Jalan Berliku Mewujudkan Akomodasi yang Layak bagi Difabel dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Solider.id, Yogyakarta -SISTEM peradilan masih menyisakan hambatan bagi penyandang disabilitas (difabel). Kondisi ini berdampak pada tindakan diskriminatif terhadap difabel masih terjadi. Karakteristik difabel belum diperhatikan. Sehingga memicu terjadinya diskriminasi sistem hukum acara pidana Indonesia.
Sementara pasal 17 UU 39 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) berbunyi, bahwa setiap orang tanpa diskriminasi, berhak memperoleh keadilan, dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan. Baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak. Sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim, yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Perjuangan berbagai elemen masyarakat pengusung isu kesetaraan difabel di muka hukum, pun digelorakan. Hingga pada 2020, pemerintah menerbitkan peraturan tentang akomodasi yang layak bagi difabel, yang tengah menjalani proses hukum. Ketentuan turunan dari Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
“Akomodasi yang layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan," demikian tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang definisi akomodasi yang layak.
Peraturan pemerintah ini ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo, di Jakarta pada 20 Juli 2020. Keberadaan peraturan pemerintah tersebut memungkinkan difabel menghadapi proses peradilan tanpa pengampuan. Kesaksian dan eksistensi difabel dapat dijadikan sebuah alat bukti.
Baca Juga: Menyiapkan Akomodasi Layak bagi Difabel dalam Proses Peradilan
Lanjutkan advokasi
Dalam sebuah diskusi bertema “Mewujudkan Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” dikatakan bahwa, peraturan internal yang telah dimiliki aparat penegak hukum (APH) tidak komprehensif. Terkait akomodasi yang layak bagi difabel masih bersifat parsial. Belum terkoordinasi antar lembaga. Sehingga, belum menggambarkan kesatuan proses sistem peradilan pidana.
Diskusi yang digelar Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Organisasi Harapan Nusantara (Ohana) itu juga mendapatkan beberapa catatan. Bahwa, peraturan yang ada masih belum terlaksana dengan baik. Karena, masih terkendala ketersediaan sarana dan anggaran. Advokasi harus terus digelorakan.
Advokasi fokus pada Implementasi. Langkah nyata terwujudnya pedoman pencapaian tujuan. Serta, kapan pelaksanaan penilaian personal harus dilakukan. Hal ini mengingat kondisi difabel bisa terjadi di tengah proses peradilan. Sehingga penilaian personal bisa tidak valid lagi. Namun hal ini lagi-lagi terkendala dengan sumber dana di daerah yang tidak banyak.
Penguatan organiosasi difabel bisa menjadi solusi. Dukungan pemerintah daerah menyediakan ahli atau alat bantu, penting. Peran pemerimtah daerah penting dalam perwujudan akomodasi yang layak.
Perlindungan hukum
Perwakilan Lembaga APIK Jakarta Siti Husna memaparkan beberapa perlindungan hukum yang diberikan kepada difabel korban tindak pidana. Pertama, mendapat penerjemah bahasa isyarat. Sebagaimana tertuang pada KUHP pasal 178. Kedua, pada pasal 160, difabel diperiksa pertama sebagai saksi adalah korban (saksi korban).
Ketiga, berdasar UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 9 menjelaskan hak keadilan dan perlindungan hukum untuk penyandang disabilitas. Meliputi: 1) mendapatkan perlakukan yang sama di hadapan hokum, 2) diakui sebagai subjek hokum, 3) memperoleh penyediaan aksesibilitas dalam pelayanan peradilan. Saat ini masih sebatas aksesibilitas fisik (infrastruktur).
Keempat, pasal 30 mengatur bahwa, sebelum diperiksa penegak hokum wajib mendapat pertimbangan atau saran dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya terkait kondisi kesehatan, psikolog atau psikiater engenai kejiwaan dan atau pekerja sosial mengenai kondisi psikososial. Selanjutnya pasal 31, yaitu ketika pemeriksaan terhadap anak difabel, penegak hokum wajib mengizinkan orang tua, pendamping dan penerjemah untuk mendampingi anak.
Tantangan
Tantangan umum sering dihadapi ketika di kepolisan, kejaksaan maupun pengadilan. Di kepolisian, meski sudah ada nota kesepahaman antara Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan HWDI (Himpunan wanita Difabel Indonesia). Namun, tak banyak polisi yang memiliki pemahaman cukup mengenai difabel.
“Belum banyak polisi tahu mengenai perbedaan usia mental dan usia biologis. Akibatnya berujung victim blaming (menyalahkan korban),” terang Husna.
Sedang di kejaksaan, belum tersedia berkas perkara yang dapat dibaca dengan baik oleh korban. Di pengadilan, masih beranggapan bahwa pendamping yang boleh mendampingi korban hanyalah dari LPSK (lembaga pendamping saksi korban).
Sebuah cacatan pun disampaikan oleh Siti Husna, pejabat sementara Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH Apik. Bahwa dana bantuan hukum dari organisasi bantuan hukum (OBH) disamakan antara korban difabel dengan nondifabel. Sementara kebutuhan mereka berbeda. Salah satunya dari segi transportasi.
Anggota Komite Nasional Disabilitas (KND), DR. Rahmita Harahap. Dia mengaku sudah melakukan advokasi di beberapa instansi penegak hukum. Polisi salah satunya. “Tapi polisi tidak tahu. Butuh polisi bisa bahasa isyarat. Sampai-sampai Tuli patungan (iuran) senilai 10-20 ribu, untuk membayar juru bahasa isyarat (JBI),” ujar Rahmita.
Harus sosialisasi dan advokasi terus, lanjut dia. Padahal UU 8/2016 ada. UU turunan sudah jelas. Saya pernah pengalaman menangani kasus pada 2007. Yaitu kasus korban diperkosa. LBH (lembaga bantuan hukum) mengatakan tidak perlu bahasa isytarat. Semua sama katanya.
Satu lagi yang dutegaskan oleh Rahmita, peremuan Tuli yang juga berprofesi sebagai dosen di Jakarta. “Akomodasi yang layak bukan dibayar oleh difabel maupun keluarga. Melainkan menjadi tanggung jawab negara, melalui APBD atau APBN.
Adapun Asfinawati – Pengajar STH Indonesia Jentera, mencatat adanya sistem korup di Indonesia. Konsep dan prinsip pengadilan bagi difabel sudah ada di sana-sini. Tetapi pelaksanaanya masih jauh. Maka advokasi selanjutnya untuk melakukan pemantauan.
Membuat aturan gampang. Yang sulit implementasinya. Dari sisi regulasi, ada progress yang perlu diapresiasi. Namun perlu juga dikritisi. Amanat peraturan sudah turun tapi belum terlaksana. Titik poin advokasi di arena sistem peradilan pidana, harus digalakkan. Catatan Fajri Nursyamsi – Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief