Lompat ke isi utama
pak Giyatna

Giyatna, Upaya Pemberdayaan Difabel Desa, hingga Mimpi Punya Motor Roda Tiga

Solider.id, Gunungkidul – pemenuhan dan perlindungan hak difabel di suatu daerah tidak serta merta terwujud tanpa peran serta dan kolaborasi berbagai pihak. Salah satu pihak yang dirasa cukup penting adalah tokoh atau aktor difabel di sebuah daerah. Lewat perjuangan yang dilakukan, advokasi hak difabel di suatu wilayah dapat berjalan, hingga membuka jalan untuk mewujudkan wilayah yang setara dan menuju daerah yang inklusif.

 

Salah satu sosok pejuang inklusi difabel di Gunungkidul adalah Giyatna. Setelah merantau bertahun-tahun di ibukota Jakarta, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman.  Giyatna muda memilih bertani dan beternak di kampung halamannya, Dusun Bamban, Kalurahan Bongol, Kapanewon Rongkop. Dari ternak sapi, kambing, hingga ayam, membantunya belajar bermasyarakat dan aktif di Badan Permusyawatan Desa. Namun karena tuntutan ekonomi pula mengharuskan ia untuk mencari kerja lainnya. Mencoba peruntungan di RS PKU Muhammadiyah, ia diterima sebagai tenaga perkebunan dan office boy. Sambil menjadi tenaga parkir. Giyatna bersama istrinya, Yanie Arrie Arafat, membuka usaha kantin di komplek RS PKU sejak 2019 hingga sekarang.

“Tiada waktu untuk berpangku tangan hanya dengan mengandalkan “krida lumahing asta”, (Menadahkan telapak tangan, Bahasa Jawa) karena setiap tetes keringat dan lelah kita akan berbuah manis pada akhirnya.” Ujar ayah dari Najwa Zaini dan Muhammad Al Fatih ini. Giyatna terlihat semangat meski terik menyengat.

 

“Mengarungi samudera kehidupan, kita diibaratkan pengembara yang harus terus hidup dan berjuang. Apalagi mengingat kondisi saya yang difabel daksa, saya harus berjuang untuk memotivasi diri pribadi agar bisa setara dengan masyarakat umum.” Lanjut pria ini kemudian.

“Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.” Tuturnya seolah menyuntik semangat pada diri sendiri. Tertatih dalam melangkah, sesekali dia terlihat mengatur kendaraan yang lalu lalang.

 

Aktif di masyarakat dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti menjadi takmir masjid dan mengurus TPA Al Arif Dusun Songgoringgi, terlibat pula dalam ikatan pekerja sosial  masyarakat, membuat Giyatna baru tertarik gabung di organisasi difabel pada pertengahan 2018. Maka bergabunglah ia dalam Forum Komunikasi Disabilitas Gunungkidul (FKDG) sebagai bendahara yang kemudian membawanya aktif menjadi anggota Difagana Gunungkidul, setelah sebelumnya ia dipercaya menjadi ketua kelompok pemberdayaan disabilitas desa di kalurahan Bongol.

“Banyak ilmu yang saya dapat setelah aktif di organisasi difabel.” Kata pria yang sempat aktif di National Paralympic tingkat DIY ini.

 

Memilih untuk mendahulukan agenda yang sudah dijadwalkan saat mengharuskannya datang bersamaan, Giyatna tetap menomor satukan keluarga mengingat dua anaknya sudah SD dan SMA.

 

Demi kamajuan difabel di daerahnya, Giyatna mengusulkan perlu adanya pendampingan bagi organisasi difabel di Rongkop agar bisa aktif seperti kapanewon lain, Giyatna berharap ada organisasi pendamping yang bisa mendampingi  difabel di wilayah kapanewon Rongkop.

“Sayangnya di wilayah kapanewon Rongkop masih perlu meningkatkan kesadaran teman-teman difabel untuk ikut organisasi. Kendala transportasi dan pendanaan menjadi masalah utama, sehingga teman-teman kurang tahu ada organisasi difabel yang terbentuk meski belum aktif.” Ujar Giyatna yang menyayangkan mereka tidak bisa melakukan dampingan karena jauhnya jarak tempuh menuju kapanewon Rongkop.

 

“Alasannya jarak tempuh kapanewon Rongkop yang jauh dari kota, ini membuat kapanewon kami tertinggal jauh dalam hal organisasi. Untuk kalurahan saya sendiri sudah terbentuk organisasi difabel tingkat kalurahan yang berhasil saya usulkan lewat APBDes, sayangnya karena pandemi kegiatan jadi terhenti. Harapan saya masing-masing kalurahan bisa kembali mengalokasikan dana untuk kegiatan difabel supaya difabel bisa lebih mandiri dan ikut aktif dalam organisasi.” Ungkap Giyatna di antara sibuknya mengatur lalu lalang kendaraan yang datang.

 

Ia sendiri memiliki harapan agar organisai difabel yang sudah ada di Gunungkidul (FKDG) bisa menjadi jembatan bagi teman-teman difabel di Gunungkidul untuk saling bersinergi. “Biarpun masing-masing membawa bendera OPD yang berbeda, tetap harus diupayakan bisa duduk bersama supaya bisa menyentuh  difabel, baik dalam segi informasi maupun tingkat keterampilan yang perlu dimiliki. Karena biar bagaimanapun teman-teman difabel perlu tahu bahwa ada forum difabel yang bisa menjembatani kebutuhan mereka dengan instansi pemerintah.” Pungkas Giyatna mengenai organisasi difabel yang selama ini ia ikuti.

 

Masih memiliki impian bisa punya motor roda tiga, Giyatna berharap bisa meringankan pekerjaannya.

“Setidaknya bisa membantu saya membawa hasil panen dari ladang ke rumah dengan mudah, atau saat harus membawa kebutuhan belanja warung, mengingat kondisi fisik saya yang tidak bisa seimbang saat membawa beban, sehingga harus menyelesaikan pekerjaan agak lama karena harus mengusung satu demi satu supaya bisa terselesaikan.”[]

 

Reporter: Yanti

Editor      : Ajiwan Arief

 

 

The subscriber's email address.