Lompat ke isi utama
kegiatan pelatihan interaksi dengan difabel di gunugkidul

Mengapa Penting Memahamkan Aksesibilitas dan Etika Berinteraksi Kepada Aparat Penegak Hukum?

Solider.id, Gunungkidul - Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia tidak henti-hentinya memberikan pemahaman terkait kebutuhan aksesibilitas dan etika berinteraksi kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Dua kebutuhan tersebut menjadi fondasi penting untuk mewujudkan peradilan yang inklusif.

 

Kebutuhan tersebut menjadi wajib, terutama bagi lembaga peradilan. Sebagaimana tercantum di dalam pasal 5 Undang-undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Serta 7 poin yang berkaitan di dalam Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

 

Setelah memberikan pemahaman tentang dua kebutuhan tersebut di beberpaa wilayah, seperti Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta dan lembaga peradilan di luar provinsi DIY. Kali ini, SIGAB memberikan pemahaman bagi Lembaga Peradilan di wilayah Kota Wonosari. Pelatihan direspon dan diikuti oleh 20 APH dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

 

Baca Juga: Tantangan APH Menyingkirkan Kerentanan Difabel Berhadapan dengan Hukum

 

Purwanti, Koordinator Divisi Advokasi SIGAB Indonesia, menjelaskan, aksesibilitas dan etika berinteraksi merupakan kebutuhan para APH. Hal ini dapat membantu mereka dalam menyusun strategi pelayanan yang tidak hanya ada, tapi juga sesuai dengan kebutuhan spesifik dari ragam disabilitas.

 

"Misal, kalau ada Tuli yang melapor kesana (kepolisian). Bagaimana kepolisian meresponnya, dan memberikan pelayanan. Ini harus dipahami, termasuk kebutuhan spesifik difabel," jelas Purwanti, saat menyampaikan materi tentang materi etika berinteraksi (07/02).

 

Menurut Ipung, sapaan akrabnya, etika berinteraksi merupakan pintu awal bagi Lembaga Peradilan ketika menangani kasus difabel berhadapan dengan hukum. Sebab, etika merupakan cara menghargai dan bagian dari sikap memposisikan difabel sebagai subyek hukum yang setara.

 

"Kami berharap, pelatihan pemahaman ini menjadi bekal untuk APH. Jadi mereka sudah siap jika ada difabel yang berproses hukum," lanjut Ipung di Pelatihan dengan tajuk Aksesibilitas dan Berinteraksi dengan Disabilitas bagi Aparat Penegak Hukum yang diselenggarakan 7-9 Februari 2023.

 

Selain mendaptkan materi, para peserta juga dipandu mempraktikkan simulai menjadi seorang difabel dengan menggunakan alat bantu seperti kruk, penutup mata, headphone dan kursi roda. Praktik ini merupakan metode untuk mendekatkan APH secara tidak langsung dengan hambatan-hambatan yang selama ini dihadapi difabel.

 

Trishea Nuriswari, salah satu peserta perwakilan dari Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kejaksaan Wonosari membagi kesannya setelah mengikuti simulasi. Dia merasa sangat berat menjadi seorang difabel dengan medan yang tidak menentu dan membahayakan. 

 

Trishea juga menjelaskan, pelatihan ini membuka wawasannya untuk bagaimana semestinya memahami difabel. Utamanya, dia sebagai perugas lembaga peradilan yang memberikan layanan.

 

Sebelumnya, Trishea pernah mendapat seorang difabel Tuli wicara yang datang ke kantor Kejaksaan Wonosari. Difabel tersebut hendak melporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Beruntung, Trishea sedikit menguasai materi Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang didapatkannya dari pelatihan.

 

"Si Bapak pakai isyarat, misal mengisyaratkan rasa sakit dengan menekan perut. Dan saya coba respon dengan isyarat juga" kisahnya.

 

Terkait aksesibilitas, Trishea menjelaskan di Kejaksaan Wonosari sudah tersedia beberapa, seperti kruk, kursi roda, jalan landai, toilet akses dan lainya. Meski begitu, layanan infrastruktur masih butuh pengembangan lebih lanjut.[]

 

 

Redaksi

The subscriber's email address.