Lompat ke isi utama
salinan uu 1 2023

Minim Keterlibatan Difabel, UU No. 1 Tahun 2023 Sisakan Banyak Persoalan

Solider.id - Partisipasi difabel masih sangat minim dalam pembahasan   Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Padahal, yang menjadi konsep ideal ‘Partisipasi yang bermakna’ dari sebuah proses legilasi salah satunya adalah pelibatan difabel. Hingga disahkan menjadi Undang-Undang, persoalan difabel dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih belum terselesaikan.

 

Organisasi-organisasi difabel secara mandiri menyampaikan aspirasi mereka tanpa ada yang memfasilitasi, baik dari Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain permasalahan dalam proses pembentukan, persoalan lain yang masih muncul yaitu dalam substansi norma KUHP itu sendiri.

 

Substansi  KUHP dinilai tidak sensitif terhadap kebutuhan dan realitas para warga difabel yang berhadapan dengan hukum. Kondisi seperti ini cenderung memperkuat potensi terjadi diskriminasi dan mempertajam stigma.

 

Albert Wirya dari LBH Masyarakat yang berpusat di Jakarta, menyampaikan, selain empat belas pasal dalam KUPH yang telah ditanggapi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan DPR. Namun, selain pasal-pasal yang krusial tersebut masih ada pasal lain yang berpotensi tidak berpihak terhadap difabel.

“Situasi yang diambil berdasarkan draf 4 Juli 2022 masih tidak berpihak pada difabel. Pembahasan RKUHP yang tidak partisipasif, masih ada beberapa pasal yang membutuhkan partisipasi difabel seperti seputar posisi korban, hukuman mati, pertanggungjawaban pidana, gelandangan dan lainnya,” papar ia.

 

Baca Juga: Dampak Pengesahan UUKUHP terhadap Perempuan Difabel

 

Pasal-pasal  KUHP yang masih berpotensi terhadap diskriminasi

Posisi korban tindak pidana

Pasal 26, ‘Dalam hal korban tindak pidana aduan berada dibawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi korban tindak pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.’

 

Pasal tersebut mengatur korban tindak pidana yang berada dibawah pengampuan tidak dapat melapor sendiri peristiwa pidana. Ini menyalahi prinsip persamaan di muka hukum, karena korban tindak pidana mempunyai hak untuk melaporkan peristiwa pidana dan hak itu tidak boleh dirampas regulasi.

“Posisi korban tindak pidana ini melanggar hak atas kapasitas hukum. Realita pengampuan di Indonesia sangat mudah diberikan, terutama kepada masyarakat difabel seperti difabel psikososial atau intelektual,” terang Albert.

 

Penganpu juga berpotensi menjadi pelaku tindak pidana. Pada tahun 2018, sekitar 21% pelaku tindak pidana terhadap Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODP) adalah keluarga.

 

Hukuman mati

Pasal 99 Ayat (4), ‘Pelaksanaan hukuman mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang sakit jiwa tersebut sembuh.’

“Pada pasal ini begitu kuat perspektif medical model. Ketidakpastian hukuman mati sebagai sumber stressor. Dan layanan kesehatan jiwa di lepas,” imbuhnya.

 

Gelandangan

Pasal 429, ‘Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori 1.’

 

Albert menjelaskan terkait realita di lapangan, menurutnya, banyak tunawisma yang teridentifikasi memiliki masalah kesehatan jiwa. Obserrvasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dalam 10 hari Satpol PP bisa membawa 90 ODP.

Ini juga meningkatkan stigma keberbahayaan, bertentangan dengan CRPD pasal 19 tentang hak untuk hidup independen. Pemasungan terjadi sekitar 62,5% di tahun 2017 alasannya untuk keselamatan orang lain.

 

Pertanggungjawaban pidana

Pasal 38, ‘Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyamdang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.’

Pasal 39, ‘Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyamdang disabilitas mental yang dalam keadaan eksaserbasi akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.’

 

Ketentuan ini tidak bisa diberlakukan secara merata berdasarkan status kedifabelannya (Satus based discrimination), jika tidak berhati-hati menggunakannya bisa melestarikan stigma bagi difabel. Penekanan pada kondisi pelaku, bukan pada kedifabelannya (Disbility neutral doctrine)

Tindakan

Pasal 110, Ayat (1) ‘Tindakan perawatan di Rumah Sakit Jiwa dikenakan terhadap terdakwa yang dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan masih dianggap berbahaya berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa.’ Ayat (2) ‘Penghentian tindakan perawatan di Rumah Sakit Jiwa dilakukan jika yang bersangkutan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa.’ Ayat (3) ‘Penghentian tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)  dilakukan berdasarkan penetapan hakim yang memeriksa perkara pada tingkat pertama yang diusulkan oleh jaksa.’

 

Di pasal ini masih terdapat medical model. Vonis oleh hakim, penghentian oleh dokter. Berpotensi penahanan tanpa batas waktu. Tergantung dari kesediaan pengampu.

 

Pentingnya pelibatan difabel dalam pembahasan KUHP

Dalam proses pembentuka KUHP tersebut sangat minim ruang bagi masyarakat, khususnya organisasi difabel untuk memberikan masukan. Beberapa poin pasal berpotensi diskriminasi terhadap difabel, khusunya difabel mental dan intelektual.

“Perlu partisipasi kelompok difabel dalam pasal-pasal tersebut. Ini masih berpotensi terjadinya tindakan diskriminasi terhadap difabel yang berhadapan dengan hukum,” pungkasnya.

 

Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan ll Tahun Sidang 2022-2023 Selasa, (6/12/2022) lalu, DPR RI telah menyetujui RKUHP sebagai Undang-undang. Pengesahannya dilakukan dalam rapat tersebut, meski ramai penolakan dari masyarakat.[]

 

Reporter: Srikandi Syamsi

Editor     : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.