Tak Kunjung Tiba Pelayanan Publik Non-diskriminatif bagi Tuli
Solider.id, Yogyakarta. MENJADI difabel di tengah masyarakat yang menganut paham ‘normalisme’ atau paham pemuja kenormalan, adalah tidak mudah. Sebab, berbagai sarana umum didesain khusus untuk ‘orang normal’, tanpa adanya fasilitas bagi difabel. Dipandang kasihan atau tidak dianggap, sering kali terjadi di lingkungan difabel. Difabel masih diposisikan berbeda dengan orang pada umumnya.
Jumlah difabel diprediksi berkisar 15 persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia. Sekitar 33 juta jiwa. Sebuah angka yang sebenarnya relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 275,77 juta jiwa pada tahun 2022. Walau demikian, selayaknya semangat pelayanan tidak dipengaruhi jumlah besar atau kecilnya pengguna layanan. Para difabel juga merupakan warga negara Republik Indonesia yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijamin untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan warga negara lainnya.
Pemberian akomodasi yang layak juga diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Lebih spesifik diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.13 tahun 2020, tentang akomodasi yang layak bagi peserta didik. Sedang dalam proses hukum dan peradilan diatur melalui PP Nomor 39 Tahun 2020. Untuk itu, pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang cukup kepada warga masyarakat difabel. Termasuk pemenuhan aksesibilitas pelayanan publik yang aksesibel.
Namun, fakta di lapangan tidak demikian. Sarana prasarana aksesibel pada pelayanan publik tak serta merta ada dan disediakan. Aksesibilitas fisik (arsitektural) belum tersedia di sebagian besar area publik. Terlebih aksesibilitas non fisik, berupa informasi yang aksesibel sangat jarang dijumpai. Bisa dituliskan langka adanya. Karenanya, difabel kehilangan hak dalam mengakses pelayanan publik secara mandiri.
April 2022, Solider.id menjumpai difabel tuli yang sedang mengakses layanan publik di Kepolisian Resor Kota (Polresta) Yogyakarta. Laksmayshita Khanza Larasati Carita adalah nama gadis tuli yang ketika hendak mendapatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Salah satu persyaratan yang diwajibkan untuk melamar pekerjaan.
Baca Juga: Catatan Kritis terhadap Layanan Publik untuk Difabel
Minim kesadaran
Di Polresta Yogyakarta, setiap informasi berupa suara. Baik pemanggilan nomor antrean, panggilan membayar biaya administrasi SKCK, demikian juga dengan berbagai pertanyaan dari petugas kepolisian. Di Polresta Yogyakarta, pun minim awareness atau kesadaran terhadap adanya difabel sensorik tuli dalam hal ini. Saat itu, pukul 10.00 pagi. Saatnya semua kantor menjalankan ritual menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua pencari SKCK diminta berdiri. Dengan segera petugas dan seluruh pencari SKCK pun berdiri. Kecuali satu orang gadis “Shita” yang tengah mengisi formulir.
Seorang polisi perempuan dari tempatnya berdiri, meminta Shita untuk berdiri. Yang kala itu si gadis masih duduk mengisi formulir SKCK. Berkali-kali polisi itu masih tetap di posisinya, setengah berteriak meminta Shita untuk berdiri. Namun Shita tak menoleh. Shita tetap tenggelam dalam aktivitasnya, tanpa menyadari situasi saat itu.
Mendapati anjuran berdiri berkali-kali itu, ibu Shita yang kala itu mendampingi putrinya, menginformasikan bahwa Shita adalah tuli. Menepuk bahu dan memberikan isyarat berdiri, yang semestinya dilakukan petugas. Demikian ibu Shita yang dipanggil dengan nama Harta, menyampaikan pada polisi. Satu kata, “oooo…” dari petugas, tanpa mengambil sikap dan beranjak dari tempat berdirinya.
Selanjutnya ibu Shita menepuk bahu putrinya, dan menjelaskan dengan Bahasa isyarat bahwa saat itu adalah saatnya berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Di tengah kepadatan pencari SKCK, anak dan ibu itu menyanyikan Indonesia Raya dengan Bahasa Isyarat. Menjadi perhatian banyak orang, sudah barang tentu. Satu bentuk edukasi, seharusnya demikian.
Benar saja, edukasi telah dilakukan Shita dan ibunya. Edukasi, bagaimana bersikap dengan tuli. Edukasi seperti apa akomodasi yang layak yang seharusnya ada di Kantor Polresta Yogyakarta. Edukasi bahwa, satu tuli pun seharusnya mendapatkan hak yang sama dengan mereka yang tidakk tuli. Apa jadinya, jika Shita datang ke Polresta tanpa pendampingan? Tidak mudah tentu saja untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan. Ketiadaan informasi yang aksesibel, juga minimnya awareness akan menjadi hambatan bagi Shita yang tuli mengakses layanan publik di kantor polisi itu.
“Aku benar harus didampingi. Jika ibu tidak menemani dan mendampingi, pasti aku kesulitan. Terlebih yang harus mendapat layanan banyak, dan semuanya tidak seperti aku. Mereka semua mendengar,” kalimat yang terucap dari mulut Laksmayshita.
Kehadiran Undang-undang maupun peraturan pemerintah, belum mampu menjadi pegangan bagi penyelenggara pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik tanpa diskriminasi. Para difabel masih menemui hambatan fisik, sensorik juga psikologis dalam mengakses hak-hak mereka. Asas keadilan dan non-diskriminatif belum diimplementasikan, belum ditegakkan oleh penyelenggara negara. Tak kunjung tiba, pelayanan publik non-diskriminatif bagi Tuli[].
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief