Pemenuhan Hak Difabel Pasca Pandemi Covid - 19
Solider.id - Di Indonesia saat ini ada 23 juta difabel atau 9% dari seluruh jumlah penduduk. Sebanyak 19 juta di antaranya adalah difabel mental. Saat pandemi COVID – 19 silam, separuh penduduk Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya dan kelompok difabel adalah yang paling rentan. Tingkat kerentanannya lebih besar dan memiliki pengeluaran lebih tinggi. Ketidaksetaraan kelompok difabel semakin melebar dengan indikasi masih banyak difabel yang belum menerima bantuan reguler pemerintah. Di sektor Kesehatan, mereka tidak dapat mengakses sarana dan prasarana kesehatan. Padahal di segala situasi mereka sangat berharap adanya rehabilitasi dan layanan terapi.
Situasi kompleks juga dapat dijumpai pada perempuan difabel. Selain dampak pandemi, perempuan difabel juga mengalami kerentanan ekonomi dan kekerasan. Akses kepada bantuan juga masih jadi problem. Baru 41% dari difabel menerima perlindungan sosial. Beberapa hal perlu didorong terkait kebijakan untuk inklusi difabel terutama difabel mental psikososial. Penting bagaimana memperkuat komitmen negara. Menyediakan layanan yang ramah difabel dan lebih dari sekadar layanan rehabilitasi. Selain itu, penting juga untuk akses pekerjaan, perlindungan sosial (perlinsos), terbebas dari Stigma, dan akses sosial. Demikian dikatakan oleh Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM dalam Ruang Tanggap Rasa Masa Depan Inklusi, 9 Desember 2022 silam.
Cetha Nilawaty, redaktur Tempo menyatakan kalau isu difabel bukan isu seksi, atau kantong politik. Namun saat ini paradigmanya adalah HAM. Saat isu difabel bila ditulis oleh jurnalis maka akan menarik, misalnya "Oh ada kelompok difabel lho yang belum divaksin padahal ini kebutuhan penting bagi mereka." Menurutnya menarik karena ada sisi kemanusiaan, kesetaraan dan pemenuhan hak.
Terkait hak pekerjaan bagi difabel, Joni Yulianto, pegiat isu difabel menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengatur di sektor pemerintah minimal 2% dan 1% sektor swasta. Aturan itu sangat jelas artinya karena minimal maka jika lebih dari itu sangat baik. Ia menambahkan 80% difabel bekerja di sektor nonformal. Jadi perlu diversifikasi pekerjaan bagi difabel.
Difabel dengan kondisi minim pendidikan yang selama ini tidak akses bagi mereka karena sistem, diharapkan ke depan akan menjadi penting agar pemerintah melakukan lagi tidak hanya pilot project misalnya, pemenuhan hak pekerjaan di sektor pemerintah, lalu hanya untuk dipamerkan di daerah-daerah tetapi mendorong supaya daerah itu pun juga melakukan hal yang sama. Bagaimana misalnya dua atau tiga orang itu kemudian menjadi 1000, 2000 orang. Tetapi yang terjadi selama ini hanya 3-4 orang itu saja yang dikelilingkan.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Saat ini ada formasi khusus difabel, yang termasuk kebijakan afirnasi. Seharusnya di luar formasi itu difabel juga bisa mendaftar dan kalau harus melalui uji kompetensi maka tidak boleh ada diskriminasi. Itu sektor formal sudah diakomodasi dan harus selalu diingat bahwa Indonesia itu bukan hanya satu dua orang itu saja yang dikelilingkan.
Joni menutup diskusi dengan menyatakan bahwa pandemi banyak memberi pelajaran yang bisa dibikin modal. Justru harusnya dari pandemi kelompok difabel bisa mendapat optimisme. Dari sebuah pandemi orang-orang mendapat pelajaran banyak, dan seharusnya inklusi lebih bisa diwujudkan misalnya DPO saat pandemi justru banyak melakukan sesuatu misalnya lebih aware kepada diri sendiri dan terwujudnya solidaritas.
Contoh yang lain, dari sistem pemerintah menjadi terbuka ternyata dalam urgensi kita butuh data yang akurat. Karena artinya dalam situasi lebih baik maka kita bisa bekerja lebih baik atau bisa efisiensi kerja supaya bisa merespon lebih cepat, maka akan butuh proses lebih. Dalam konteks HAM ketika ada satu orang saja tertinggal itu pelanggaran HAM. Pertanyaannya adalah seberapa mau kita sebagai negara mengambil pembelajaran--pembelajaran ini untuk terus mendorong inklusi difabilitas ke depan. Untuk pelaksanaan kemudian harus ada pengawasan.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief