Lompat ke isi utama
animasi ilustrasi tentang perlindungan korban kekerasan bagi difabel

Jalan Terjal Difabel Korban Kekerasan Mencari Keadilan

Tidak mudah bagi difabel korban kekerasan seksual di DIY mencari keadilan. Dari total 90 kasus kekerasan seksual yang dialami difabel, hanya 22 di antaranya yang berujung ke meja hijau. Sebagian besar kasus itu macet di kepolisian. Kelompok ini semakin rentan menjadi korban kekerasan seksual. 

 

Solider.id, Yogyakarta - BAGAI petir di siang bolong, Suwarni (62) mendengar kabar putri satu-satunya, Tara -bukan nama sebenarnya- diperkosa. Waktu itu 12 Oktober 2019. Tara berusia 20 tahun. Ia terlahir dengan hambatan berpikir, seorang difabel intelektual. Saat itu, korban tercatat sebagai siswa kelas satu pada Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) swasta di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

 

Pagi menjelang siang. Kala itu Suwarni sedang bekerja di sebuah rumah makan. Ia didatangi guru sekolah Tara. Sang guru meminta Suwarni datang ke sekolah.

 

Sampai di sekolah, Suwarni syok bukan kepalang.  Tidak menyangka, diundang ke sekolah ternyata untuk menerima kabar buruk. Seorang guru kelas anaknya, memberitahu Tara mengaku telah diperkosa. Lebih terpukul lagi, menurut pengakuan Tara, pelaku tak lain adalah tetangga rumahnya. Tempat tinggal pelaku dan rumah Tara, hanya terpisah satu rumah. Laki-laki itu telah beristri dan punya beberapa orang anak.

             

Sontak Suwarni berteriak. Ia tidak terima anaknya diperlakukan demikian. Dengan dukungan para guru, Suwarni kemudian melaporkan peristiwa yang menimpa anaknya ke kantor Kepolisian Resort Kota (Polresta) Kulonprogo.

 

   

Di tempat itu, alih-alih mendapatkan keadilan, justru kisah pilu yang ia dapat. Laporan Suwarni langsung ditolak petugas. Tara dianggap tidak paham apa yang dia ucapkan. Keterangannya dianggap polisi tidak bisa dipercaya.  Petugas juga meragukan apakah Tara bisa mempertanggung-jawabkan keterangan yang dia disampaikan. Sebagai saksi korban, Tara dianggap tidak paham dengan urusan administrasi polisi, Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Lantas petugas meminta ibu dan anak itu pulang. Polisi berpesan, korban boleh kembali ke Polres dengan mengajak dukuh dan guru sekolah Tara.

             

Keesokan harinya, 13 Oktober 2019, didampingi dukuh setempat dan seorang perempuan guru SMALB, Suwarni membawa Tara mendatangi Polres Kulonprogo. Ketika itu, Tara sempat dibawa ke RSUD Wates untuk diperiksa. Namun, hari itu petugas tetap tidak mengeluarkan surat bukti laporan polisi.  “Hari ini bicara gini, besok bicara lain,” ujar Suwarni menirukan ucapan petugas kepolisian saat itu.

 

             

Meski sudah datang ke kantor polisi dengan dukuh dan guru, tetap saja mereka tidak dibuatkan bukti laporan polisi.  Mereka pulang dengan membawa obat, yang ternyata vitamin, untuk Tara. Ibu dua orang anak itu mengaku kecewa. Laporannya atas peristiwa yang menimpa sang putri tidak direspons petugas.  

 

             

Suwarni ternyata baru sadar, mengapa beberapa bulan terakhir sikap anak perempuannya berubah. “Tara biasanya mau bicara, mau bantu-bantu di rumah. Di sekolah juga begitu. Kok berubah jadi pendiam. Murung dan sering melamun. Malah pintu kamarnya selalu ditutup,” ujar Suwarni kepada solider.id  yang menemuinya, Senin (19/9/2022).

 

             

Tara adalah anak kedua Suwarni. Bersekolah di SLB swasta, berjarak dua kilometer dari rumah mereka. Pergi dan pulang sekolah berjalan kaki. Terkadang diantar dengan sepeda oleh bapaknya. Sepulang sekolah, kebiasaan Tara duduk di bangku di depan rumah. Sedangkan anak pertama Suwarni adalah seorang laki-laki, kini berusia 27 tahun. Lima tahun terakhir juga mengalami gangguan mental. Waktu itu anaknya baru pulang bekerja dari Malaysia, pada medio 2017. Sehari-hari anaknya tidak mau keluar rumah. Mengurung diri di kamar.

             

Keluarga Suwarni bukan keluarga berkecukupan. Keluarga kecil ini tinggal di rumah semi permanen. Suwarni dan suaminya bekerja sejak pagi hingga sore jelang maghrib. Ia bekerja di rumah makan. Suaminya bekerja serabutan. Praktis, sepanjang siang hingga sore hari, di rumah itu hanya ada Tara, remaja difabel intelektual dan kakaknya yang mengalami gangguan mental kejiwaan.

 

Didampingi Sigab Indonesia

Menyadari dirinya tak cukup mampu berhadapan dengan hukum, akhirnya Suwarni bisa merasa lega setelah peristiwa yang menimpa Tara mendapat pendampingan Sigab Indonesia, sebuah lembaga yang fokus pada pendampingan warga difabel.

 

Suatu pagi, 14 Oktober 2019, Marno Supriyanto (55), pengurus Komunitas Difabel Desa (KDD), berkunjung ke rumah Suwarni. Kunjungan Marno hendak mengantar undangan pertemuan KDD, untuk Tara dan ibunya.

 

Tiba di halaman rumah Suwarni, Marno melihat ada keramaian dan keributan. Ada beberapa orang di sana. Di antaranya, petugas dari Dinas Sosial Kulonprogo, lurah desa, dukuh, serta beberapa tetangga. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang laki-laki yang bersumpah tidak melakukan pemerkosaan. Marno yang masih satu desa dengan Suwarni, tak asing dengan laki-laki itu. Rumahnya bertetangga dekat dengan Suwarni. Marno berinisiatif menginformasikan kejadian di rumah Suwarni kepada paralegal atau tim hukum Sigab Indonesia, bernama Dian Hastiwi.

 

Keesokan harinya, 15 Oktober 2019, Dian bersama Tim Sigab Indonesia, mulai mendampingi kasus Tara. Menurut Dian, advokasi kasus sempat diwarnai perdebatan antara petugas Polres Kulonprogo dan Sigab.

 

Ketika ditanya perkembangan laporan sampai di mana, petugas menjawab sudah divisum (visum et repertum). Sigab mengajukan untuk dilakukan visum ulang di RSUP DR Sardjito, Yogyakarta. Setelah terjadi kesepakatan dua lembaga (Polres dan Sigab), serta keluarga korban, visum pun dilaksanakan di RSUP Dr Sardjito. Dari visum, terlihat ada bekas cekikan di leher Tara. Terlihat pula bekas perkosaan di kemaluan korban. Ada luka lama dan luka baru. 

 

Usut punya usut menurut Dian Hastiwi, korban ternyata diperkosa di dalam rumahnya sendiri saat orang tuanya tak berada di rumah. Bahkan Dian mendapat fakta memilukan dari tetangga korban. Tetangga pernah melihat korban diikat di pohon kelapa yang diduga dilakukan oleh pelaku. “Kejadian kedua korban mengakui pernah dicekik,“ kata Dian Hastiwi. 

 

Pasca keluarnya hasil visum, petugas Polres Kulonprogo baru mengeluarkan surat pengaduan atau laporan polisi (LP). Selanjutnya, hasil visum akan menjadi alat bukti kuat di persidangan.

 

Proses pendampingan selanjutnya adalah pembuatan BAP. Proses ini memakan waktu lebih kurang empat bulan. Pada kasus Tara, sesungguhnya remaja itu bisa menghafal pelaku. Sedari awal sampai akhir Tara hanya menyebut nama satu orang sebagai pelaku. Namun, sebagai upaya menghindari salah orang, kehati-hatian tetap ditegakkan.

 

Ironisnya, di awal-awal perkara diproses, terduga pelaku hanya dikenai wajib lapor (apel) satu minggu dua kali. Tiap Senin dan Kamis. Pada wajib lapor ketiga, baru pelaku mulai ditahan. Proses di pengadilan memakan waktu kurang lebih satu tahun. Peristiwa itu terjadi pada 2019, adapun putusan perkara baru keluar pada 2020. Sidang pengadilan memutuskan hukuman 8 tahun penjara bagi pelaku.

 

Baca Juga: Tantangan Proses Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Difabel

Kisah Pilu Panda

Tara masih sedikit beruntung, kasusnya kini sudah tuntas di pengadilan dan pelaku mendekam di penjara. Lain lagi kisah pilu yang dialami Panda (bukan nama sebenarnya). Anak difabel berusia 12 tahun ini, kini tengah menunggu keadilan hukum atas peristiwa kelam yang ia alami. Bocah perempuan kelas lima SD dengan hambatan pendengaran dan bicara itu diperkosa tetangganya sendiri. Laporan dan kasusnya sudah diterima dan ditangani Polresta Yogyakarta, namun pelaku hingga kini masih melenggang. Pelaku dikabarkan melarikan diri. Alhasil kasus ini masih “berjalan di tempat”, tanpa kemajuan. Hampir dua bulan sejak diadukan pada Agustus lalu, hingga kini pelaku belum tertangkap.

 

Mujiati, ibu Panda mengatakan, sejak April 2022, sebanyak lima kali putrinya diperkosa. Selama kurun waktu tersebut, korban tidak berani bercerita. Bocah itu mengaku mendapatkan ancaman dan kekerasan. Korban diancam akan dibunuh pelaku, jika melapor pada ibunya. Tak hanya itu, tubuh korban juga selalu dipukuli setiap kali si pelaku melampiaskan nafsu bejatnya.

 

Sebagaimana kasus Tara, kasus perkosaan terhadap Panda terungkap, karena orang di sekitar korban membaca perubahan perilaku korban. Ditemui di rumahnya, Mujiati menuturkan, beberapa bulan belakangan, Panda tak lagi banyak bercerita. Dia selalu gelisah, bahkan sering kali tidak bisa tidur. Jika tertidur, beberapa kali bocah itu mengigau, seperti ketakutan.

 

Setiap pagi, Panda menuju ke pinggir kali. Diam dan melamun di sana. Baru akan pulang ke rumah kalau dipanggil, ditepuk pundaknya. Pernah juga ketahuan menangis tanpa sebab. Ketika ditanya mengapa menangis, Panda mengelak dan menjawab tidak ada apa-apa. “Sebelumnya, diejek temannya saja disampaikan pada saya. Dikatakan teman-temannya, Panda budheg (tuli), juga cerita. Dicubit anak usia enam tahun pun dia ceritakan. Sayang, saya tidak peka dengan perubahannya ketika itu. Saya merasa gagal menjaga anak,” ujar Mujiati.

 

Dunia seakan runtuh dan gelap bagi Mujiati, ketika mendengar pengakuan Panda, sang putri telah diperkosa.  Pengakuan itu mengguncang batin Mujiati. “Anak yang saya lahirkan dan besarkan dengan cinta kasih, saya perlakukan dengan hati-hati, tiba-tiba diperlakukan layaknya binatang. Sedih, marah, menyesal, bercampur di dalam benak perempuan yang lumpuh pada kaki kirinya itu.

 

Mencari keadilan kemudian ditempuh Mujiati. Dia melaporkan kasusnya ke Polresta Kota Yogyakarta. Penanganan kasus dilakukan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota, dengan pendampingan Sapda Jogja. Pelaku mendapatkan hukuman setimpal, dipenjara, harapan ibu itu.  "Selama kasus Panda tidak diselesaikan, selama pelaku belum ditangkap dan dihukum, saya tidak akan merasa tenang," katanya.

 

Kisah kelam Tara dan Panda, hanya satu dari banyak fakta difabel perempuan mencari keadilan di tengah belantara stigma sebagai warga kelas dua. Dian Hastiwi mengaku prihatin dengan kondisi ini. Difabel, pada kasus ini difabel intelektual, masih dipandang sebelah mata. Mereka minim pengetahuan dan informasi. Karenanya, tidak memahami dirinya adalah korban. Mereka tidak sanggup membela diri apalagi menempuh proses hukum. Butuh proses pendampingan cukup panjang.

 

Paralegal Sigab Dian Hastiwi menceritakan, sejumlah kasus difabel yang mereka temui bahkan mandeg di tangan penegak hukum. Dian menceritakan di kasus lain, juga terjadi di Kulonprogo, seorang difabel menjadi korban perkosaan saudaranya sendiri. Kasusnya macet di tingkat Polsek. Petugas mengintervensi keluarga korban dengan memberi alasan, proses hukum dinilai akan merepotkan dan bisa membuat pihak keluarga korban malu. “Intervensi petugas mempengaruhi psikologis korban dan keluarga. Akibatnya keluarga memilih tidak melanjutkan laporan. Artinya, laporan ke kepolisian dicabut. Meski Sigab Indonesia mengulurkan bantuan pendampingan, tetap saja tidak disambut keluarga korban,” ungkap Dian.  

 

Ada pula sebuah kasus yang mandeg pada 2020 di Sentolo, Kulonprogo. Pada kasus ini seorang pemimpin sebuah pondok pesantren (ponpes) diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak asuhnya yang difabel. Kasus ini sempat ramai disorot media. Sempat ada penandatanganan kerja sama dengan Sigab Indonesia untuk membela korban. Tetapi keluarga korban memutuskan mencabut laporan, karena takut pada ancaman pelaku.

 

Kasus lainnya yang ditangani Sigap, masih di tahun 2020, ada peristiwa, seorang difabel intelektual diperkosa oleh beberapa orang. Kasus terjadi di luar wilayah DIY. Korban diketahui hamil pada umur kandungan empat bulan. Pada proses investigasi, korban menyebut satu nama sebagai terduga pelaku. Untuk memastikannya, setelah bayi dilahirkan, dilakukan tes DNA (deoxyribonucleic acid). Namun, hasil tes DNA tak identik dengan terduga pelaku. Karena tidak cukup bukti, kasus tidak dapat dilanjutkan oleh penegak hukum.

 

Susahnya Mencari Keadilan

Sejumlah cerita difabel berjuang mencari keadilan namun macet di tengah jalan itu terlihat dari data yang dikumpulkan Solider. Media ini mengumpulkan data-data kasus kekerasan seksual khususnya pemerkosaan dari dua lembaga yang selama ini fokus mendampingi difabel yakni Sigap dan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda).

             

Data yang ditemukan cukup mencengangkan. Dari belasan hingga puluhan kasus pemerkosaan yang didampingi dua lembaga itu, hanya sekian persen yang berujung pengadilan alias pelaku diganjar hukuman. 

 

Data dari Sigab menunjukkan, sepanjang 2016 - 2021, dari total 90 kasus kekerasan seksual yang didampingi Sigab Indonesia, hanya 24 persen atau 22 kasus yang tuntas di pengadilan. Pelaku dijatuhi hukuman antara 8 - 14 tahun penjara. Sedang 68 kasus lainnya, berhenti (macet) di kepolisian karena tidak cukup bukti atau korban menarik laporan dengan berbagai penyebab seperti diceritakan paralegal Sigab.

 

Pada 2016 misalnya, dari total 16 kasus yang didampingi, tidak ada satu pun alias nihil kasus yang berujung pengadilan. Demikian pula pada 2017. Dari total 19 kasus, hanya 3 kasus yang maju ke meja hijau. Tren buruk itu terus berlanjut hingga 2021. 

 

data kasus difabel korban kekerasan dari sigab Indonesia

 

Data yang ditemukan Solider, juga mengungkap berapa banyak kasus yang macet di kepolisian karena berbagai penyebab. Mulai dari petugas yang mengintervensi keputusan keluarga agar kasus tidak dilanjutkan, maupun ancaman dari pelaku. 

 

kasus kekerasan seksual difabel vs kasus yang macet di peradilan

 

 

Data yang ditemukan di Sigab tidak jauh berbeda dengan data yang dikumpulkan Solider dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda) yang menunjukkan tren serupa. Kasus kekerasan seksual atau pemerkosaan yang dialami warga difabel di DIY sangat minim berlanjut ke pengadilan. Data dari Sapda bahkan lebih memprihatinkan. Dari sejumlah kasus yang ditangani, hanya pada 2017, ada kasus yang tuntas di pengadilan. Adapun kasus kekerasan seksual yang didampingi Sapda sepanjang 2016 -2021 sebanyak 36 kasus. Dari sejumlah kasus tersebut, hanya dua kasus (0.06%) yang berhasil mendapatkan keadilan hukum. Yaitu kasus kekerasan seksual pada difabel mental intelektual yang terjadi pada 2017. 

 

             

Konselor Hukum Sapda Rini Rindawati mengungkapkan, sebanyak 34 kasus yang tidak sampai ke pengadilan disebabkan korban dianggap tidak cakap hukum oleh polisi. Keterangan korban tidak dipercaya oleh penyidik, sebagian lainnya menarik laporan. Data korban kekerasan seksual pendampingan Sapda Jogja dapat dilihat pada diagram berikut ini:

 

kasus kekerasan seksual yang minim tuntas di pengadilan (sumber SAPDA)

 

 

Selain minim kasus tuntas di pengadilan, tren kasus yang macet di tangan kepolisian juga menunjukkan tren serupa antara kasus yang ditangani Sapda dan Sigab. Berikut datanya:

TREN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP DIFABEL DIY YANG MAACET DI KEPOLISIAN

 

Preseden Buruk

Konselor Hukum Sigab Indonesia, Sarli Zulhendra mengatakan, sebagian besar kasus yang didampingi Sigab Indonesia berproses sampai ke pengadilan. Akan tetapi, hasilnya bergantung dengan proses pembuktian. Sebagian besar, kasus dengan bukti-bukti yang cukup, berakhir di pengadilan dan pelaku dikenai sanksi. Sedangkan kasus tidak cukup bukti, berhenti di kepolisian.

“Pelaku, rata-rata dipenjarakan antara 8 - 14 tahun.  Tapi ada yang tidak sampai ke pengadilan, berhenti di kepolisian karena faktor minimnya alat bukti. Ada pula yang gagal karena keluarga korban menarik laporan,” ujar Sarli, yang juga dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu. 

 

Minimnya kasus kekerasan seksual terhadap difabel yang minim bermuara ke meja hijau menandakan rendahnya keberpihakan hukum terhadap masyarakat rentan seperti difabel. Lebih jauh menurut Sarli, minimnya penegakan hukum menjadi preseden buruk karena minimnya efek jera bagi pelaku. Kondisi ini bukan tidak mungkin menyebabkan kasus kekerasan terhadap difabel akan terus berulang, karena lemahnya penegakan hukum. “Benar hipotesa itu [minim penegakan hukum memicu kasus berulang].  Penegakan hukum memang masih minim.  Jadi kekerasan seksual meningkat,” tegas dia. 

 

Tren kasus kekerasan seksual alias pemerkosaan terhadap difabel terus berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun jumlahnya masih di atas 10 kasus. Kejadian tertinggi tercatat pada 2019 sebanyak 19 kasus. 

tren kekerasan seksual yang didampingi sigab 2016-2021

Fluktuasi kasus kekerasan seksual terhadap difabel juga ditemukan di kasus yang diadvokasi oleh Sapda. Lembaga ini juga mencatat kenaikan tertinggi kasus kekerasan seksual yakni pada 2019 sebanyak 13 kasus.

 

tren kasus kekerasan seksual di DIY 2016-2021

 

Sarli Zulhendra menambahkan dalam pengungkapan kasus membutuhkan waktu lama. Terutama pada kasus perkosaan yang terjadi pada difabel mental dan intelektual. “Butuh waktu tiga sampai empat bulan, dalam memastikan korban dapat menghadapi pemeriksaan dan persidangan. Pendamping perlu mengidentifikasi apa hambatanya. Yang paling penting ketika kita bisa memastikan dan membangun koordinasi dengan pihak kepolisian,” ujarnya.

 

Dari kasus yang didampingi, ada kasus yang justru berawal dari adanya laporan pihak kepolisian. Polisi meminta Sigab untuk menjadi pendamping korban, karena pelaku berteriak-teriak saat diperiksa, mengamuk, dan kepolisian tidak sanggup mengatasi. Koordinasi dengan psikiater diupayakan untuk membuat korban stabil. Setelah itu, baru korban bisa didampingi dan diperiksa di hadapan kepolisian.

“Sekali lagi prosesnya memakan waktu cukup lama. Korban difabel butuh waktu mengingat dan menangkap peristiwa yang terjadi, yang dialami. Korban juga membutuhkan waktu untuk adaptasi,” terang Sarli.

 

Tantangan terberat menurut Sarli ialah mengidentifikasi, atau mengangkat memori korban dalam kehidupan. “Di sini kesabaran diuji,” kata dia. Dicontohkan pertanyaan yang biasa ditanyakan kepada korban: hari ini ke mana saja? Kemarin ke mana? Bertemu siapa saja? Untuk mendapatkan jawaban atas tiga pertanyaan tersebut, butuh waktu  3-4 bulan. Hal ini diperlukan untuk dapat menangkap peristiwa yang sebenarnya terjadi.

 

Soal treatment atau perlakuan pendampingan terhadap difabel sebagai korban kekerasan seksual, juga dituturkan Sarli. Satu atau dua minggu sekali datang ke rumah korban. Kemudian mengajak korban bermain, lalu bertanya ke mana saja? Hal ini bisa berkali-kali. setelah mendapatkan jawaban yang stabil, masih perlu proses validasi. Caranya mencocokkan dengan informasi dari keluarga. Jika didapati bukti minim, maka akan dilakukan tes DNA. Tapi, kalau tersangka mengakui perbuatan, tidak perlu tes DNA.

 

Proses untuk difabel intelektual dan mental, agar mereka siap diperiksa kepolisian membutuhkan waktu yang cukup lama. Membutuhkan strategi khusus, kesabaran dari pendamping, menjaga betul hal-hal yang menghilangkan mood korban.

 

 Atasi Trauma

Mendengar kata perkosaan, terlintas di benak adanya pemaksaan, ancaman, intimidasi, perampasan dan kehilangan keperawanan. Dengan kata lain, perkosaan bukanlah hal yang menyenangkan. Korban perkosaan bisa mengalami trauma berkepanjangan. Seumur hidup, bahkan.

 

Setiap korban kekerasan seksual (perkosaan) pasti mengalami trauma, kata Sarli. Tetapi kronologi peristiwa tetap harus diungkap, demi keadilan yang diperjuangkan. Mempersiapkan mental sejak awal, harus dilakukan oleh para pendamping. Difabel sebagai korban dijelaskan terlebih dahulu proses yang sedang dihadapi. Kemudian apa yang akan dihadapi. Akan bertemu dengan siapa saja. Akan bertemu polisi, salah satunya. Korban kekerasan seksual juga disiapkan untuk menjawab siapa pelaku. Perbuatan itu boleh tidak? Lalu dijelaskan juga polisi itu siapa, tugasnya apa. Hal tersebut menurut Sarli, sebagai upaya mengantisipasi kondisi korban kaget dan tiba-tiba mogok saat diinterogasi.

“Terkait trauma atas peristiwa perkosaan, tergantung kondisi psikologis di lapangan,” kata Sarli. Trauma bisa muncul ketika ada pemicunya. Sebagai contoh, bertemu pelaku di persidangan. Oleh sebab itu korban akan ditanya kesiapan mentalnya jika bertemu pelaku. Bagi korban yang keberatan bertemu pelaku akan dikoordinasikan dengan jaksa, sehingga saat sidang terdakwa tidak dihadirkan. Pendamping juga akan menjelaskan sedari awal, apa itu pengadilan, juga bagaimana proses persidangan.

 

Dukungan keluarga sangat dibutuhkan saat melakukan pendampingan dan penyampaian informasi. Sarli memberi catatan, bahwa pihak keluarga tidak boleh memaksa korban. Misalnya bertanya yang menyudutkan. Sebagai contoh pertanyaan “kamu diapain siapa? Kapan?” Kalimat tersebut pantang ditanyakan pendamping kepada korban. Tujuannya membangun kekuatan kepercayaan diri. Sehingga tidak merasa takut bersaksi.

 

Bicara kasus pada difabel, selama ini hambatan jadi persoalan tersendiri. Dan hal tersebut terkait dengan pembuktian. “Problem terkait difabel tetap sama. Yakni adanya hambatan berkomunikasi. Karenanya pada proses BAP, untuk mendapatkan keterangan dari korban dan saksi butuh proses yang panjang,” tutur Sarli.

 

Hambatan dalam penegakan hukum, pun diakui Konselor Hukum Sapda Jogja, Rini Rindawati. Dari sejumlah kasus yang menjadi dampingan lembaga tersebut, minim yang berhasil mendapat keadilan.

 

“Stigma selalu dilekatkan kepada para difabel sebagai korban,” ujar Rini. Mereka, perempuan difabel, dianggap tidak cakap hukum. Karenanya, kesaksian difabel seringkali diragukan aparat penegak hukum.  Dianggap tidak konsisten dalam menceritakan kronologi. Sementara, usia kronologis korban difabel intelektual tidak sejalan dengan usia mental dan kognisinya.

 

Terkait keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Sarli Zulhendra dan Rini Rindawati sepakat mengatakan UU tersebut mengakomodir hak-hak difabel sebagai korban. Dari segi pembuktian lebih mudah. UU TPKS juga mengatur, sidang bisa dilanjutkan dengan satu orang saksi saja.

“Menurut saya, UU TPKS ini sudah mengakomodir. Sesuai yang dibutuhkan atau menjawab hambatan dan tantangan yang ada di lapangan. Melindungi mereka, terutama kelompok rentan, difabel salah satunya, tersirat di dalamnya,” ujar Rini.

 

Pasal-pasal yang berpihak atau mengakomodir tersebut menurut Rini, di antaranya: pelecehan seksual adalah delik aduan kecuali jika dilakukan terhadap anak, disabilitas, dan anak dengan disabilitas. UU TPKS juga mengatur penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban atau anak korban, termasuk untuk korban difabel atau berkebutuhan khusus lainnya.

 

Berikutnya diatur bahwa, keterangan korban atau saksi difabel mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi non difabel. Selanjutnya, saksi yang disumpah di hadapan pengadilan dikecualikan bagi korban atau saksi anak dan atau difabel. Serta, UU TPKS juga mengatur penyediaan fasilitas sesuai kebutuhan korban atau saksi difabel.

 

Kebijakan Polisi

Terkait minimnya kasus berujung pengadilan serta banyaknya kasus macet di kepolisian, Polres Kulonprogo mengklaim telah berupaya maksimal menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa difabel. Adapun Kulonprogo selama ini menjadi salah satu daerah yang cukup banyak ditemukan kasus kekerasan terhadap difabel.

 

Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kulonprogo, AKBP Muharomah Fajarini, SH., SIK, mengklaim berkomitmen dalam memberikan pelayanan.  Kapolres yang menjabat mulai Agustus 2021, di Kulonprogo itu, menjelaskan standar operasional pelaksanaan (SOP) pelaporan.  Pelayanan yang diberikan sama. Siapa pun yang mengadu, akan segera ditangani dan diproses. Tetapi, kata AKBP Fajarini, dibutuhkan perlakuan yang berbeda ketika pelapor adalah seorang difabel.

 

Adanya ancaman yang datang dari pelaku, seringkali membuat difabel sebagai korban atau keluarga takut melapor. Demikian juga rasa malu, dianggap aib oleh masyarakat, berdampak pada korban enggan melapor. Korban dan keluarga memilih diam, menanggung perih seumur hidup.

 

Terkait hal tersebut, AKBP Fajarini mengatakan, “Jangankan ada yang melapor, mendengar saja, kami akan ke segera menerjunkan petugas ke lapangan. Saat ini kami sedang berupaya menyiapkan penyidik yang bisa berbahasa isyarat, agar bisa berinteraksi dengan difabel,” tutur Fajarini, ketika ditemui di ruang kerjanya, Senin (3/10/2022).

 

Layanan aduan atau lapor tidak harus datang ke kantor polisi. Kepolisian menyediakan servis pengaduan melalui aplikasi Dumas Presisi. “Silakan menyampaikan pengaduan dari mana pun. Difabel harus berani lapor,” ujar Kapolres Kulonprogo itu.

 

Aplikasi Dumas Presisi, bisa diunduh melalui Playstore. Inovasi pengaduan ini merupakan salah satu cara memudahkan masyarakat mengadukan atau melaporkan pelanggaran. Pengaduan dapat diakses 24 jam, di mana saja, tanpa perlu datang ke kantor polisi terdekat.

 

Menanggapi fenomena pencabutan laporan oleh korban, Kapolres Kulonprogo itu memiliki kebijakan tersendiri. Polres Kulonprogo, akan tetap menindaklanjuti kasus, meski korban mencabut laporan, jika petugas mendapatkan bukti kuat. Kasus akan tetap diproses.

 

Upaya antisipasi lain juga diterapkan Kapolres Kulonprogo. Laporan pengaduan tidak harus dibuat oleh korban, tapi oleh Dinas Sosial. Dengan demikian laporan tidak bisa dicabut, hingga proses hukum dituntaskan. Untuk pendalaman materi, petugas polres akan mendatangi korban dan keluarga.

“Jika pelaku adalah keluarga, kerabat atau orang dekat, yang membuat LP (laporan) adalah dari Dinas Sosial biar tidak dicabut. Pengalaman di manapun kasus kejahatan seksual, rata-rata laporannya dicabut. Tapi tidak semua dikabulkan,” ujar AKBP Fajarini.

 

Meminimalisir Kasus

Mengingat keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam pelayanan bagi difabel, kerja sama dengan beberapa pihak diupayakan. Tidak hanya dalam penanganan, penyidik dapat berbahasa isyarat, upaya pencegahan menjadi perhatian. Hal tersebut diakui Fajarini sebagai upaya, atau strategi meminimalisir terjadi dan bertambahnya kasus kekerasan seksual pada difabel.

“Kami tidak bicara penegakan hukum saja. Tidak serta merta bertindak ketika ada kejadian, bagaimana penangannya? Polres Kulonprogo lebih mengutamakan pencegahan, agar difabel tidak menjadi korban. Di kepolisian punya konsep pembinaan (pre-emtif), pencegahan (preventif), serta penegakan hukum (kuratif),” ujarnya.

 

Tindakan pre-emtif ini mengedepankan himbauan dan pendekatan kepada masyarakat. Dengan tujuan menghindari munculnya potensi-potensi terjadinya permasalahan sosial dan kejahatan di masyarakat. Dilakukan melalui komunikasi yang bersifat persuasif dan mengajak masyarakat melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Tidak melakukan hal-hal yang dilarang menurut aturan dan norma sosial kemasyarakatan.

 

Berikutnya tindakan preventif, dilakukan dengan cara mencegah secara langsung terhadap kondisi-kondisi yang secara nyata dapat berpotensi menjadi permasalahan sosial dan tindakan kejahatan.  Terakhir tindakan kuratif. Dilakukan untuk menghadirkan keadilan. Atau penegakan hukum terhadap para pelanggar hukum di Indonesia. Tindakan kuratif baru dilakukan, apabila tindakan pre-emtif dan preventif tidak berhasil.

 

Langkah pencegahan juga dilakukan Kepolisian Resor (Polres) Kota Yogyakarta. Terkait penanganan dan pelayanan, respon cepat diterapkan. Menanggapi kasus yang terjadi pada difabel, mendengar kasus saja, difabel tidak harus datang ke PPA. Hal tersebut disampaikan Kepala Unit PPA Polresta Yogyakarta Ipda Apri Sawitri, SH, Rabu (5/10).

“Apabila ada kekerasan seksual, persetubuhan, atau yang lain, laporan bisa melalui telepon. Sebagai contoh, korban takut melaporkan, kami akan mendatangi atau menghubungi korban,” ujarnya.

 

Menanggapi strategi agar korban tak mencabut laporan, diterapkan sesuai aturan dan pasal yang berlaku. Di dalam UU dan pasal-pasalnya, delik aduan harus ada pengaduan dari korban. Kalau delik aduan, tidak boleh dicabut. Dia mencontohkan, persetubuhan anak, pencabulan anak, laporan tidak bisa dicabut.

 

Apabila mereka berdamai, lalu membuat surat pernyataan atau restorative justice (penyelesaian di luar pengadilan), itu hanya akan meringankan saat sidang. Tapi tidak akan mempengaruhi proses selidik dan sidik juga persidangan.

 

Menurut Ipda Apri, jika tidak ada kekerasan dan ancaman kekerasan, tidak masuk ke perkosaan. Laporan tidak dapat diproses. Kalau sekarang, setelah disahkannya UU TPKS lebih mudah. Ada kekerasan saja atau ancaman saja, bisa masuk laporan. Tetapi ditambah alat bukti lain, yaitu keterangan dari psikiater atau psikolog.

 

Khusus untuk anak dan difabel di UU TPKS, bukan delik aduan. Pelapor tidak harus hanya korban, tapi bisa orang dekat. Siapa saja yang melihat dan mendengar dapat melaporkan. Ada pasal spesial bagi difabel, yaitu pada pasal 5 dan 6 UU TPKS. Kasus kekerasan seksual, bisa diproses dengan tidak ada aduan dari korban.

 

Kasat Reskrim Unit PPA Kota Yogyakarta, memiliki slogan, gerakan cepat perlindungan anak dan difabel. “Ada gosip, kita segera bertindak,”tutur Ipda Apri.  

 

Bukan Warga Kelas Dua

Menanggapi tak mudahnya korban difabel mendapatkan keadilan, Konsultan Psikologi Perhimpunan Warga Pancasila (PWP) sekaligus pengamat isu difabel, Agoes Widhartono berpendapat.

 

Fakta, bahwa saat ini difabel masih terpojok oleh hukum dan hak  asasi mereka sebagai manusia terlanggar. Secara terminologi, difabel adalah setiap orang yang mengalami hambatan dalam aktivitas sehari-hari. Demikian juga terhambat berpartisipasi dalam masyarakat, oleh karena sarana prasarana publik yang belum aksesibel. Lingkungan sosial masih hidup dengan ideologi kenormalan. Selain itu, stigma tidak cakap hukum, makhluk lemah, masih dilekatkan pada difabel.

 

Lantas, mengapa stigma selalu hadir bagi difabel? Karena publik hanya menganggap difabel sebagai “warga negara kelas dua”. Siapa pun umat manusia di bumi ini, mestinya tidak mengkotakkan kaum difabel ke dalam kelas manusia yang lebih rendah. Sebab, difabel punya hak hidup sama dan setara dengan sesama manusia. Manusia lain di luar difabel itu sering merasa lebih sebagai manusia normal. Padahal kenormalan hanya ada dalam alam pikiran. Realitas berbicara lain. Kaum difabel membutuhkan kehidupan dengan cara yang berbeda. Hal demikianlah yang sering diabaikan oleh publik.  Sebab masih saja terjadi publik menganggap difabel tidak bisa, lebih rendah atau bahkan di sana-sini diberi stigma negatif. Tak jarang di-bully, dilecehkan dan sebagainya.

 

Dalam penanganan demi pemenuhan hak hukum bagi difabel juga demikian. Persoalan inti sebenarnya pada ketidakselarasan memahami kebutuhan difabel. Untuk itu, dibutuhkan pengetahuan memadai untuk memahami difabel.  Undang-undang sudah dibuat, advokasi terus digencarkan, tetapi mind set publik terhadap difabel masih sama dan terjadi di banyak tempat.

 

Jika manusia non difabel belum selesai terhadap diri mereka, maka tetap saja sulit tercipta kesetaraan itu.  Diseminasi penghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat difabel, harus terus dilakukan. Dengan cara apapun, oleh berbagai pihak, tanpa henti. Tujuannya adalah memberi kesempatan, memahami dan menghayati kebutuhan serta hak kaum difabel. Ketimpangan perlakuan dan sikap-sikap yang tidak simetris pada kaum difabel, harus dikikis. Memproduksi pengetahuan para pihak untuk memahami difabel, mesti dilakukan dengan cara nyata. Memberi contoh dengan mengandalkan pemahaman atas kebutuhan difabel. Bukan sekadar melahirkan wacana di tengah sengkarut kehidupan. Di tengah banjir informasi era digital saat ini, kiranya tidak lagi sulit mencari dan menerapkan cara seiring perkembangan teknologi. Publik harus memproduksi pengetahuan demi lahirnya pemahaman dalam hidup untuk menghapus stigma terhadap difabel.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.