Lompat ke isi utama
ilustrasi Cerebral Palsy

Anak Cerebral Palsy di Kecamatan Girimulyo Tak Tersentuh Imunisasi Lengkap

Solider.id, Yogyakarta -IMUNISASI merupakan salah satu cara agar anak bisa tumbuh dan berkembang dengan sehat. Memasukkan cairan ke dalam tubuh, dilakukan sebagai upaya menciptakan atau meningkatkan kekebalan tubuh secara aktif terhadap suatu penyakit.  Imunisasi, adalah salah satu hak anak untuk mencapai hidup sehat. Negara berkewajiban memberikan pemenuhan hak atas imunisasi. Diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 (Permenkes 12/2017).

 

Berbagai strategi dan teknis pelaksanaan dilakukan.  Tujuannya, agar di mana pun anak-anak berada di seluruh wilayah  Indonesia, hak mereka untuk menjadi sehat melalui imunisasi, terpenuhi tidak hanya di daerah perkotaan. Tapi juga di pesisir pantai, pegunungan, perbukitan, lembah, dan berbagai lokasi lain.

 

Namun, ternyata tidak semua anak sudah mendapatkan imunisasi secara lengkap. Di antara mereka adalah anak-anak dengan Cerebral Palsy (CP) di perbukitan Menoreh. Mereka tinggal di Desa Giripurwo dan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  

 

Mereka adalah Alfian Nur Ikhsan (11), lelaki, dan Heppi Pertiwi (27), perempuan. Keduanya warga Desa Giripurwo.  Heppi yang usia kronosnya sudah dewasa, namun akibat CP yang disandang, tubuhnya kecil, masih seperti bayi. Nyaris tak bisa bergerak. Kaki dan tangannya tertekuk ke arah dalam tubuh. Tak mampu berkomunikasi.

 

Cerebral palsy adalah kelainan motorik pada anak akibat gejala suatu penyakit infeksi otak yang serius, trauma fisik atau kekurangan oksigen berat ke otak. Cerebral Palsy merupakan penyakit yang menyebabkan gangguan gerakan dan koordinasi tubuh. Penyakit ini juga sering disebut lumpuh otak

 

Selain itu, ada pula Agung Wardana Pratama (12) dan Adnan Firmansyah (11), keduanya lelaki, berasal dari Desa Jatimulyo. Jarak Desa Giripurwo ke Desa Jatimulyo sekitar tujuh  kilometer, mendaki perbukitan terjal. Jalan berkelok, naik dan turun menukik. Jarak rumah satu dengan rumah yang lain di kedua desa itu minimal 50 - 200 meter. Namun, semua warga desa itu, saling mengenal meski rumah mereka berjarak cukup jauh, dipisahkan perbukitan dan hutan-hutan kecil. Aneka tanaman tumbuh subur di pegunungan itu. Antara lain pohon kelapa, durian, coklat, cengkeh petai, dan ada pula tanaman kopi. Banyak pula ditanam di sana pohon albasia yang kayunya multiguna itu.

 

Empat anak dengan CP itu contoh kecil dari anak-anak CP di Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulomprogo, yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap.  Sebagaimana data yang diperoleh dari Tenaga Kerja Sukarela Kecamatan (TKSK) Kapanewon (Kecamatan) Girimulyo, jumlah keseluruhan difabel di kecamatan tersebut sebanyak 247 orang. Dengan jumlah difabel usia anak-anak sebanyak 24 orang. Dan 17 di antaranya, adalah anak-anak yang hidup dengan cerebral palsy berat. Tidak satu pun anak CP di antara mereka yang bersekolah. Data juga disandingkan dengan data anak difabel yang dimiliki aktivis isu difabel di wilayah tersebut.

 

Keempatnya hanya mendapatkan imunisasi dasar saat bayi. Mereka mendapat vaksinasi hepatitis B pada 24 jam pasca dilahirkan, dan imunisasi lain hingga usia mereka sembilan bulan. Antara lain, imunisasi poliomyelitis, tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh hemophilus influenza tipe b (Hib); serta imunisasi campak.

 

Semula, proses persalinan Ikhsan, Agung dan Adnan, dibantu oleh tenaga bidan yang ada di desa. Para bidan itu tinggal di dekat rumah, atau ada pula yang berdinas di puskesmas pembantu (Pustu). Karena terdapat masalah saat persalinan, ketiga ibu itu kemudian dirujuk ke rumah sakit umum. Maka lahirlah anak-anak mereka di sana.  Imunisasi dasar didapatkan di rumah sakit tempat mereka dilahirkan. Hal berbeda terjadi pada saat Heppi dilahirkan. Ia lahir dibantu dukun beranak. Imunisasi dasar bagi Heppi didapatkan di puskesmas dan posyandu (pos pelayanan terpadu).

 

Baca Juga: Berjibaku demi Sang Anak yang Tumbuh dengan Cerebral Palsy

 

Lahir normal

Kedua orang tua Alfian Nur Ikhsan, yakni Sutrisno (40) dan Isnaini (37), warga Banjaran RT 53/15, Giripurwo, Girimulyo, mengisahkan putra mereka lahir “normal”. Dengan berat badan 3,2 kilogram, panjang badan 49 centimeter.  Pada usia tiga bulan, tiba-tiba tubuh mungil Ikhsan menggigil akibat demam tinggi dan kejang-kejang.  Selanjutnya Ikhsan dirawat di RSUD Wates, selama satu bulan. Ikhsan didiagnosa mengalami Asfiksia berat atau cerebral palsy (kelumpuhan otak). Sejak saat itu, Ikhsan harus mengonsumsi obar kejang secara rutin hingga sekarang di usianya yang ke 11 tahun.  

 

Berat anak yang lahir 30 Juli 2011, itu kini hanya tujuh kilogram. Tubuhnya tipis, seolah hanya tulang berbalut kulit. Ukuran kepalanya pun kecil. Kedua kakinya kaku dan selalu dalam posisi menyilang. Demikian pula kedua tangannya, menyilang dan kaku. Saat dikunjungi solider.id, Ikhsan tengah ditidurkan di lantai semen beralas kasur tipis. Tubuhnya dibalut selimut tipis. Sebuah guling lusuh diletakkan di sisi kiri tubuhnya.

 

Sang ibu, Isnaini, yang duduk di sampaing putra pertamanya itu, mengatakan biasanya Ikhsan tidur di balai-balai di dalam kamar. Kala itu ditidurkan di lantai, selain mencari udara segar, juga agar si anak tidak sendirian saat dirinya menemui tamu.

 

Setiap bulan Ikhsan harus kontrol dan ambil obat kejang. Semua imunisasi dasar dilakukan di RSUD Wates bersamaan dengan jadwal kontrol. Isnaini tidak mengetahui adanya imunisasi jelang usia dua tahun. Demikian pula imunisasi pada usia sekolah. Perempuan yang berkegiatan menganyam untuk dibuat tas itu, mengaku, meski sebenarnya tahu soal imuninasi pada usia sekolah, tapi dia tak punya harapan untuk bisa mendapat imunisasi tersebut.  

“Kalau yang sebelum umur dua tahun, saya malah tidak tahu ada imunisasi lagi. Ikhsan terakhir kali ke rumah sakit saat umurnya 1,8 bulan. Saat itu opname selama sembilan hari karena diare (dehidrasi) dan tidak bisa pipis (buang air kecil). Dari rumah sakit juga tidak ada pesan imunisasi,” ujar Isnaini.  Ia menambahkan, “Soal imunisasi usia sekolah, iya saya tahu. Tapi apa boleh buat. Lha Ikhsan tidak bisa sekolah,” kata perempuan yang ketika ditemui medio April 2022, tengah hamil lima bulan itu.

 

Pasangan Sutrisno dan Isnaini bertahan hidup dengan mengandalkan pekerjaan menganyam tas (merajut). Pendapatan mereka tidak menentu. Setiap hari berkisar antara Rp 10 ribu – Rp 30 ribu, bergantung berapa banyak mereka mampu menyelesaikan anyaman. Keduanya menuturkan, tak setiap hari dapat order merajut. Bergantung pada si pemberi order.

 

Diminta menahan kelahiran

Kisah serupa dialami Agung Wardana Pratama (12), anak pertama dari dua bersaudara pasangan Supriyanti (37) dan Hertranto (36). Warga Dukuh Kembang RT42/10, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo itu, juga menjalani proses persalinan pada bidan desa. Karena terdapat masalah, persalinan kemudian dirujuk di Rumah Sakit PKU Kenteng, Nanggulan, Kulonprogo. Dari sana, selanjutnya dirujuk lagi ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta.

 

Ketika itu, kata Supriyanti, bidan berpesan agar dirinya menahan kelahiran anaknya. Dengan kata lain, sebelum sampai di rumah sakit, bayi tidak boleh dilahirkan. Untuk menahannya, posisi kaki Suriyanti harus dalam posisi menjepit. Selama perjalanan dari tempat bidan desa menuju ke PKU Kenteng, kemudian ke RSUP Dr Sardjito di tengah kota Yogyakarta,  memakan waktu hampir selama tiga jam. Sampai di rumah sakit Dr. Sardjito, tubuh Surpiyanti sudah tidak sanggup lagi menahan kelahiran sang bayi. Ia pun lemas. Nyaris pingsan.  Sesaat kemudian lahirlah putra pertamanya. “Kelahiran yang tidak lazim. Otak anak saya keluar. Batok kepala dalam posisi terbuka. Entah karena apa. Mungkin karena saya tahan atau apa, saya tidak diberi penjelasan sampai sekarang,” tutur ibu dua orang anak itu.

 

Setelah lahir, Agung menjalani perawatan intensif selama satu bulan. Saat itu juga, pada usia yang baru 24 hari, Agung sudah harus menjalani operasi bedah otak. Meletakkan otak pada posisinya. Tak hanya itu. Derita Agung belum selesai. Pada usia 14 bulan, kepala bocah itu membesar. Agung didiagnosa mengalami hydrochepalus (pembengkaan kepala karena cairan), dan harus menjalani operasi kedua. Operasi dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Pasca operasi, Agung dinyatakan mengalami kelumpuhan otak (cerebral palsy). Soal imunisasi dasar, bayi Agung mendapatkannya di Rumah Sakit Dr Sardjito.  Ia tidak mendapatkan imunisasi difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh hemophilus influenza tipe b (Hib), serta campak, yang semestinya diterima sebelum usia bayi genap dua tahun.  “Tidak ada yang memberikan informasi tentang imuniasi lanjutan pada jelang usia dua bulan. Jadi Agung tidak mendapatkan imunisasi itu,” ujar Supriyanti.

 

Tentang imunisasi pada anak usia sekolah, Surpriyanti  mengaku mengetahui hal itu Bahkan dia pernah mencoba mendapatkan informasi terkait imunisasi usia sekolah untuk anaknya yang tidak bersekolah. Bidan puskesmas pembantu (Pustu) di wilayahnya, mengatakan, imunisasi untuk Agung harus melalui pemeriksaan dokter spesialis anak di RSUP Sardjito, Yogyakarta

 

Namun, saran bidan itu tak membuat Supriyanti mengambil langkah membawa anaknya ke dokter spesialis. Bayangan sulitnya proses persalinan, hingga masa-masa anaknya mengalami operasi, terus menghantuinya. Belum lagi  bayangan betapa sulit perjalanan panjang yang harus ditempuh, dan akan memakan waktu berjam-jam untuk mencapai rumah sakit. Ditambah nanti harus mengantre panjang  saat sudah sampai di rumah sakit. Maka ia menghentikan niatnya memberikan hak imunisasi untuk sang buah hati penyandang CP itu.

“Sudahlah, tak perlu ke rumah sakit untuk konsultasi. Toh hasilnya belum tentu Agung bisa diimunisasi lanjutan,” tambahnya. Untuk itu ia harus membutuhkan waktu perjalanan yang cukup lama dari tempat tinggalnya hingga sampai ke rumah sakit. Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit. “Saat itu juga, saya stop keinginan imunisasi untuk Agung. Semoga sehat terus ya, le,” Supriyanti berujar sambil berbisik di telinga kanan putranya.

 

Seolah mendengar sang ibu, sore itu pun Agung terbangun. Kedua tangannya yang kaku diangkat ke atas mengenai dinding tempat tidur yang dibuat serupa boks bayi tapi berukuran besar. Agung menyentuhkan jari-jarinya ke kayu dan menimbulkan bunyi dug dug. Sang ibu bergegas mengambil telepon pintar, handphone. Lalu dari handphone itu disetel suara musik iringan tari angguk (kesenian tradisonal Kulon Progo) dengan volume rendah. Musik yang terdengar bernada ritmis namun repetitif. Sumber suara diletakkan di bantal, di dekat telinga kanan Agung. Benar saja.  Begitu mendengar musik itu mengalun, Agung kemudian tenang. Rupanya, memang demikian hobi Agung. Mendengarkan musik angguk.

 

Supriyanti berharap anaknya tetap bisa mendapatkan imunisasi lanjutan. Selain perlu diinformasikan dengan jelas, juga akan mudah didapat di Pustu atau Posyandu. Karena butuh rekomedasi dokter spesialis anak, dia berharap saat layanan imunisasi dihadirkan juga dokter spesialis anak.  “Dulu, untuk mengurus rujukan itu harus bolak-balik. Saya harus ke Puskesmas Girimulyo yang jaraknya 10 km untuk meminta surat pengantar. Selanjutnya membawa surat dari Puskesmas ke Dinas Sosial Kabupaten Kuloprogo yang lebih jauh dari rumah kami untuk dibuatkan rujukan,” tuturnya. Kemudian surat rujukan dibawa lagi ke Puskesmas untuk diberi cap dan tanda tangan, lanjut ke Dinas Kesehatan Provinsi DIY, lalu menuju RSU dan antre untuk konsultasi. “Kalau dari hasil konsultasi dokter bilang tidak perlu imunisasi? Saya tidak sanggup mendapatkan jawaban itu. Jadi saya memutus keinginan membawa Agung untuk imunisasi,” tutur Supriyanti, Sabtu (16/4).

 

Kisah serupa juga dialami kedua orang tua Adnan Firmansyah, yaitu Rina Astiti (35) dan Seneng (37), yang bertempat tinggal di Karanggede RT 70/18, Jatimulyo, Desa Giripurwo, kecamatan Girimulyo. Selain penyandang CP, Adnan juga mengalami epilepsi. Ia tak terjamah imunisasi lanjutan, karena selain tidak mendapat informasi, Adnan juga tidak bersekolah. Sang ayah adalah petani penggarap. Ibunya mengurus keluarga. Sesekali ia merajut di sela waktu. Keluarga ini juga memelihara kambing milik orang lain, dengan sistem bagi hasil.  

 

Hal demikian juga dialami Heppi pertiwi (27). Anak nomer dua dari tiga bersaudara ini, hingga di usia dewasa, hanya mendapatkan imunisasi dasar.  Heppi, gadis CP ini tak pernah mengenyam bangku sekolah.  Anak pasangan Sarman (60) dan Sukinah (54) itu bertempat tinggal di lembah perbukitan Menoreh. Kendaraan bermotor tak bisa mencapai tempat tinggal mereka. Melainkan berjalan kaki menuruni lembah berkelok sepanjang 300 meter dari titik kendaraan motor diparkir. Sepi, tak ada manusia yang melintas di sepanjang perjalanan rumah mereka. Hanya suara gareng pong dan desiran pepohonan, sesekali angin menyapu tubuh. Kebalikannya, menaiki lembah berkelok, untuk bisa kembali menuju kendaraan. Cukup memacu kerja jantung dan mengucurkan peluh, di udara segar perbukitan Menoreh.

 

Cukup lega setelah dapat menemukan dan menyaksikan rumah keluarga Heppi. Rumah mereka sudah lebih baik dari pada kunjungan solider enam tahun silam. Dinding rumah yang dulu bambu berlubang, sudah berganti bata merah. Lantai tanah, yang enam tahun lalu menjadi tempat tidur Heppi dengan hanya beralaskan karung plastik, kini sudah diganti dengan semen. Rumah mereka mendapat program bedah rumah pada tahun 2017. Demikian keterangan Sarman dan Sukinah, pekerja serabutan dan buruh penggarap itu.

“Sekarang kami sudah punya dua kamar. Satu kamar untuk saya dan Heppi. Kamar lainnya untuk adik Heppi dan bapaknya. Sedang kakak Heppi sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya di Wonosari, Gunung Kidul,” ujar Sukinah, perempuan bertubuh ramping itu, Selasa (12/4).

 

Medan  tempat tinggal keluarga Heppi, jauh lebih berat dari tiga bocah CP dalam tulisan ini, yang juga sangat berat untuk mencapainya. Berbagai fasilitas publik menjadi barang mewah untuk dapat diakses keluarga ini. Puskesmas, kelurahan, kecamatan, sekolahan, semua terpusat di satu tempat, dengan jarak tempuh 10 kilometer. Karena itu, semua proses persalinan ketiga anaknya, dibantu oleh dukun beranak. Heppi yang CP, tidak pernah mengenal terapi. Dukun urut dipilih untuk memijit. Dengan harapan kaki, tangan Heppi yang kaku dan menekuk bisa lurus, bisa berjalan. Sedang imunisasi dasar, Sukinah membawa Heppi berjalan kaki menuju Puskesmas Girimulyo I, atau sesekali di pustu, ketika ada layanan posyandu.

 

Medan berat, tetangga jarang, tuntutan bertahan hidup, jarak fasilitas publik jauh, minim informasi. Adalah potret empat keluarga dengan anak-anak mereka yang cerebral palsy di perbukitan Menoreh. Mereka tak terlihat dengan jelas. Masuk dalam data warga Kecamatan Girimulyo, tetapi belum terpotret kondisi dan hak atas hidup sehat, serta hak atas pendidikan.

 

Tak Mengetahui

Berdasar keterangan yang dihimpun solider.id, sebagian besar orangtua mengaku tidak mengetahui ada imunisasi lanjutan pada anak usia sebelum dua tahun. Demikian pula dengan imunisasi pada anak usia sekolah. Kalau pun ada yang tahu, karena pertimbangan tertentu, orangtua memutuskan tidak membawa anak mereka mendapatkan imunisasi lanjutan. 

 

Anak-anak dengan cerebral palsy senyatanya berhak atas kesehatan mendapatkan imunisasi lengkap. Tubuh mereka kaku, tidak mampu berkomunikasi. Hanya tergolek di kasur tipis tanpa sprei. Kasur, guling, bantal yang ada sudah kusam, lusuh. Jauh dari bersih, dengan bau pesing yang tidak sedap, menguar.

 

Tempat tinggal mereka berada di Perbukitan Menoreh. Sebuah wilayah di Kabupaten Kulonprogo, berjarak tempuh sekitar 60 menit dengan kendaraan bermotor dari pusat kota Yogyakarta. Kabupaten itu adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang terletak di bagian barat. Batas Kabupaten Kulonprogo di sebelah timur adalah Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.

 

Kabupaten Kulonprogo memiliki topografi yang bervariasi dengan ketinggian antara 0 - 1000 meter di atas permukaan air laut. Terbagi menjadi tiga wilayah meliputi, bagian utara, tengah dan selatan. Kecamatan Girimulyo, merupakan Perbukitan Menoreh yang berada di wilayah bagian utara. Dengan ketinggian antara 500 - 1000 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Kecamatan lain di wilayah utara yaitu, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Sesungguhnya, tanah di wilayah ini diperuntukkan sebagai kawasan budidaya konservasi dan kawasan rawan bencana tanah longsor.  Jalan beraspal terbentang sepanjang perbukitan tersebut. Namun, kontor geografis yang naik dan turun, membuat tempat tinggal keluarga dengan anak CP di Menoreh itu, tidak mudah dijangkau.

 

Memang tak mudah bagi anak-anak CP itu untuk bersekolah. Bahkan untuk sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) pun, bukan perkara gampang. Kecamatan Girimulyo, wilayah mereka tinggal tidak memiliki SLB. Sekolah luar biasa terdekat berada di Kecamatan Nanggulan. Dengan jarak tempuh sekitar 10 – 15 kilometer. Sedangkan sekolah reguler (sekolah dasar- SD umum) tidak bersedia menerima mereka. Para orang tua anak penyandang CP itu justru disarankan agar anak mereka bersekolah di sekolah luar biasa (SLB). Sebuah hal yang sulit diwujudkan. 

 

Medan berat, jalanan terjal menanjak dan turunan tajam, serta tidak ada sarana transportasi umum, sementara tubuh anak-anak CP yang kaku, menghalangi mereka mengenyam pendidikan dasar. Di sisi lain, kedua orang tua mereka adalah para pekerja informal, buruh serabutan atau bekerja jika ada yang meminta tolong. Tuntutan memenuhi kebutuhan hidup, tanpa disadari telah merenggut hak anak-anak CP untuk mendapatkan pendidikan.   Anak-anak CP yang tidak bersekolah itu kehilangan hak hidup sehat melalui imunisasi. Mereka kehilangan kesempatan mendapatkan imunisasi campak, tetanus, dan difteri. Imunisasi yang biasa diberikan pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS).

 

Penuhi Hak Anak

Secara global, anak mempunyai hak untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Direktur Pelayanan Medis RS Akademik UGM Yogyakarta, dr. Ade Febrina Lestari, Msc., SpA(K), mengatakan, adalah menjadi tugas negara dan semua agar bisa memudahkan akses layanan kesehatan untuk anak-anak dengan disabilitas. Ia ditemui Solider.id Jumat (22/4).

 

Dokter spesialis anak itu menambahkan, secara global imunisasi merupakan hak anak. Karena anak disabilitas mempunyai keterbatasan akses layanan kesehatan, belum lagi masalah sosial ekonomi keluarga, juga masalah geografis. Dia menghimbau peran aktif dinas kesehatan terkait, organisasi kesehatan, dan keterlibatan kader, pendampingan desa, dalam memonitor anggota keluarga cerebral palsy dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

 

Anak cerebral palsy akan menjadi dewasa cerebral palsy. Sebagian besar di Yogyakarta data menunjukkan anak cerebral palsy adalah tipe berat (GMFCS level 4-5). Artinya, mereka sangat membutuhkan bantuan orang lain dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Selain akses layanan kesehatan, akses pendidikan juga harus menjadi perhatian untuk anak cerebral palsy.

 

Ditambahkan, survey yang dilakukan di Yogyakarta melaporkan keterbatasan akses pendidikan bagi anak cerebral palsy yang disebabkan derajat keparahan cerebral palsy, masalah sosial ekonomi keluarga, tidak terdapatnya sekolah khusus yang dekat dengan tempat tinggal keluarga, tidak ada yang mengantar karena orangtua harus bekerja. Juga ketidaktahuan keluarga tentang pentingnya sekolah bagi anak. 

 

Jika anak CP tidak mendapatkan imunisasi dasar maupun lanjutan, terlewat, Jika terlewat, maka risiko yang terjadi adalah tubuh akan berisiko mudah terinfeksi penyakit tertentu karena belum ada kekebalan spesifik. Pemberian imunisasi harus pada usia dan jadwal yang tepat. Sebab, imunisasi akan menginduksi atau menghasilkan kekebalan tubuh yang spesifik untuk penyakit tertentu.

 

Selain itu, anak cerebral palsy dengan tingkat derajat keparahan yang berat, cenderung menyebabkan risiko terinfeksi radang paru atau pneumonia. Akibat posisi anak yang selalu berbaring, status nutrisi tidak baik akibat kesulitan makan maupun gangguan oral motor akibat gangguan sistem saraf pusat.  Hal ini menyebabkan anak cerebral palsy juga rentan terinfeksi penyakit akibat adanya malnutrisi.  Sehingga, sangat penting bagi anak cerebral palsy mendapatkan imunisasi lengkap sesuai jadwal, maupun sesuai kondisi anak yang memungkinkan untuk mendapatkan imunisasi. Tidak ada kata terlambat untuk mendapatkan imunisasi.

 

Pada kesempatan terpisah, para pemangku kepentingan, dalam hal ini kepala Puskesmas dan penewu (Camat) Girimulyo, mengaku baru mengetahui adanya anak-anak dengan cerebral palsy di wilayah Girimulyo yang tidak mendapatkan imunisasi lanjutan.

 

Ditemui Kamis (21/4), di kantornya, Kepala Puskesmas Girimulyo, drg. Tuty Purwanti, mengatakan akan melakukan koordinasi dengan otoritas di level atasnya, dalam hal ini kepala dinas kesehatan kabupaten, dalam upaya memberikan solusi. Terlebih, bulan Agustus – November nanti, merupakan bulan imunisasi sekolah (BIAS), kata dia.  Ia akan membawa usulan adanya layanan imunisasi lanjutan yang mudah diakses oleh warga. Sebagaimana imunisasi dasar yang bisa diakses melalui puskesmas terdekat, puskesmas pembantu, bahkan melalui posyandu.

 

Penewu Kapanewon Girimulyo, Endah Wulandari, SSTP., MM., juga akan melakukan koordinasi dengan jajaran terkait, tenaga kerja sukarela kecamatan (TKSK) dan kader pendamping desa, dalam hal identifikasi anak dengan disabilitas. Dengan harapan akan mendapatkan data riil di wilayahnya. Data detail dan lebih rinci terkait kondisi kesehatan juga pendidikan.

 

Demikian pula dengan Kepala Dinas Kesehatan Kulon Progo, dr. Sri Budi Utami, M.Kes. Dia mengatakan akan segera melakukan rapat koordinasi dengan dinas-dinas terkait untuk membuat langkah taktis penanganan kasus hak sehat anak melalui imunisasi[].

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor      : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.