Menikmati Karya Lukisan hingga Video Art pada Pameran Inklusif Dewantara Trienalle
Solider.id, Yogyakarta - MATAHARI bersembunyi di balik punggung Kota Yogyakarta, ketika petang hadir menampakkan wajahnya. Sebuah perhelatan seni rupa istimewa sedang digelar di jantung Kota Yogyakarta, Jogja Gallery. Satu pameran yang memberi warna berbeda bagi khalayak. Bertajuk “Social Engagement & Sustainability, International Art Exhibition Triennale #2”, ratusan karya seni rupa, dengan berbagai teknik dipamerkan di sana.
Dalam pameran seni rupa berskala internasional itu, peserta berasal dari 12 negara. Amerika, Australia, German, Albania, New Zeland, Jepang, Vietnam, Pilipina, Korea, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, sebagai tuan rumah. Tak kurang dua ratusan karya dari 145 seniman asing dan dalam negeri dipamerkan. Satu di antaranya seniman difabel.
Pameran tiga tahunan (trienale) tersebut, diinisiasi Program Studi Pendidikan Seni Rupa (PSR) Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta. Maka, pantas dicatat, pameran seni rupa kali ini istimewa. Pameran dibuka pada Selasa (7/3), dan akan berlangsung hingga 14 Maret 2023.
Baca Juga: Nandur Srawung, Perwujudan Seni dan Inklusivitas Para Perupa Gunungkidul
Apresiasi layak diberikan pada penyelenggara acara, PSR UST Yogyakarta. Dinamika trivial dalam mengorganisasikan kepanitiaan demi menggelar acara tersebut, pasti beragam dan memiliki kesulitan yang tidak sederhana. Namun, pada kenyataannya, pameran tersebut mampu menyedot atensi khalayak. Selain itu, memberi pemahaman kepada masyarakat tentang betapa luasnya medan seni rupa bisa dikerjakan oleh siapa pun. Seniman difabel, salah satunya. Harus dipahami, meng-conduct hal itu tentu bukan pekerjaan mudah, di tengah situasi sosiologis, atas masih terus diproduksinya stigma bagi difabel.
Hidup dan kehidupan
Melangkahkan kaki menuju pintu masuk pameran, beberapa karya menyambut para pengunjung. Dua di antaranya, lukisan yang menggambarkan sosok yang bertempur melawan musuh tak terlihat. Karya Irianto Lentho ini digarap dengan teknik cukil. Kiranya menjadi sebuah refleksi terhadap situasi pandemi yang melanda dunia hingga kini. Sebuah ilustrasi, bahwa setiap jiwa (sosok) harus melawan virus corona, musuh yang tak nampak.
Beranjak masuk ke ruang utama, udara disegarkan oleh air conditioner (AC). Di lantai I, terpajang beberapa karya dalam ukuran besar (gegantik), menawan, merepresentasikan alam, semesta, kehidupan. Karya seni rupa tiga dimensi, sepatu berwarna merah menyita perhatian. Insanul Qisti Barriyah dalam karya sepatunya mengusung tema “a piece of destiny”. Sebuah tujuan hidup hendak disampaikan oleh sang kreator.
Masih di lantai I, di bagian belakang ruang pamer. Suara berat seorang pria keluar dari audio visual, dengan judul Ki Adjar. Karya Sri Wastini Setiawan dan St. Andre Triadiputra, menghentikan langkah kaki para pengunjung pameran. Untuk beberapa saat dengan seksama menyaksikan video berdurasi 25 menit 51 detik. Video seni ini menuturkan kehidupan pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara.
Pun di lantai II (atas), puluhan karya seni lukis menjadi perhatian. Di antara puluhan karya yang dipamerkan, terselip karya seorang seniman tuli. Mengusung tema “Alam Kehidupan”, Laksmayshita menggambarkan dengan berbagai bentuk daun, embun atau air. Sumber daya alam yang sangat dekat dengan hidup dam kehidupan manusia.
Keterbukaan kesempatan
Mengutip pernyataan Rusnoto Susanto selaku panitia penyelenggara, selama ini masih banyak ruang yang belum mengakomodir penyandang disabilitas pelaku seni. Mereka seolah hanya sebagai pemenuhan wacana dalam bernegara. Di Indonesia masih jarang diadakan agenda seni yang melibatkan difabel.
Pada pameran kali ini, lanjut dia, di antara ratusan perupa, terdapat satu orang perupa tuli. Laksmayshita namanya. Perempuan tuli, alumni pendidikan seni rupa UST Yogyakarta, 2019. Shita, nama panggilannya. Ia merespons subjecmatte social engagement and sustainability dalam wujud ide kreatif pada karya seni lukis, yang ditampilkan secara unik pada ruang VIP Jogja Gallery.
“Dewantara Triennale 2023 ini merepresentasikan inklusivitas, terbuka, dan merangkul semua disiplin seni visual dari seni lukis, patung, grafis, keramik, kriya, multimedia, new media baru, instalasi, dan happening art yang melibatkan 12 negara”, ujar Rusnoto yang juga Kaprodi Seni Rupa UST Yogyakarta itu.
Pada kesempatan terpisah, salah seorang peserta pameran yang juga dosen seni rupa UST, Insanul Qisti Bariyah menyampaikan catatan. Seni, kata dia. Khususnya seni rupa. Sebelumnya dinilai eksklusif, identik dengan budaya tinggi. Saat ini justru bergerak inklusif, merangkul dan memberi kesempatan pada seniman siapa pun mereka. Hal ini ditandai dengan meningkatnya minat masyarakat pada pameran dan artefak seni. Demikian juga dengan munculnya pameran dengan wacana ‘seniman muda'.
Saat ini PSR UST membuat gebrakan pameran internasional dengan sistem open call. Pendaftaran terbuka untuk semua, kemdudian diseleksi oleh para kurator. Kami dan tim kurator, menyeleksi karya tanpa nama. Hal ini untuk menghilangkan subjektivitas karena kenal, kedekatan psikologis, juga faktor lainnya.
Iin, nama panggilan dosen itu. Dirinya mengaku cukup puas mendapati antusias pengunjung pada tiga hari pameran dibuka. Kawula muda (generasi milenial) tidak hanya dari kalangan seniman atau institusi seni, yang banyak hadir menyaksikan pameran. “Pameran kali ini, ternyata menjadikan generasi milenial sebagai generasi yang berkeinginan mendekatkan seni kepada masyarakat”, tuturnya.
Mengakhiri perbincangan Iin menuturkan. Bahwa berkesenian secara inklusif, membawa perasaan bebas dan bahagia. Mampu mengubah cara melihat diri sendiri, orang lain, dan sekitar. Ini seharusnya bisa dirasakan banyak orang.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief