Perkembangan 14 Poin Isu Kontroversi RKUHP Belum Banyak Menyinggung Isu Difabel
Solider.id - Dilansir dari Tempo, DPR menargetkan akan mengesahkan Rancangan undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) pada masa persidangan V tahun 2021-2022 yang akan diselenggarakan Juli mendatang. Setelah rapat dengar pendapat yang dilakukan bersama Komisi III DPR, Wakil Menteri Hukum dan Ham, Omar Hiariej pada akhir Mei lalu, menyatakan akan diselesaikan pada bulan Juli 2022. Dalam pertemuan dengan DPR tersebut, terdapat 14 poin reformulasi hasil RUU KUHP, yang di antaranya belum sepenuhnya memasukkan pasal yang erat kaitannya dengan difabel.
Dari 14 poin yang dapat diakses di sini, penambahan tentang penyandang disabilitas hanya terdapat pada pasal 477 ayat d yang berbunyi “persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan dengannya, padahal tentang keadaan disabilitas itu diketahui”
Rancangan Undang-Undang KUHP yang sempat tertunda pengesahannya tahun 2019 lalu karena besarnya penolakan dari masyarakat ini belum juga menunjukkan proses yang transparan dan inklusif. .Dari penolakannya pada tahun 2019. Masyarkat sipil berkonsolidasi dan beraliansi menuntut menunda pengesahan, dan memberikan poin-poin masukan untuk RKUHP, terutama menuntut pembahasan yang transparan dan inklusif. Berdasarkan perkembangan terakhir, pemerintah memberikan 14 poin penting perubahan KUHP, hasil sosialisasi DPR dan pemerintah. Beberapa poin perubahan tersebut terkait pasal perzinaan, kohabitasi, penghinaan terhadap presiden.
Klaim sosialisasi dari pemerintah dan DPR tersebut mendapat pertentangan dari banyak elemen masyarakat pasalnya, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam wawancaranya dengan CNN ini mengungkapkan bahwa aliansi reformasi KUHP kesulitan mengakses draf RKUHP yang dibahas. Begitupula pernyataan yang dikeluarkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP melalui tautani ini, yang menuntut Joko Widodo untuk membuka draf terakhir KUHP, bukan hanya membahas 14 poin versi pemerintah, melainkan membahas 24 poin daftar inventaris masalah yang pernah diajukan aliansi.
Tidak transparan dan terbuka ke masyarakat draf terbaru ini yang disayangkan, pasalnya publik berhak mengetahui dan memberikan masukan dan catatan kritis atas Rancangan KUHP baru dan legislasi yang lain.
Pasal -pasal bermasalah terkait Difabel
Rancangan KUHP masih mempunyai beberapa poin bermasalah yang terkait dengan isu difabel. Pertama, terkait pasal 38 RKUHP, yang masih memakai identitas penyandang disabilitas mental yang dijadikan acuan dalam pemberian hukuman. “Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi atau dikenai Tindakan” Koalisi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP yang menyelenggarakan diskusi pada 18 Juni 2021 lalu menyatakan bahwa pasal tersebut memberikan stigma negative pada difabel mental dan intelektual, menganggap bahwa difabel tidak cakap hukum.
Baca Juga: Tuntutan Difabel dalam Pembahasan RKUHP: Begini Respon Pemerintah dan DPR
Kedua, pasal yang bermasalah adalah pasal 103 ayat (2) huruf a “Tindakan yang dapat dikenakan kepada setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa: a. rehabilitasi. Oleh UU Penyandang Disbailitas nomor 8 tahun 2016, ditambahkan berupa habilitasi. Rehabilitasi dan habilitasi, mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda, tetapi memiliki sasaran yang berbeda. Jika rehabilitasi, pada umumnya ditujukan kepada nondifabel, habilitasi khusus kepada difabel yang ingin berlatiih untuk hidup mandiri. Pasal yang bermasalah nomor tiga adalah pasal 106 ayat (1) huruf B, yang memiliki perspektif mengkasihani terhadap difabel, dengan menggunakan kata menderita. Pasal tersebut berbunyi,“Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang: b. menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.”Pasal keempat RKUHP yang berhubungan dengan penyandang disabilitas adalah pasal 242 dan pasal 243, yang hanya menyinggung disabilitas mental dan fisik, berkaitan dengan Tindakan permusuhan, kebencian penghinaan terhadap beberapa kelompok, etnis, ras, agama, kebangsaan, warna kulit, agama, dan disabilitas. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap Orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV". Kedua pasal 242 dan 243 sudah seharusnya diperbaiki sesuai dengan Undang-undang penyandang disabilitas nomor 8 tahun 2016 yang menyebutkan empat ragam disabilitas yaitu disabilitas fisik, mental, intelektual, dan disabilitas sensorik. Pembahasan problematika isu difabel dalam RKUHP bisa disimak melalui tautan ini.
Dengan adanya penambahan pasal 477 tentang perkosaan, yang hanya mencantumkan disabilitas fisik atau mental, dalam 14 poin perubahan tersebut dapat diartikan bahwa pemerintah belum menjadikan Undang-undang Penyandang Disabilitas nomor 8 tahun 2016 menjadi referensi, karena dalam UU tersebut sudah menyebutkan empat ragam disabilitas.
Banyaknya catatan terkait proses penggodokan yang masih belum melibatkan masyarakat sipil, dan susahnya mengakses draf terakhir RKUHP menjadi isu penting yang dikawal oleh aliansi masyarakat sipil, termasuk koalisi organisasi penyandang disabilitas. RUU KUHP yang akan sangat berdampak terhadap publik harus transparan, melibatkan publik dan mempertimbangkan catatan kritis yang pernah diusulkan sebelumnya.[]
Penulis: Brita Putri
Editor : Ajiwan Arief