Tak Hanya Kejar Prestasi, Atlet NPC DIY harus Melek HAM
Solider.id, Yogyakarta. BERBICARA hak, sama halnya berbicara tentang berbagai aspek hidup yang dimiliki oleh setiap warga negara. Hak warga negara, melekat pada diri manusia dalam kedudukannya sebagai anggota atau warga sebuah negara. Hak warga negara timbul atau ada karena peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya.
Hak warga negara juga dapat dikatakan sebagai keistimewaan, yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, yang menghendaki agar warga negara diperlakukan sesuai dengan keistimewaan tersebut.
Pemenuhan hak-hak dasar bagi difabel menjadi perhatian Perkumpulan OHANA Indonesia. Difabel masih menjadi kelompok rentan yang berpotensi mengalami diskriminasi, kekerasan maupun sasaran tindak pidana, melatar belakangi.
Sebagaimana release yang diterima solider.id, dituliskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak konstitusional. Setiap orang dijamin dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Tanpa kecuali difabel dengan berbagai isu interseksionalitas. Sebagai contoh, difabel perempuan dengan berbagai ragam difabilitas, buruh migrant, HIV Aids, lepra atau kusta, difabel sebagai atlet, dan kelompok marginal lainnya.
Baca Juga: Jelang Peparda ke 3 DIY, NPC Kota Yogyakarta Gelar Pencanangan dan Sosialisasi
Sesungguhnya, segala hak telah tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2011. UU ini mengatur hak-hak difabel. Mulai dari hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Demikian pula hak untuk bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena.
Penguatan HAM
Hak asasi manusia (HAM), merupakan suatu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia sejak dilahirkan. HAM berlaku kapan pun, di mana pun, kepada siapa pun dan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan anugerah yang dimiliki oleh setiap manusia.
Sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia, difabel juga merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kedudukan yang sama dengan masyarakat lainnya, untuk menikmati hak asasinya. Dalam konvensi atau UU internasional yaitu Covention on the Right of Person with CRPD Disability (CRPD), sangat tegas menjamin pemenuhan hak-hak difabel. Oleh masyarakat internasional dipandang sebagai kelompok dalam masyarakat yang rentan untuk dilanggar hak-hak dasarnya.
Setelah disahkannya CRPD, tak semestinya difabel dipandang sebagai kelompok yang hanya patut dikasihani. Melainkan dijamin dan dipenuhi hak-haknya sebagai seorang manusia. Sebagaimana tujuan konvensi/CRPD. Yakni, memajukan, melindungi, dan memastikan pemenuhan hak-hak dan kebebasan fundamental secara penuh dan menyeluruh. Serta, memajukan penghormatan terhadap martabat yang melekat pada diri warga difabel.
Selanjutnya untuk menjamin komitmen akan prinsip-prinsip dalam CRPD maka lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU No.8/2016). UU ini terbentuk dengan landasan filosofis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara. Termasuk warga difabel. Kelompok ini mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara Indonesia. UU No.8/2016, juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia. Merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Keberadaan peraturan-peraturan hukum yang mendukung pemenuhan hak aksesibilitas dan akomodasi yang layak sudah sangat baik. Namun, harus diakui, bahwa pada implementasinya, masih ditemukan ketimpangan.
Oleh karenanya, Ohana Indonesia memandang penting adanya pemahaman atas berbagai kebijakan yang ada, perlu dimiliki oleh setiap warga negara. Difabel dalam hal ini. Senin dan Selasa, 6-7 Maret 2023, memberikan penguatan dan pemahaman terhadap para atlet yang tergabung dalam National Paralimpic Committee (NPC) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dilangsungkan.
Trauma healing
Dilangsungkan di Eastparc Hotel, Jalan Adi Sutjipto, Yogyakarta, sebanyak 35 anggota NPC DIY dan pengurus, berkesempatan belajar meningkatkan pemahaman terkait HAM. Hak asasi berbasis gender, serta pentingnya trauma healing (penyembuhan trauma) adalah bagian materi yang dipelajari. Demikian pula dengan apa dan bagaimana bentuk-bentuk trauma healing, maknanya bagi para atlet dan pendamping.
Simulasi dan berbagi pengalaman para atlet juga pendamping, menjadi bagian trauma healing bagi para atlet. Dilanjutkan dengan menulis dan mengidentifikasi hak dasar yang seharusnya didapatkan. Tak ketinggalan, mengidentifikasi metode trauma healing berperspektif hak difabel sebagai atlet. Diakhiri dengan pembekalan dalam upaya membangun keberanian, percaya diri, ketika mengalami diskriminasi dan penindasan dalam berbagai bentuk. Kepada siapa melapor untuk mendapatkan keadilan.[]
Reporter :Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief