Fasilitasi Raperda Disabilitas, Kemendagri dan DPRD DKI Kebiri Hak Difabel Jakarta
Solider.id – Organisasi difabel Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta keluarkan rilis terkait proses fasilitasi yang dilakukan Kementerian dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (Raperda DKI tentang Disabilitas). Dalam rilis yang dikeluarkan pada akhir Agustus 2022, koalisi organisasi difabel DKI Jakarta menyebutkan bahwa dalam proses fasilitasi tersebut, Kemendagri menghapuskan begitu saja Pasal-Pasal esensial yang telah diperjuangkan oleh kelompok difabel berdasar pada alasan normatif, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat difabel DKI Jakarta. Alih alih memperjuangkan aspirasi masyarakat yang sudah diakomodasi dalam Draft Raperda DKI tentang Disabilitas selama proses pembahasan, pada tanggal 23 Agustus 2022, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta (DPRD DKI) justru dengan mudah menerima dan menyetujui saran fasilitasi dari Kemendagri tersebut.
Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) DKI Jakarta menyatakan bahwa Kemendagri dan DPRD DKI telah mengabaikan dan mengkhianati aspirasi masyarakat difabel secara substantif, sistematik, dan prosedural. Koalisi OPD DKI Jakarta tidak lagi mendapatkan informasi dan ruang untuk bicara terkait dengan hasil fasilitasi dari Kemendagri terhadap Raperda DKI tentang Disabilitas. Hal ini menyebabkan Raperda DKI tentang Disabilitas menjadi melenceng dari semangat awal dan kering makna.
Dalam hal ini, Koalisi OPD DKI Jakarta menolak saran fasilitasi dari Kemendagri atas Raperda DKI tentang Disabilitas. Beberapa hal yang menjadi catatan ialah sebagai berikut:
1. Kemendagri mengubah dan membatasi skema konsesi bagi kelompok difabel. Dalam saran fasilitasi, Kemendagri menghapuskan pemberian konsesi bagi kelompok difabel untuk bidang pajak kendaraan bermotor dan kredit perumahan rakyat. Padahal pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kredit Perumahan Rakyat merupakan bagian dari kewenangan pemerintah daerah berdasarkan asas Otonomi Daerah.
2. Kemendagri juga membatasi pemberian konsesi hanya untuk layanan dan/atau aset yang dikelola oleh pemerintah daerah. Padahal, UU 8/2016 menyatakan bahwa pemberian konsesi tidak terbatas oleh Pemerintah dan pemerintah daerah saja, tetapi juga dapat diberikan oleh pihak swasta. Sehingga, saran Kemendagri yang membatasi pemberian konsesi hanya berlaku untuk layanan dan/atau aset yang dikelola pemerintah daerah, justru bertentangan dengan UU 8/2016.
3. Kemendagri menghapuskan Pasal tentang Dewan Disabilitas Jakarta (DDJ), dengan alasan DDJ mengambil tugas dan fungsi Komisi Nasional Disabilitas. Padahal, DDJ sebagai lembaga non-struktural yang independen memiliki tugas dan fungsi untuk mengawasi implementasi Raperda DKI ini. DDJ dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk membantu melakukan pengawasan dan perumusan kebijakan perihal implementasi Perda tersebut yang bersifat multisektor, dan seharusnya atas prinsip otonomi daerah menjadi kewenangan Pemprov DKI Jakarta untuk pembentukan DDJ menyesuaikan dengan kebutuhan yang dihadapi. Sebagai catatan, pada Perda DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas yang sebelumnya berlaku, juga telah terdapat Komisi Disabilitas Daerah yang sama konsepnya dengan DDJ. Sehingga, saran Kemendagri untuk menghapus DDJ merupakan sebuah kemunduran dalam upaya penjaminan hak disabilitas.
4. Kemendagri membatasi pemberian beasiswa pendidikan hanya bagi difabel berprestasi yang tidak mampu. Dalam hal ini, Kemendagri menafikan bahwa sebagian besar difabel masih belum mendapatkan akses terhadap pendidikan. Berdasarkan data BPS Tahun 2020, 29.35% difabel tidak tamat pendidikan dasar dan hanya 3.38% yang menamatkan pendidikan tinggi. Sehingga, saran itu mengabaikan keadaan faktual difabel yang sebagian besar belum dapat mengakses pendidikan. Tidak mungkin seorang difabel dapat berprestasi, apabila untuk mengakses pendidikan saja ia masih kesulitan.
Selain ketiga hal utama di atas, masih banyak Pasal-Pasal lainnya yang dipotong oleh Kemendagri, seperti:
1. Pemotongan kuota minimal tenaga kerja difabel, dari 3% yang sudah disepakati oleh DPRD dan Pemprov DKI Jakarta sebelumnya menjadi 2%. (Pasal 24 Raperda DKI tentang Disabilitas)
2. Pemotongan kuota pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Daerah bagi UMKM yang dimiliki warga difabel, yang tadinya 5% di Draft Raperda awal yang sudah disepakati DPRD dan Pemprov DKI menjadi dihilangkan batas minimalnya berdasarkan saran Kemendagri. (Pasal 41 Raperda DKI tentang Disabilitas)
3. Pemotongan layanan rehabilitasi harian (day care), yang tadinya diwajibkan ada di setiap kecamatan menurut Draft Raperda DKI yang sudah disepakati sebelumnya oleh DPRD dan Pemprov DKI, menjadi hanya ada pada setiap Kabupaten/Kota Administratif berdasarkan saran Kemendagri. (Pasal 98 ayat (6) Raperda DKI tentang Disabilitas)
4. Penerapan Pasal-Pasal karet untuk penjaminan atas hak pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas, dengan memunculkan kata “dapat” atas saran Kemendagri, sehingga menjadikan jaminan hak atas pekerjaan menjadi pilihan. (Pasal 25 dan 26 Raperda DKI tentang Disabilitas)
Berdasarkan argumentasi tersebut, Koalisi OPD DKI Jakarta mendesak DPRD DKI Jakarta untuk:
1. Menunda pengesahan Raperda DKI tentang Disabilitas, yang semula dijadwalkan pada 6 September 2022.
2. Memperbaiki substansi Raperda DKI tentang Disabilitas dan mengembalikan Pasal-Pasal esensial yang menjadi aspirasi Penyandang Disabilitas.
3. Melibatkan Kelompok Penyandang Disabilitas dalam seluruh proses pembentukan dan pengesahan Raperda DKI tentang Disabilitas secara aktif dan bermakna.[]
Reporter: Srikandi Syamsi
Editor : Ajiwan Arief