Mengupgrade Persepsi Memastikan Sarana Sanitasi Aksesibel
Solider.id. Yogyakarta - AIR bersih, merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lebih dari setengah tubuh manusia terdiri dari air. Air besih. Tidak hanya untuk dikonsumsi. Namun juga untuk kebutuhan lainnya. Sanitasi, sebagai satu contoh.
Fakta. Meski Indonesia berada di wilayah tropis dengan curah hujan tinggi, tidak menghindarkan masyarakat dari kesulitan air bersih. Berada di dataran tinggi, tak serta merta memudahkan masyarakat mendapatkan sumber mata air yang bisa dimanfaatkan bersama. Distribusi sumber mata air menuju rumah warga, masih menjadi kendala.
Dampaknya, masyarakat di wilayah sulit air harus bersusah payah memenuhi kebutuhan air bersih harian. Kondisi demikian akan menambah sulit bagi mereka yang hidup dengan disabilitas (difabel). Terlebih minimnya ketersediaan fasilitas aksesibel di berbagai tempat.
Sementara, ketersediaan air bersih dan sanitasi adalah hak seluruh manusia, tanpa kecuali difabel. Dalam upaya mewujudkan Indonesia Sehat, kebutuhan dasar tersebut masih menjadi problem, yang belum dapat terselesaikan hingga kini. Kondisi ini berkait erat dengan persepsi masyarakat.
Hasil riset yang dilakukan Yayasan Plan Internasional Indonesia, persepsi masyarakat terkait WASH (air, sanitasi dan kebersihan), masih minim.
Terkait dengan aksesibilitas, sarana prasarana WASH di rumah belum sesuai dengan kebutuhan difabel. Toilet dan fasilitas cuci tangan tidak mudah diakses difabel. Sehingga difabel tidak cukup memiliki banyak waktu untuk melakukan hal lain.
Masyarakat perlu diedukasi, agar pemahaman (persepsi) terkait WASH meningkat (upgrade). Ketersediaan air bersih dan sanitasi, saling berkaitan dalam membentuk karakteristik lingkungan hidup pada kawasan permukiman. Sanitasi yang buruk, dapat memicu pencemaran air dan penyebaran wabah penyakit. Diare dan malaria, sebagai contoh. Dampak berkepanjangan yang mungkin terjadi ialah kematian.
Memastikan sanitasi aksesibel
Solider.id mencatat tahapan demi tahapan dalam upaya menciptakan sarana sanitasi dapat diakses difabel (aksesibel). Menjadi poin penting adalah, menjadi aksesibel, ketika sarana sanitasi dirasakan aman dan nyaman oleh difabel.
“Aksesibel tidak harus mahal. Melainkan bisa terjangkau secara finansial, serta mudah mendapatkannya. Sebagai contoh: penggunaan kursi plastik yang dilubangi sebagai pengganti toilet. Sarana tersebut akan aksesibel, ketika dirasakan aman dan nyaman bagi penggunanya (difabel).” Silvia Landa dari Yayasan Plan Internasional Indonesia, pada Webinar dengan tema GEDSI WASH, Jumat (3/2/2023). Sebuah kegiatan yang diselenggarakan Center for Public Health Innovation (CPHI) FK UNUD, Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM dan Institute Teknologi Bandung (ITB).
Lebih lanjut dipresentasikannya beberapa tahapan memastikan sarana sanitasi aksesibel. Pertama, pra pemicuan (asesmen). Melalui cara: pengumpulan data awal, menciptakan suasana kondusif, serta persiapan pemicuan.
Kedua, pemicuan komunitas. Dengan cara, pengenalan bina suasana dan membuat kesepakatan. Kemudian menganalisa kondisi lingkungan dan perilaku 3 pilar STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). Pemetaan dan penelusuran lingkungan (transect walk), penting dilakukan. Momen puncak pemicuan komunitas ini ialah membangun komitmen melalui rencana tindak lanjut dan kontrak sosial.
Ketiga, pasca pemicuan. Tahapan ini dilakukan dengan cara memastian rencana aksi hasil pemicuan ditindaklanjuti oleh stakeholder terkait. Dilanjutkan dengan melakukan monitoring aksesibilitas di tingkat rumah tangga.
“Indikator akses di sini, pengguna (difabel) merasa aman dan nyaman ketika menggunakan sarana sanitasi. Jika difabel merasa tidak nyaman dan tidak aman, maka perlu dilakukan pemahaman tentang pentingnya sarana sanitasi yang aman dan nyaman bagi difabel. Dengan demikian, masyarakat terpicu menyediakan sarana sanitas yang aksesibel,” Silvia Landa menandaskan.
Gedsi Wash?
Gender Equity, Disability and Social Inclusion for Water Sanitation and Hygiene (GEDSI-WASH). Merupakan cara pandang memenuhi aksesibilitas sarana sanitasi dan air besih bagi kelompok rentan marginal. Empat hal penting dari GEDSI.
Pertama, pemenuhan hak dasar bagi semua individu dan warga negara. Tak terkecuali dengan atribut yang berbeda baik berdasarkan gender, disabilitas, umur, agama, latar belakang etnis/suku, orientasi seksual, warna kulit, dan lain sebagainya. Dengan prinsip pertama ini, sensitif GEDSI berarti membuat orang lain tidak takut menajalani kehidupannya.
Kedua, menghapus dan memberantas kemiskinan, keterpinggiran, diskriminasi, rasa tidak aman dan nyaman, ketakutan, dan pembedaan perlakuan. Bagi mereka yang memiliki otoritas atau kekuasaan harus bisa memastikan semua orang yang berada di bawahnya mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama.
Ketiga, mewujudkan kesetaraan gender, inklusi disabilitas sebagai konsep yang berkaitan, tidak berdiri sendiri, terpisah sehingga intervensi dan strategi untuk mengatasi ketidakadilan harus terintegrasi untuk mewujudkan inklusi sosial.
Keempat, mendorong penguatan pemberian kesempatan dan kemanfaatan secara setara, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Membuka kesempatan kepada perempuan dan menyadari keragaman akan membawa dampak yang baik bagi pertumbuhan di segala bidang[].