Lompat ke isi utama
Elizabeth Farrell

Elizabeth Farrell dan Pendidikan Inklusi dalam “Kelas Tanpa Peringkat”

 

Solider.id -  Hampir semua orang tahu siapa Helen Keller, seorang ilmuwan yang menyandang difabilitas rungu dan netra, banyak berbuat untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sosok Thomas Alva Edison yang tidak asing dalam ilmu sains, yang merupakan difabel mental, terus gigih dan tak menyerah untuk memodifikasi rumus yang kemudian menghasilkan penemuan lampu pijar Namun, tidak semua orang mengetahui lingkungan seperti apa, yang membuat Helen Keller dan begitu antusias dalam belajar, pola asuh seperti apa yang mempengaruhi, dukungan seperti apa yang diberikan oleh sekolah, dan sebagainya. 

 

Semua manusia berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk menumbuhkan bakat dan memanfaatkannya potensi di dalam dirinya semaksimal mungkin. Setiap anak, mempunyai potensi yang berbeda, dengan latar belakang kondisi keluarga yang berbeda. Yang sama, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan aksesibel.

 

Sekolah menjadi salah satu tempat penting untuk menumbuhkan potensi anak, dan membantu anak menyelesaikan permasalahannya dan lingkungannya.  Sekolah, merupakan tempat individu-individu melakukan pengajaran dan pembelajaran untuk menemukan versi terbaik dirinya. Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, atau anak difabel, mengalami banyak perkembangan. Dalam literatur yang berjudul  On Educational Inclusion:  Meanings, History, Issues, and International Perspectives, yang ditulis oleh James Kauffman, ada dua gelombang sekolah untuk anak difabel, pertama dengan metode separapassion, yang percaya bahwa pembelajaran efektif kepada anak difabel dilakukan dengan memisahkan anak difabel ke sebuah sekolah dengan kurikulum dan pengajar khusus.

 

Metode kedua disebut dengan inclusiopassion, yang mulai dikembangkan pada awal 1980-an, yang menjadi pemikiran dominan dalam definisi pendidikan untuk difabel. Metode ini percaya bahwa pendidikan yang ideal bagi anak difabel, dapat dilakukan melalui general education, pendidikan umum. Tidak ada pemisahan khusus, melainkan tidak membedakan lingkungan, membuat kurikulum yang adaptif tiap anak. Perkembangan pendidikan “inclusiopassion” ini, keluar dari paradigma medis dari penyandang disabilitas itu sendiri. Artinya, percaya bahwa difabel merupakan konstruksi sosial yang dapat dieliminasi dengan konstruksi masyarakat yang secara sadar tidak memberikan hambatan bagi difabel. Hornby, menyatakan bahwa lingkungan yang inklusif, mengakomodasi kebutuhan yang berbeda-beda dari tiap anak, dapat melibatkan difabel dalam program pembelajaran yang “appropriate” atau yang pas dan sesuai dengan kebutuhan dan bakat anak.

 

Beberapa peneliti pendidikan inklusi mengatakan bahwa tidak mudah untuk melakukan interpretasi tentang penelitian pendidikan inklusi.  Pengertian inklusi sendiri tergantung dengan konteks dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Sementara itu ada banyak faktor pendukung yang sangat menentukan pelaksanaan pendidikan inklusi itu sendiri, misalnya manajemen sekolah, rekrutmen pengajar asesmen dan persiapan pelaksanaan pembelajaran, rencana dan pelaksanaan pendidikan, dan evaluasi pembelajaran inklusi.

 

Melawan Perspektif Medis dalam Melihat Difabel

Kalau menoleh kembali ke sejarah perjalanan arus pendidikan inklusi, misalnya pada tahun awal 1970an di Amerika Serikat mulai gelombang baru yang menolak separasi pendidikan untuk difabel, mulai pada tahun 1975, berbarengan dengan advokasi hak-hak sipil yang juga berdampak pada hak pendidikan untuk kelompok marjinal yang tidak bisa pergi ke sekolah[i]. Arus baru metode pembelajaran ini sebenarnya sudah pernah ada sejak awal tahun 1900an lalu.

 

Salah satu arus besar di sekitar tahun itu, melahirkan banyak pemikir pembaru tentang pendidika , inklusi, yaitu salah satunya adalah Elizabeth Farrell dengan konsep “ungraded class”nya atau kelas  tanpa peringkat.  Elizabeth Farrell adalah salah satu pemikir dan praktisi perempuan pertama dalam bidang pendidikan inklusi. Berawal dari Lilian Wald, guru Hellen Keller yang memiliki sekolah Henry Street Settlement, salah satu pusat prevensi dan treatment bagi difabel, merekrut Elizabeth Farrell  untuk mendukung pelaksanaan pendidikan untuk pendidikan minoritas. Sebelum bergabung bersama Lilian Wald, di Henry Street Settlement, Elizabeth mengajar di sebuah komunitas di Oneida.

“bahwa masing-masing anak telah diberikan bakat, dan bahwa kelompok anak-anak yang 'berbeda', memiliki kontribusi untuk kehidupan di sekolah yang tidak kalah berharganya karena mereka tidak serupa.” (Elizabeth Farrell) – Foto dari  Facebook Council for Exceptional Children pada saat perayaan International Women Day2021

 

Yang menarik dari Elizabeth Farrell yang membuat Lilian Wald mempercayakan sebagian muridnya dibimbing oleh Farrell adalah mereka berdua sama-sama menyetujui pemikiran Edward Austin Sheldon, salah satu pemikir pendidikan terkemuka di Amerika Serikat, bahwa pendidikan harus menekankan pada pembelajaran objek yang riil, bukan sesuatu yang abstrak. Menurutnya, harus ada kesinambungan antara apa yang terjadi di sekolah dan di lingkungannya atau kehidupan yang bisa dipelajari secara langsung. Elizabeth juga salah satu pengajar perempuan yang menentang arus besar medis abad ke-19 terhadap penjaminan hak difabel. Di saat arus besar percaya bahwa difabel merupakan masalah medis, genetik,  dan “dapat disembuhkan”, Elizabeth Farrell menentangnya dan menyatakan bahwa setiap anak unik, mempunyai kebutuhan dan pengetahuan yang berbeda, dan maka dari itu, setiap anak memiliki cara belajar yang berbeda.

 

Salah satu kelas kusus dalam sekolah Lilian Wald merupakan apa yang disebut sekarang sebagai sebuah kelas “inklusi” kelas yang mempertimbangkan kondisi anak menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan anak, dan setiap anak memiliki asesmen kebutuhannya sendiri. Ungraded Class” pertama kali pada 1905 terdiri dari anak-anak yang dicap “nakal” dan tidak bisa diatur oleh masyarakat, kebanyakan dari mereka usia anak menuju remaja yang mempunyai learning disability, anak-anak yang mempunyai disabilitas mental, lambat belajar,dan anak-anak lainnya. Sekolah Lilian Wald, di Henry Stret Settlement, dan kelas Farrell di dalamnya merespon kondisi sosial ekonomi zaman itu yang tengah dilanda krisis global termasuk di daerah kumuh New York.  Awalnya kelas itu berisi 18 sampai 20 anak yang 12 di antaranya anak dengan kebutuhan khusus yang berumur 8 sampai 16 tahun. Tujuan dari kelas dan sekolah itu adalah untuk mempersiapkan anak-anak untuk mempunyai ketrampilan khusus, sehingga mereka tidak turun ke jalan, menjadi gelandangan atau menjadi kriminal.

 

Lingkungan Keluarga, Sekolah, dan Kurikulum adalah Elemen Penting

 

Anak-anak yang ada di dalam kelas tanpa peringkat, itu dikelompokkan bukan hanya dalam usia kronologis, tapi dengan usia mental. Setiap anak mengerjakan projek-projek individual yang mempunyai sumber pengetahuan bukan hanya dari buku, tapi dari lingkungan sekitar mereka. Mereka membuat proyek-proyek berdasarkan kemampuan dan kebutuhan mereka, misalkan melalui seni, melukis dengan cat air, membuat puzzle, dan memanfaatkan kaleng yang ada di sekitar mereka untuk pembelajaran banyak hal. Misalnya mereka diajak ke kandang ternak, untuk selain belajar tentang animalia, mereka belajar membuat pagar, perabot rumah, vas-vas bunga.  Pembelajaran tersebut benar-benar dibuat spesifik individu, yang pragmatis, dan bebas dari struktur formal.   Elizabeth mengatakan bahwa ia ingin mengembangkan kelas yang konstruktif, mengembangkan rasa ingin tahu yang besar, dan mengembangkan insting imitatif anak yang berkembang pesat.  Metode pengajaran yang dilakukan oleh Elizabeth Farrell tersebut sangat menghindari pengggunaan fasilitas yang dirancang khusus untuk mereka, ia menggunakan fasilitas yang ada tanpa harus memisahkan muridnya.

 

Farrell mengakui bahwa pada awalnya, terdengar mustahil untuk membuat anak-anak yang dicap nakal itu bersenang-senang dalam belajar. Pada usia yang lebih dari delapan tahun, mereka belum bisa menghitung, atau membaca, beberapa anak tidak paham peraturan dalam kelas. Namun, Farrell percaya bahwa semua anak mempunyai hak untuk mendapat pendidikan yang baik dan dapat mengubah nasibnya. Pandangan Farrell dan Lilian tentang kelas tanpa peringkat ini juga mesti didukung sumber daya pengajar yang mempunyai kemampuan mengajar kelas yang inklusi dan yang paling penting, mempunyai semangat besar menjadikan pembelajaran menyenangkan bagi anak-anak. Farrell  terus menerus belajar metode pengajaran yang tepat dan juuga mengajak kawannya yang lain untuk “bongkar-pasang” metode belajar untuk usia anak sekolah dasar dan menengah, melatih untuk Sister for Charity.

 

Kepercayaan Farrell bahwa pendidikan anak di sekolah tidak lepas dari pendidikan kehidupan di rumah, membuatnya kembali belajar tentang pembuatan kurikulum di Oswego Normal and Training School. Metode untuk menghubungkan pengajaran di sekolah dan rumah, yang dikembangkan oleh Edward Austin Sheldon ini bertumpu pada objek pembelajaran yang riil yang dapat ditemui secara langsung, bukan objek abstrak yang mengawang-awang. Metode ini diadaptasi oleh Farrell untuk memberikan pengajaran kepada anak berkebutuhan khusus, dan ia bersama ratuan pengajar lainnya turut dalam Oswego Movement, yang kemudian menjadi dasar metode pengajaran di Amerika Serikat. Metode Farrell ini juga digunakan dalam pengajaran anak berkebutuhan khusus sampai sekarang.

 

Beberapa prinsip dari Elizabeth Farrell yang penting untuk digarisbawahi dalam Kelas tanpa peringkat, yang dikembangkannya, adalah Farrell lebih memilih preferensi kelas spesial, daripada sekolah khusus. Dalam kelas spesial ini inklusif, alias memberikan ruang anak dengan kebutuhan dan latar belakang berbeda untuk berinteraksi dan belajar bersama. Kedua, Farrell tidak mau terlalu terpaku dalam angka untuk menilai perkembangan belajar dan kemampuan anak. Ketiga, kelas “spesial” itu berbasis pada asesmen kebutuhan individu anak. Keempat, kelas spesial ini tidak selamanya. Artinya, ia juga mempunyai tujuan untuk memberikan anak berkebutuhan khusus kemampuan untuk kembali ke kelas regular atau lingkungan yang belum “tersentuh” oleh perspektif yang inklusif dan mengakomodasi kebutuhan individu. Kelima, ia percaya bahwa sekolah tidak boleh mengeksklusi siapapun murid yang ingin belajar di sekolah manapun. Keenam, sekolah bertanggung jawab untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kemampuan anak, terutama, anak-anak yang berkebutuhan khusus.        

Sedikit cuplikan tentang Elizabeth Farrell itu membuat berkaca kepada sistem pendidikan kita. Apakah kita sudah ada dalam langkah yang tepat untuk merealisasikan tujuan Bangsa dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah isi pasal 31 ayat 1, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, sudah dirasakan oleh difabel dan kelompok rentan lainnya, yang jauh dari akses pendidikan? Bagaimana Permendiknas 70 tahun 2009 ikut mendorong elemen pendidikan seperti sekolah, pengajar dan kurikulum mampu mendorong difabel menggunakan potensi maksimal dari dirinya?

 

Jika diskusi itu terlalu panjang, dan membutuhkan waktu yang lama, mungkin pertanyaan bisa persempit dan kita jawab dalam hati, apakah kita sadar bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai potensi dan kemampuan berbeda, yang wajib kita terus gali dan dukung potensi terbaik dari diri mereka?[]

 

Penulis: Brita Putri

Editor   : Ajiwan Arief

 

[i] Perdebatan tentang Pendidikan untuk penyandang disabilitas di Amerika, tentang pemisahan sekolah dan kemudian adanya Education for All Handicapped Children Act Public Law, atau IDEA)  mulai menentang pemisahan sekolah bagi penyandang disabilitas. Halaman 28, James Kauffman On Educaitonal Inclusion: Meanings History, Issues and International Perspectives

 

 Elizabeth Farrell And Spesial Education Section II, http://www.lillianwald.com/?page_id=1027

 

Kode, Kimberly. 2002. Elizabeth Farrell and the History of Spesial Education. New York: Cpuncil for Exceptional Children, Arlington, VA

 

M.Kauffman, James. 2020. On Educational Inclusion:Meanings, History, Issues and International Perspectives. New York: Routledge

 

G Hendrick, Irving. The Journal of Spesial Education Vol. 22/ no 4/1989 Selecting Children for Spesial education in New York City: William Maxwell, Elizabeth Farrell and the Development of Ungraded Classes, 1900-1920. University of California Riverside

The subscriber's email address.