Implementasi Layanan bagi Difabel di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
Solider.id – Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1692/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri menuai respon positif dari instansi tersebut. Ragam bentuk praktik baik sudah mulai diimplementasikan, mulai dari aksesibilitas berupa infrastuktur hingga peluang kerja bagi difabel berpotensi.
Praktik baik ini secara umum terbagi dalam dua poin penting, yaitu (1) Layanan bagi masyarakat difabel yang berhadapan dengan hukum. (2) Penyediaan akses sarana dan prasarana bagi difabel, baik infrastuktur maupun penyediaan alat bantu yang dapat memudahkan proses hukum di pengadilan.
Masyarakat difabel dalam proses peradilan wajib diberikan akomodasi yang layak berdasarkan ragam kedifabelan yang mereka miliki. Daniel Ronald. S.H, M. Hum. Ketua Pengadilan Rinai, menyampaikan, untuk mewujudkan pengadilan negeri khususnya di Pengadilan Negeri Ranai yang terpadu satu pintu, salah satu syarat utama adalah layanan prima. Layanan prima itu dapat diwujudkan dalam bentuk layanan sarana dan prasarana yang memadai serta didukung dengan inovasi-inovasi pelayanan yang kreatif.
Baca Juga: Implementasi Pemenuhan Aksesibilitas Fisik di Pengadilan Negeri Wonosari
Ragam bentuk layanan bagi masyarakat difabel yang berhadapan dengan hukum
Bentuk layanan kepada difabel yang sedang berhadapan dengan kasus hukumnya, antara lain adalah;
(1) Perlakuan non diskriminatif. Aparatur penegak hukum harus memberikan perlakuan yang sama terhadap individu difabel yang sedang berkasus selama proses hukum dijalani. Perlakuan secara verbal maupun nonverbal dari semua pihak dengan adil.
(2) Pemenuhan rasa aman dan nyaman. Menghindari adanya tekanan atau pemaksaan dari pihak aparat penegak hukum dalam memperoleh keterangan kasus, alur kasus dan informasi lain yang dibutuhkan dalam memudahkan penanganan kasus difabel. Dibutuhkan pendekatan secara personal agar difabel yang menjalani proses hukum dapat menimbulkan kepercayaan pada dirinya, maupun kepercayaan terhadap orang-orang di sekitar yang membantu kasus hukumnya.
(3) Komunikasi yang efektif. Membangun komunikasi secara langsung dengan difabel yang sedang memproses kasus hukumnya, meski dalam penyidikan membutuhkan bantuan penerjemah atau keterangan pendamping yang dapat menjelaskan informasi yang dimaksud.
(4) Pemenuhan informasi yang terkait hak penyandang disabilitas dan perkembangan setiap pelaksanaan pelayanan di pengadilan.
(5) Penyediaan fasilitas komunikasi audio visual jarak jauh. Fasilitas ini dapat digunakan pada saat difabel yang sedang berhadapan dengan hukum tidak bisa hadir langsung di pengadilan. Misal saat mereka dalam kondisi sakit yang kurang memungkinkan datang langsung, sementara informasi keterangan yang dibutuhkan harus diketahui secara bertatapan atau tidak bisa diwakilkan maupun dititipkan dalam menyampaikan keterangannya.
(6) Penyediaan pendamping dan/atau penerjemah. Bantuan juru bahasa isyarat untuk difabel Tuli, penerjemah atau pendamping yang mampu menjelaskan atau mendeskrifsikan untuk difabel Netra, difabel intelektual dan difabel mental.
(7) Penyediaan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan tata cara persidangan penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.
Sarana dan Prasarana bagi masyarakat difabel di pengadilan
Upaya pemenuhan aksesibilitas di ranah peradilan terus dikembangan. Dari beberapa Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia, umumnya sudah mengupayakan sarana dan prasarana yang menunjang kebutuhan masyarakat difabel. Sebut saja sebagai contoh, seperti PN Rangkasbitung di provinsi Banten, PN Tegal provinsi Jawa Tengah, PN Rarai Kabupaten Natuna provinsi Kepulauan Riau, PN Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur provinsi Kalimantan Tengah, PN Denpasar Kelas 1 A, provinsi Bali, PN Ambon provinsi Maluku dan lainnya.
Meski belum seragam jenisnya, sarana dan prasaran yang mereka miliki memberikan akses kemudahan kepada masyarakat difabel yang sedang menjalani proses hukum.
Ragam sarana dan prasarana tersebut seperti:
(1) Komputer yang dilengkapi dengan aplikasi pembaca layar dan/atau audio. (2) Laman website yang mudah dibaca bagi masyarakat difabel (accessibility menu dan efek menu bersuara atau scrip vioce). (3) Media informasi cetak dengan huruf braille. (4) Media komunikasi audio seperi audio book. (5) Papan informasi visual, rambu atau petunjuk jalan dan papan petunjuk menggunakan huruf awas juga huruf braille. (6) Alat bantu dengar. (7) Media komunikasi berupa tulisan, bahasa isyarat dan bentuk visual lainnya. (8) Alat peraga. (9) Kursi roda dan tongkat penyangga atau kruk. (10) Obat-obatan dan fasilitas kesehatan lain. (11) Kursi prioritas di ruangan dan spot khusus pengguna kursi roda. (12) Tempat parkir. (13) Selasar khusus. (14) Form penilaian personal Pidana dan Perdata bagi difabel yang berhadapan dengan hukum. (15) Guiding block dan warning block menuju pengdilan, jalur khusus kursi roda diluar pengadilan, jalur prioritas bagi difabel di ruang PTSP menuju ruang sidang ramah difabel. (16) Kartu antrean prioritas.(17) Ramp serta peganggan rambat (hendrail) di ruang berundak. (17) Toilet khusus difabel yang dilengkapi tombol darurat.
“Dengan cepatnya pelayanan yang diberikan, seperti perpanjangan penahanan, surat izin, surat persetujuan dan lainnya menjadi satu perubahan besar di ranah pengadilan negerii,” ungkap Suryawan dari Polri.
Rezi Darmawan. S.H, Kasi Penuntut Umum Kejari Natuna juga turut menyapaikan, bentuk-bentuk pemberian pelayanan yang lebih cepat, sederhana dan singkat waktu sangat butuhkan.[]
Reporter: Srikandi Syamsi
Editor : Ajiwan Arief