa bekerja adalah berkontribusi secara finansial kepada rumah tangga. Mereka yang pelajar mencoba memberi kompensasi dengan cara lain, seperti menjadi orang yang paham teknologi di rumah, di mana semua anggota bergantung pada mereka untuk tugas daring apa pun seperti membayar tagihan atau membeli barang secara online.
Dua Sisi Patriarki
Praktik patriarki dibentuk oleh pengalaman sehari-hari dan dipahami sebagai aturan dari siapa pun yang berkuasa di masyarakat. Patriarki dipandang sebagai sistem yang kuat dibuat untuk memerintah yang lemah. Sejumlah responden tak menampik ada ‘kesenangan’ memiliki kekuasaan, namun ada ambivalensi antara maskulinitas yang kadang diartikan ‘berkah’ patriarki dan marjinalitas karena kedifabilitasan yang terlihat jelas dalam contoh-contoh yang diberikan di atas.
Sebagai kesimpulan penelitian, Chakraborty menjelaskan bahwa patriarki dan hegemoni maskulinitas pada laki-laki difabel fisik seperti dua sisi mata uang. Sebagian beranggapan bahwa patriarki dapat meningkatkan status sosial dan mendapatkan berbagai keistimewaan seperti laki-laki non-difabel, tetapi pada saat yang sama mereka percaya patriarki telah mempengaruhi kehidupan sosial sebagai laki-laki, baik di keluarga dan di masyarakat karena kedifabilitasannya.[]
Penulis: Alvi
Editor : Ajiwan Arief
Sumber:
Patriarchy in Practice: Ethnographies of Everyday Masculinities, Bloomsbury, 2023.