Lompat ke isi utama
ilustrasi RUU TPKS berupa palu hakim

Angin Segar Pengesahan UU TPKS

Solider.id,- Kelegaan menyelimuti banyak pihak setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disetujui oleh DPR dalam sidang paripurna 12 April 2022 lalu. Setelah 10 tahun mengalami tarik ulur tanpa alasan yang jelas, akhirnya UU yang menjadi salah satu langganan tuntutan dalam demo di beberapa tahun terakhir bisa terwujud. UU yang rancangan awalnya diusulkan Komnas Perempuan di tahun 2012 ini memang bisa menjadi payung hukum yang mampu mewadahi kelompok rentan dalam masyarakat seperti perempuan, anak, dan difabel.

 

Sementara ini UU yang terdiri dari 93 pasal itu telah masuk pada proses selanjutnya, yakni pengesahan dan pengundangan. Setelah melewati proses itu baru kita tahu nomor dan nama UU tersebut secara administratif. Menurut aturan pembentukan perundang-undangan, dalam waktu 30 hari UU yang telah disetujui DPR akan berlaku secara mengikat. Jadi bisa kita pastikan di tanggal 12 Mei 2022 kita akan punya UU yang pro pada korban kekerasan seksual termasuk pada penyandang disabilitas.

 

Selama ini banyak pegiat difabel selalu bersusah-payah saat mengadvokasi para difabel korban kekerasan seksual dalam proses peradilan. Kendala seperti tidak ada habisnya karena skema yang memungkinkan difabel mengikuti proses peradilan belum memadai. Baru balakangan ini muncul PP Akomodasi Layak untuk difabel dalam peradilan yang setidaknya mampu memaksa pemerintah menyediakan kebutuhan khusus difabel demi kesetaraan di depan hukum.

 

Dibandingkan dengan PP Akomodasi Layak Difabel, UU PTKS ini punya tingkatan yang lebih tinggi. Bukan hanya sebab secara hirarki UU berada di atas PP, tetapi karena UU ini menyasar kekosongan hukum yang selama ini menjadi jurang menganga untuk korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan. Salah satunya adalah korban kekerasan seksual difabel. Jika dulu masih banyak ditemui penyelesaian secara “kekeluargaan” untuk korban kekerasan seksual difabel, kini tidak bisa lagi. UU TPKS memastikan kejahatan seksual tidak bisa diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali yang telah diatur dalam UU Anak.

 

Mengutip pendapat Eddy OS Hiariej di laman opini Harian Kompas, UU TPKS punya keunggulan karena menggunakan paradigma hukum pidana modern. Yakni tidak semata-mata demi pembalasan, melainkan keadilan korektif, restorartif, dan rehabilitatif. Sebab itulah banyak yang meyakini kalau UU TPKS mampu menjadi instrumen penegakan keadilan untuk korban yang selama ini kerap terabaikan. Karena memang fokus utama proses peradilan bukan sekadar menghukum pelaku, tapi memulihkan luka yang diderita korban kejahatan seksual.

 

Hal tersebut masuk akal, karena buat apa berpayah menghukum pelaku kejahatan jika korban yang juga butuh pertolongan tak mendapat dukungan untuk memulihkan diri. Maka tidak heran kalau dalam bagian empat UU ini menetapkan aturan restitusi untuk korban kekerasan seksual. Restitusi adalah pembayaran ganti rugi untuk korban yang dibebankan pada pelaku kejahatan atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan.

 

Jadi, dengan berbekal UU ini pengadilan tidak hanya menjatuhkan hukuman pidana penjara dan denda terhadap pelaku kejahatan seksual, tetapi juga wajib menentukan restitusi untuk pelaku yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih. Sebagai jaminan aturan restitusi ditunaikan, penyidik dengan izin pengadilan juga boleh menyita harta terdakwa jika ancaman hukumannya terpenuhi. Dengan begini, para pelaku kejahatan seksual baik personal maupun korporasi, dibebani tanggung jawab secara materiil untuk memulihkan dampak kejahatannya.

 

Kesetaraan dalam UU TPKS

 

Pada 6 April 2022 lalu Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas menggugat Badan Legislasi DPR RI sebab adanya pasal diskriminatif dalam RUU TPKS. Padahal saat itu pembahasan dengan pemerintah telah selesai yang artinya akan masuk pada proses persetujuan dalam sidang DPR. Hal yang dipermasalahkan adalah penempatan kesaksian saksi dan/atau korban penyandang disabilitas yang diserahkan pada hakim dan kesesuaian dengan alat bukti. Pokja menilai pasal tersebut jelas mendiskriminasi penyandang difabel karena secara tidak langsung menganggap difabel tidak sepenuhnya cakap hukum.

 

Jika menyimak RUU yang kemarin disetujui, pasal-pasal yang dipermasalahkan Pokja sudah tidak ada lagi. Yakni berganti menjadi, “Keterangan saksi dan/atau korban penyandang disabilitas mempunyai ketentuan hukum yang sama dengan keterangan saksi dan/atau korban yang bukan penyandang disabilitas” di Pasal 25 ayat 4. Meski pada ayat selanjutnya disyaratkan adanya penilaian personal yang ketentuaannya ada dalam aturan mengenai akomodasi layak untuk difabel dalam proses peradilan.

 

Tidak berhenti di situ, UU TPKS juga mengamanatkan untuk pendampingan saksi dan/atau korban penyandang disabilitas dalam seluruh proses peradilan. Ketetapan ini sudah tepat karena sinkron dengan ketetapan dalam PP nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Sehingga dalam setiap cara persidangan dengan saksi dan/atau korban kekerasan seksual difabel keberadaan pendamping telah menjadi keniscayaan dan proses peradilan akan tidak absah tanpanya.

 

Merujuk pada poin restitusi dan penyetaraan difabel dalam proses peradilan kekerasan seksual bisa dibilang UU TPKS cukup progresif. UU ini secara normatif rasanya akan mampu mengakomodasi kerentanan anak sekaligus difabel yang menjadi saksi dan/atau korban kekerasan seksual.

 

Pekerjaan rumah selanjutnya adalah penegakan atas UU TPKS ini. Aspek penegakan perlu menjadi perhatian karena dalam pemenuhannya membutuhkan tidak hanya kecakapan aparat penegak hukum dalam menghukum pelaku kejahatan seksual. Tetapi juga bagaimana dalam proses peradilan yang panjang itu aparat mampu mengakomodasi keberadaan saksi dan/atau korban yang punya kebutuhan khusus.

 

Karena jika dalam konteks penegakan hukum untuk kejahatan seksual ini cakupannya komprehensif. Meminjam konsepnya Lawrence M. Friedman, perubahan itu melingkupi substansi, struktur, dan budaya hukum yang selama ratusan tahun menyimpan nalar diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas.[]

 

 

Penulis: Ahmad Jamaludin, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Editor: Robandi

 

Sumber:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandemen Keempat

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi rapat pleno 06 April 2022

PP nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan

Eddy OS Hiariej, “Keunggulan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, Opini Harian Kompas edisi Senin 18 April 2022

https://www.solider.id/baca/7051-tunda-rapat-kerja-baleg-dpr-ri-pengesahan-ruu-tpks-ada-pasal-diskriminasi-terhadap

https://nasional.tempo.co/read/1581203/breaking-news-dpr-sahkan-ruu-tpks-jadi-undang-undang

 

 

The subscriber's email address.