Lompat ke isi utama
kegiatan sigab bersama AISIHAH

Perlu Bangun Gerakan Masyarakat Sipil untuk Isu-Isu Difabilitas

Solider.id, Surakarta- Bahrul Fuad, Komisioner pada Komnas Perempuan menyatakan bahwa gerakan masyarakat sipil saat ini sedang menurun seiring pasca gerakan dukung-mendukung pilpres. Namun ia berharap gerakan masyarakat sipil terkait difabel berhadapan dengan hukum makin menggema.

“Kita perlu membangun gerakan masyarakat sipil yang baik dan kuat. Gerakan yang kuat bisa menjadi pengontrol kebijakan pemerintah. Kalau masyarakat sipil kuat pemerintah lebih baik, sebab akan mengontrol kebijakan yang sesuai sasaran,” ujarnya pada saat menjadi pemateri pada workshop yang dihelat oleh MHH Aisyiyah dan Sigab dengan dukungan Disability Right Fund (DRF) bertema strategi gerakan advokasi perempuan dan anak serta difabel yang berhadapan dengan hukum pada Sabtu (23/7) bertempat di Griya Solopos.

Menurut Bahrul Fuad, gerakan difabilitas makin marak sekitar reformasi yakni pada tahun 1998 dan dimotori oleh para pegiat difabel di Yogya yang mendorong kebijakan pemerintah untuk lebh positif kepada gerakan difabilitas.

 

Vaca Juga: Tantangan dan Capaian Gerakan Perempuan Difabel di Indonesia

Saat ini banyak anak difabel oleh orangtuanya tidak disekolahkan. Laporan WHO, difabilitas dengan kemiskinan sangat dekat. Dengan demikian maka akan menurunkan hak ekonomi, sosial dan cenderung miskin serta punya potensi sakit, kemudian memiliki potensi bisa menjadi doubel difabilitas. Anak difabel juga diperhadapkan dengan gizi buruk, tempat tinggal tidak sehat, alat transportasi sederhana dan sulit mengakses fasilitas publik.

 

Menurut catatan Komnas Perempuan, perempuan dengan difabilitas karena kemiskinan,mereka rentan mengalami kekerasan. Perempuan difabel tidak bersekolah sehingga tidak bisa bekerja secara formal. Hal ini disebabkan dua faktor penting, memiliki dua ketergantungan fisik, dia punya potensi mendapat kekerasan dari orang yang menolong, kemudian ketergantungan finansial. Banyak difabel yang tidak punya pekerjaan yang layak kemudian dieksploitasi.

 

Menurut laki-laki yang biasa dipanggil Cak Fu, ada empat kerentanan mengapa difabel mendapat kekerasan di antaranya adalah : 1. bentuk dan jenis difabilitas, kerentanan tidak bisa bergerak, pelaku tahu korban tidak bisa berteriak, termasuk ketika korban adalah difabel netra dianggap tidak mengenali pelakunya. Dengan ragam yang berbeda para pelaku memanfaatkan hambatan untuk melakukan kekerasan. 2. Stigma negatif di masyrakat, bahkan ada korban yang malah dinikahkan dengan pelaku oleh keluarganya, kalau tidak ada maka dicarikan. Ada anggapan perempuan difabel ketika menjadi korban, keluarga malah berucap syukur karena “ada juga yang mau”, ini terjadi karena rendahnya literasi. Banyak dari mereka tidak mendapat pendidikan kespro. Banyak yang malah dilecehkan karena mereka tidak menyadari sebab tidak mendapat pendidikan seksual. 3.Sistem hukum yang belum mengapresiasi difabel, belum berpihak dan belum ramah. Hambatan pelaporan kasus, mereka tidak melaporkan karena ketidaktahuan serta APH yang belum memiliki sensitivitas difabilitas, terbatasnya JBI dan penerjemah bagi difabel intelektual.

 

Cak Fu saat ini sedang masuk ranah intervensi ndividu dengan memberikan tantangan pengetahuan. Ia menyebut sebagai mikro sistem yakni keluarga. Keluarga yang didampingi ini yang belum digarap. “Mikro sistem harus dibangun. Teman disabilitas juga perlu pemahaman hukum. Dan intinya adalah peningkatan awarness, “ungkapnya. Ia menambahkan bahwa kalau makro sistem berkaitan dengan kebijakan dan sistem hukum dan sistem budaya yang lebih ramah kepada difabel. Difabilitas dipandang sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dengan WN lain. Jadi jangan hanya direkam sebagai warga yang kasihan dan perlu dibantu.[]

 

Reporter: Puji Astuti

Editor   : Ajiwan Arief
 

 

 

The subscriber's email address.