Lompat ke isi utama
atlet basket berkursi roda sedang beraksi

Difabel, Kepadanya Melekat Seluruh Hak dan Kewajiban

 

Solider.id, Yogyakarta - Berbicara difabel, adalah berbicara tentang kita. Difabel merupakan bagian dari kita yang memiliki perbedaan kemampuan, baik yang bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan, atau beberapa kombinasi dari berbagai perbedaan kemampuan.

 

See the Person Not the Disability” merupakan cara pandang yang tepat terhadap difabel. Lihatlah orangnya (manusianya) bukan dilihat kedifabilitasannya. Lewat cara pandang yang demikian, maka difabel betul-betul bagian dari kehidupan masyarakat. Pada mereka melekat seluruh hak dan kewajiban sebagaimana nondifabel.

 

Difabel  setara sebagai manusia “normal”, tanpa sekat dan penghalang. Baik dalam mengakses hak maupun pemenuhan kewajiban. Cara mereka mengakses hak dan memenuhi kewajiban saja yang berbeda. Aksesibilitas sesuai kebutuhan, yang mereka butuhkan. Supaya setara.

 

Bersikap wajar

Menjadi difabel tentu bukan sebuah pilihan. Bahkan menjadi siapa pun. Hidup, tidak pernah ada bargaining (tawar-menawar) dengan sang pencipta. Tidak bisa memilih menjadi siapa, seperti apa, saat dilahirkan di dunia. Fakta di lapangan, difabel dapat pula terjadi pada siapapun dan kapanpun. Yang sebelumnya bukan difabel, bisa menjadi difabel.

 

Difabel bukan hanya bawaan lahir, namun dapat terjadi karena usia sehingga membutuhkan alat bantu kursi roda untuk mobilitas. Bisa juga karena kecelakaan, kebakaran, perubahan alam (gempa, gunung meletus). Karena kondisi yang tidak pernah diinginkan dan diketahui kapan, serta di mana terjadi.

 

Bersikap wajar dengan siapa saja. Menghormati seluruh hak dan kewajiban, memberikan kesempatan dan dorongan. Ialah, hal-hal yang dapat dilakukan sebagai sesama manusia. Dengan kata lain memanusiakan manusia (manusiawi).

 

Adapun mengasihani, bukan cara wajar bersikap terhadap difabel. Mengapa? Karena, difabel mampu melakukan apa saja. Sepanjang aksesibilitas sesuai dengan kebutuhan tersedia. Tindakan mengasihani  akan menempatkan difabel sebagai individu yang lemah, tidak mampu mandiri. Cara dan sikap demikian, justru akan merugikan difabel. Bisa jadi, seumur hidup menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, bahkan negara.

 

Aksesibilitas untuk kesetaraan

Kesetaraan kesempatan, hak, dan kewajiban mesti diwujudkan. Kesetaraan akan terwujud sepanjang ada aksesibilitas yang aksesibel (akomodasi yang layak). Atau fasilitas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan difabel. Dengan demikian, difabel dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Tanpa harus dibantu orang lain.

 

Aksesibilitas, bukan terbatas pada aksesibilitas fisik semata. Tetapi juga aksesibilitas nonfisik. Saat ini pemahaman banyak pihak (perorangan, instansi pemerintah dan swasta), lebih pada aksesibilitas fisik. Seperti ketersediaan ramp (jalan miring) dan handle ramp (pegangan ramp) bagi pengguna kursi roda, atau guiding block (blok pemandu) bagi difabel netra.

 

Sementara aksesibilitas nonfisik belum banyak menjadi perhatian dan sorotan. Bagi tuli sebagai contoh. Mereka membutuhkan penterjemah bahasa isyarat, tulisan, atau cahaya untuk menggantikan informasi berupa suara.  Bagi difabel intelektual yang mengalami hambatan secara kognisi, membutuhkan contoh (roll mode). Kesadaran bersama yang dimulai dari keluarga penting. Dalam hal pemenuhan hak dan memenuhi kewajiban bagi warga difabel.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     ; Ajiwan Arief

 

 

The subscriber's email address.