Cara UU TPKS Mengadvokasi Anak dan Difabel
Solider.id,- Ada dua substansi penting yang mejadikan UU TPKS spesial, yakni skema untuk pencegahan dan dukungan untuk korban kekerasan seksual. Setelah mengedepankan dua poin itu, barulah penegakan hukum dan rehabilitasi pelaku kejahatan. Sebagaimana telah banyak disuarakan para pengamat bahwa upaya penegakan keadilan, terutama untuk kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan difabel perlu pendekatan hukum yang lebih advokatif terhadap kerentanan mereka.
Ancaman hukuman berat adalah salah satu hal yang membuat orang menghindari berbuat kejahatan. Menarik untuk dilihat bahwa dalam UU TPKS ini ada kategori khusus yang bisa menambah hukuman pelaku kekerasan seksual. Kategori itu disebutkan dalam Pasal 15 yang antara lain menetap penambahan 1/3 hukuman jika kejahatan terjadi dalam lingkup keluarga, dilakukan kepada penyandang disabilitas, dan dilakukan kepada anak.
Terus terang, ketetapan tersebut sangat nyambung dengan banyaknya kasus di akar rumput di mana kelompok rentan seperti anak difabel mengalami kekerasan seksual dari keluarga dekat dan lingkungan. Dengan berbekal pasal ini, sekarang aparat penegak hukum bisa memaksimalkan tuntutan hukuman atas pelaku kejahatan seksual dalam konteks tadi. Jika hukuman pelaku kejahatan seksual terhadap korban dengan kerentanan tinggi secara signifikan dinaikkan, tentu akan menjadi upaya pencegahan TPKS yang baik untuk kita bersama.
Khusus untuk anak dan difabel, UU TPKS telah menerapkan delik biasa, bukan delik aduan sebagaimana jika korbannya di luar kategori anak dan difabel. Artinya aparat penegak hukum akan berperan lebih aktif di sini dan jika menemukan indikasi adanya kejahatan seksual aparat wajib menyelidiki. Dalam konteks inilah masyarakat bisa turut berpartisipasi dengan awas pada lingkungan sekitar dan tidak akan terbebani ketika mengadukan kejahatan tersebut pada kepolisian.
Mengingat delik aduan yang hanya bisa diproses atas aduan atau persetujuan dari korban tindak pidananya, jelas itu akan sangat menyulitkan korban dari anak difabel. Secara tak langsung aparat punya ruang terbatas untuk bertindak karena membagi peran pemrosesan tindak pidana pada masyarakat yang menjadi korban. Selain itu ada batasan waktu singkat antara kejadian dan pengaduannya, yakni cuma 6 bulan. Kondisi yang jelas tidak memadai karena tidak semua anak dan difabel punya keleluasaan untuk melaporkan kejahatan yang dialaminya. Di sini rasanya kita perlu memberi apresiasi pada badan legislasi untuk substansi pasal yang jeli tersebut.
Sebenarnya dalam PP 39/2020 tentang akomodasi layak difabel dalam proses peradilan coba disiasati hambatan fasilitas dan komunikasi yang mengahalangi. Dengan implementasi PP tersebut setidaknya lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan di Indonesia punya kewajiban menyediakan sarana dan pra-sarana yang memungkinkan difabel menjalani proses peradilan. Jika ditambah dengan ketetapan delik biasa tadi maka ada suntikan ‘akomodasi layak’ lagi khususnya untuk penyidik kepolisian guna memulai proses peradilan TPKS dengan korban anak difabel.
Cakupan Delik yang Lebih Luas
Tindakan yang dianggap sebagai kekerasan seksual dalam UU TPKS cakupannya cukup luas. Karena itu masyarakat perlu mewaspadai hal-hal yang sebelumnya dimaklumi, seperti pemaksaan perkawinan. Sebagaimana disebut Pasal 4 bahwa pemaksaan perkawinan adalah tindak kekerasan seksual. Termasuk di dalamnya perkawinan anak, pemaksaan perkawinan beralasan budaya, serta pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Berikut yang menarik ialah konsep pelecehan seksual. Dalam UU TPKS pelecehan bisa berupa fisik maupun nonfisik, secara verbal maupun elektronik. Sebab tidak bisa kita mungkiri kalau kekerasan nonfisik bukan lagi perkara langka di internet. Dengan dibentuk aturan begini celah predator seksual melancarkan aksinya akan semakin sempit. Lalu apakah definisi pelecehan seksual itu sendiri?
Sebelum menjawab pertanyaan tadi, perlu diketahui bahwa UU TPKS membagi tindakan-tindakan yang termasuk kekerasan seksual ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama berisi 9 tindakan kejahatan seksual yang tergolong "baru” seperti pelecehan nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, hingga pemaksaan sterilisasi (Pasal 4 ayat 1).
Kelompok kedua terdiri dari 10 tindakan yang dianggap sebagai kejahatan seksual. Kelompok ini tergolong "lama" karena telah ditetapkan oleh aturan yang lebih dulu termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutnya sebagai “kejatahan terhadap kesusilaan”. Tindakan yang masuk dalam golongan ini adalah perkosaan, pencabulan, dan pelanggaran kesusilaan yang tak dikehendaki korbannya (Pasal 4 ayat 2).
Pelecehan seksual sendiri bisa didefinisikan sebagai perbuatan seksual secara fisik dan/atau nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Definisi tersebut adalah kesimpulan yang saya ambil dari Pasal 5 dan 6 UU ini. Melihat perkembangannya, definisi ini tergolong baru dan lebih komprehensif dibanding aturan-aturan yang sudah ada.
Jika dicari dalam KUHP, baik istilah kekerasan seksual maupun pelecehan seksual tidak ada sana. Menurut Diana Kusumasari tipologi tindakan cabul yang ada dalam KUHP cukup dekat dengan pelecehan seksual. Perbuatan cabul ialah tindakan melanggar rasa kesusilaan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Hal ini kurang lebih mirip dengan definisi pelecehan seksual Komnas Perempuan dalam naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun 2017 yang berbunyi; Pelecehan Seksual yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.
Dengan definisi tersebut tidak heran jika siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, atau isyarat yang bersifat seksual dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Sederhananya pelecehan seksual ialah tindakan menjurus seksual yang tak diinginkan atau dilakukan tanpa persetujuan. Karena tindakan tersebut mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, direndahkan martabat, hingga terganggu kesehatan atau keselamatan dari korbannya.
Kini kelompok rentan, terutama perempuan, apalagi yang masih di bawah umur dan difabel bisa punya perlindungan konkret untuk setiap tindakan-tindakan tak diinginkan menjurus seksual yang dilancarkan pada mereka. Melalui UU TPKS ketidaknyamanan atas perlakuan cabul bahkan yang bentuknya nonfisik bisa dan berhak dimintai pertanggungjawaban di pengadilan. Karena sudah saatnya budaya dan struktur yang timpang dan eksploitatif ini dibereskan.
Membaca pasal demi pasal dalam UU TPKS, rasanya seperti melihat kompensasi setimpal atas korban kekerasan seksual yang kerap terpinggirkan di Indonesia. Memang di sana-sini masih terdengar komentar miring bahwa UU TPKS ini akan membuat keluarga pecah sebab suami tak boleh memaksakan hubungan seksual, tergerusnya posisi orang tua, atau semacamnya. Tapi setelah diteliti lebih dalam kita tahu komentar itu tidaklah relevan. Sebab sejak awal UU TPKS diperuntukkan kelompok rentan yang kerap menjadi korban kekerasan seksual, bukan sebaliknya.[]
Penulis: Ahmad Jamaludin, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Editor: Robandi
Sumber:
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual tahun 2017
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi pleno 6 April 2022
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan
https://www.hukumonline.com/berita/a/kekerasan-seksual-mitos-dan-realitas-hol2472
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-pidana-pasal-pelecehan-seksual-dan-pembuktiannya-cl3746