Dampak Pengesahan UUKUHP terhadap Perempuan Difabel
Solider.id, Tangerang- Telah disahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi UU KUHP oleh Komisi III DPR RI bersama pemerintah pada Selasa 06/12/2022. Meski masih ada pasal-pasal dirasa kontroversial dalam Undang-undang Kitab Hukum Pidana (KUHP). Dalam undang-undang tersebut masih ada beberapa aspek, prinsip penanganan yang belum menempatkan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban sebagai pusat dari sistem peradilan pidana yang berpihak kepada korban perempuan/anak difabel.
Berlatarbelakang itulah kemudian OHANA menggelar diskusi terfokus dengan menghadirkan beberapa narasumber. Hisyam Ikhtiar Mulia dari LBH Masyarakat membahas pasal 103 Ayat (2) tentang
Pengenaan tindakan berupa :
b. Penyerahan kepada seseorang --->keluarga atau pihak lain yang mampu merawat.
c. Perawatan di lembaga -----> lembaga kesejahteraan sosial
d. Penyerahan kepada pemerintah ---> tidak ada definisinya.
Sedangkan Pasal 105 Ayat (3)
Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang :
b. Menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.
Pasal 243 : Menyiarkan, mempertunjukkan, memperdengarkan atau menempelkan tulisan atau gambar di muka umum atau melalui sarana teknologi informasi yang berisi pernyataan permusuhan terhadap kelompok masyarakat berdasarkan ...Agama...Disabilitas mental atau disabilitas fisik.
Pasal 242 :Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan kepada golongan/kelompok berdasarkan...disabilitas mental atau disabilitas fisik.
Pasal 110 :Perawatan di RSJ dikenakan kepada terdakwa yang dianggap berbahaya berdasarkan penilaian dokter jiwa.
*Penghentian tindakan perawatan di RSJ dihentikan bila yang bersangkutan tidak lagi memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan penilaian dokter jiwa.
*Penghentian tindakan dilakukan berdasarkan penetapan hakim tingkat pertama yang diusulkan oleh jaksa
Pasal 473 ayat (2) huruf d
Perkosaan termasuk persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa, atau dengan penyesatan.
Sedangkan Dewi Tjakrawinata, narasumber yang lain mengutip berbagai pernyatan respon disahkannya undang-undang KUHP ini, Asfinawati "masalah utama KUHP adalah banyak pasal yang multitafsir. Implikasinya, KUHP ini dapat digunakan oleh penguasa dan mayoritas untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas dan warga rentan lainnya."
Andreas Harsono dari HRWG : 'KUHP berisi ketentuan yang membuka peluang terjadinya invasi pada ruang privat dan penggunaan kekuatan yang memungkinkan polisi melakukan pemerasan dan penyuapan, anggota parlemen mengusik lawan politik dan aparat memenjarakan para bloggers."
Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM, "Terlepas dari adanya kelompok masyarakat yang tidak puas, KUHP yang disahkan merupakan landmark hukum nasional kita."
-Utusan PBB di Indonesia : "KUHP tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan HAM.
-Tim Lindsay seorang profesor dari Universitas Melbourne : KUHP Indonesia bukan hanya tentang larangan seks di luar nikah , namun KUHP juga membahayakan kebebasan pers dan beragama.
-Usman Hamid, Amnesty Internasional Indonesia : "Apa yang kita saksikan merupakan pukulan mundur bagi kemajuan Indonesia yang telah diraih dengan sudah payah dalam melindungi HAM dan kebebasan dasar selama lebih dari dua dekade."
Terkait perempuan dan anak-anak difabel yang berhadapan dengan hukum, KUHP belum inklusi difabilitas, menganggap difabel sebagai orang sakit, Aparat Penegak Hukum (APH) masih sangat bias disabilitas terutama bagi difabel intelektual dan atau mental. Mereka baru melaporkan saja sudah distigma dan dilecehkan dan tidak diberikan akamodasi yang layak.
Menurut Dewi, pasal-pasal yang bermasalah adalah ;
Pasal 408, 409, 410 tentang kontrasepsi
Pasal 411 tentang perzinaan
Pasal 412 tentang Kohabitasi
Pasal 406 tentang Kesusilaan di Muka Umum
Pasal 603 tentang Korupsi (penurunan hukuman minimal)
Pasal 2 Hukum Adat (living law)
Pasal 218, 219 Penghinaan Harkat dan Martabat Presiden dan Wapres.
Pasal 240, 241 Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Pasal 433 tentang Pencemaran nama baik.
Pasal 473 tentang Perkosaan (diperluas)
Pasal 263, 264 penyebaran hoax.
Pasal 256 tentang Larangan unjuk rasa tanpa izin
Pasal 188 tentang Pelarangan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila
Pasal 300, 301, 302 tentang Pidana Agama/Kepercayaan
Pasal 597 tentang bebas dari rasa takut dan diskriminasi (hukum adat)
Pasal tentang Pelanggaran HAM Berat
Pasal Hukuman Mati
Pasal korporasi
Pasal-pasal yang bermasalah :
Pasal 110
1. Tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan terhadap terdakwa yang dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan masih dianggap berbahaya berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa.
(2.) Penghentian tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dilakukan jika yang bersangkutan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa.
(3.) Penghentian tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan penetapan hakim yang memeriksa perkara pada tingkat pertama yang diusulkan oleh jaksa.
[17/12 17.18] Pak Mantan: Kristina Firi dari PJS memaparkan empat kelompok pasal yang bermasalah adalah ;
Pertanggungan Pidana yakni di pasal 38 dan 39, Tindakan (Bentuk Hukuman) di pasal 103, 105, Kapasitas Hukum di pasal 26, dan Lingkup Ragam Disabilitas di pasal 242 dan 243.
[17/12 17.18] Pak Mantan: Menurut Firi, penghilangan pertanggungjawaban Pidana tidak tepat dilekatkan kepada status atau kondisi disabilitas karena disabilitas adalah identitas, yang kondisi satu orang dengan orang lainnya berbeda dan terkait ruang dan waktu.
Alasan/kondisi yang lebih umum adalah seperti "tidak menginsyafi tentang sifat melawan hukum dan perbuatan yang dilakukan pada waktu melakukan tindak pidana
Lepasnya seseorang dari pertanggungjawaban pidana tidak bisa sesempit melihat kepada status orang itu sebagai difabel mental/intelektual , tetapi karena suatu alasan/kondisi yang lebih umum.
Dalam menentukan seseorang berada dalam kondisi tersebut, penyidik harus melakukan penilaian personal yang melibatkan ahli.
Kristina Firi juga menyoroti Pasal 26, pasal ini tidak mengakui "kapasitas hukum" penyandang disabilitas dan masih menggunakan konsep pengampuan dalam pasal 433 KUHPerdata. Pasal ini akan menjadikan korban difabel semakin menjadi korban.
Sedangkan tindakan sebagai upaya dukungan bukan penghukuman. Tindakan yang dapat diberikan bagi difabel intektual bukanlah rehabilitasi melainkan habilitasi karena kondisinya yang terjadi sejak lahir atau kondisi dini pertumbuhan.
Firi juga menyinggung Tindakan sebagai Upaya Dukungan bukan Penghukuman. Tindakan yang dapat diberikan bagi penyandang disabilitas intelektual bukanlah rehabilitasi melainkan habilitasi karena kondisinya terjadi sejak lahir atau kondisi dini pertumbuhan.
Lalu pasal 242 dan 243 ayat (1) mengganti istilah penyandang disabilitas fisik dan disabilitas mental hanya dengan menggunakan istilah penyandang disabilitas saja.
Firi menyorot 1.Pertanggungan pidana
2. Kapasitas hukum
3. Tindakan atau hukuman
4. Ragam disabilitas
Perda difabel akan bermasalah di daerah
Hamban difabel psikososial tidak permanen
Itu yang harus dihapus
Cara pandang pasal 38 dan 39 menganggap difabel psikososial tidak punya kapasitas hukum
Pasal ini masih merujuk spr pasal 433 kuhperdata yg saat ini JR di MK
Perlu menambahkan konsep habilitasi bagi difabel intelektual. Tidak ada kajian substansi di masyarakat. Bahkan UU TPKS tidak jadi referensi.
3. Pengakuan difabel sebagai subjek hukum yang memiliki subjek hukum. UU ini terlepas dari CRPD dan UU 8/2016.
Ipung : yang belum ada di UUKUHP. 1. Tidak ada partisipasi publik . 2. Tidak ada kajian dengan komunitas rentan misal difabel. Diskusi publik yang digelar di Bandung hanya 3 jam sangat sedikit waktunya.
Pasal di dalam. Komunitas difabel sebagai subjek hukum yang tidak memiliki kapasitas hukum.
Sanksi pidana , hal hal yang masuk pidana tidak masuk KUHP
UU no 8 dan 19 belum jadi dasar dan belum jadi pembahasannya
Belum mencantum aksesibilitas dan akomodasi yang layak
Tidak tertuang kebutuhan khususnya seperti UUD 45
KUHP juga harus disinkronkan dg UUTPKS apakah yang Lex specialis dengan uutpks
Masih membingungkan terkait konsep umur ada yang di bawah 21 tahun, di bawah 18 tahun dan di bawah 14 tahun
Arah arahnya kok akan dipantikan
Difabel untuk bercandaan atau eksploitasi belum masuk dalam uukup
Risnawati : laporan UPR dan CRPD hanya formalitas dan ini perlu diluruskan . Pemahaman pembuat UU sungguh miris terkait pemahaman dan perspektifnya
Syafii. UU sentuhannya banyak sekali
Termasuk lembaga. Ehara
KUHP ini masih menghidupkan penghinaan kepada pemerintah dan bukan hanya presiden
Negara.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief