Lompat ke isi utama
hari kesiapsiagaan bencana

Indonesia Daerah Rawan, Lakukan ini Agar Difabel Tangguh Bencana

Solider.id – Bencana bisa melanda dimana pun dan kapan saja. Baik akibat alam maupun human error secara pasti masih sulit untuk ditentukan waktunya, meski penyebab serta gejala dapat terdeteksi sebelum dan sesudah kejadian.

 

Kelompok rentan merupakan  korban bencana yang sering terabaikan saat evakuasi. Mereka adalah anak-anak, para lanjut usia, orang yang sedang alami sakit dan masyarakat difabel. Kecenderungan mereka untuk melakukan evakuasi mandiri pun sangat terbatas oleh mobilitas. Sehingga, membutuhkan prioritas dalam upaya penyelamatan korban kebencanaan.

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menginisiasikan pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional atau HKBN pada setiap 26 April. ‘Efektifitas peringatan dini dalam penhuatan respon masyarakat’ menjadi tema besar HKBN tahun ini, sedangkan sub temanya ‘Keluarga pilar ketangguhan bangsa menghadapi bencana.’

 

Dra. Prasinta Dewi, M.A.P. Deputi pencegahan BNPB dalam webinar rangkaian kegiatan Hari Kesiapan Bencana 2022, Selasa (19/2), mengungkapkan Keluarga Tangguh Bencana atau Katana melibatkan masyarakat rentan, dan meningkatkan kesadaran tanggap kebencanaan mulai dari lingkup terkecil yaitu tingkat keluarga, termasuk keluarga difabel atau yang memiliki anggota keluarga dengan kedifabelan.

 

Baca Juga: Inklusi dalam Penanggulangan Bencana

 

Sebagai upaya meningkatkan kembali pengetahuan, peran masyarakat difabel dalam penanggulangan bencana melalui keluarga sebagai unit terkecil, kegiatan bimtek nasional dibuka bagi organisasi-organisasi di seluruh Indonesia. Seperti yang diketahui bersama, Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan akan terjadinya bencana alam.

 

Peran difabel untuk mewujudkan ketangguhan bencana di tingkat keluarga dan komunitas

 

Edi Supriyanto dari Unit Layanan Inklusi Disabilitas Penanggulangan Bencana (LIDI) provinsi Jawa Tengah, keluarga tangguh bencana memiliki pengetahuan bencana, kesadaran, daya lenting dan budaya tangguh. Hal ini juga yang harus diketahui oleh keluarga difabel.

 

Pengetahuan bencana, meliputi (a) Potensi terjadi di sekitar tempat tinggal keluarga. (b) Tenang cara menghadapi masing-masing potensi bencana. (c) Alat pendeteksi atau peringatan dini yang aksesibel bagi semua keluarga. (d) Jalur evakuasi yang dapat diaksessibel. (e) Cara evakuasi anggota keluarga yang berisiko tinggi seperti anak, lanjut usia dan difabel. (f) Rencana kesiapsigaan keluarga dalam menghadapi bencana.

 

Kesadaran, meliputi (a) Mendiskusikan bahaya atau bencana yang berpotensi terjadi bersama keluarga.  (b) Merencanakan pembagian tanggungjawab dan kerjasama anggota keluarga jika terjadi bencana. (c) Menyimpan informasi penting yang dapat diingat oleh anggota keluarga. (d) Membuat tata ruang dan jalur evakuasi serta titik kumpul yang akses bagi semua anggota keluarga. (e) Memastikan perabotan dan furniture aman saat terjadi bencana. (f) Jika memungkinkan membuat tempat evakuasi sementara di rumah. (g) Membangun informasi secara lengkap kepada anggota keluarga. (h) Menanyakan keadaan anggota keluarga yang ada diluar wilayah setempat.

 

Daya lenting, meliputi (a) Mempertimbangkan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan rumah, tata ruang dan pengelolaan lingkungan. (b) Meningkatkan kemampuan evakuasi mandiri bagi semua anggota keluarga. (c) Simpanan kebencanaan.

 

Budaya tangguh, meliputi (a) Melakukan simulasi atau upaya menyelamatkan diri dan memberikan pertolongan pertama secara berkala. (b) Membiasakan diri dengan jalur evakuasi keluar. (c) Simpanan kebencanaan. (d) Tas bencana.

“Harus diperhatikan juga syarat jalur evakuasi dan titik kumpul yang aman,” kata ia.

 

Respon masyarat dan difabel dalam mewujudkan ketangguhan bencana

Kebencanaan yang sering terjadi di Indonesia nemberikan dampak besar pula terhadap masyarakat difabel. Menurut Andi dari Gerkatin Sleman, banyak difabel Tuli yang nasih tidak tahu harus berbuat apa, selain mengikuti yang dilakukan teman sesama Tuli.

“Kami ingin diberikan pendidikan kebencanaan khusus Tuli, sehingga tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana,” kata ia.

 

Pendidikan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi wilayah. Misal di daerah yang rawan banjir, tanah longsor, maka difabel daerah tersebut diberikan penanganan mulai dari pra, saat dan pasca bencana tersebut.

SOP perlu disusun secara bersama dalam peningkatan kapasitas relawan. “Selama ini difabel belum dilibatkan secara aktif dalam penanggulangan risikp bencana,” tutur Triyani M Herawati dari FPT PRB Baten.

 

Difabel juga harus mampu secara mandiri mengevakuasi dirinya menuju titik kumpul. Jalur evakuasi harus aksesibel, pembangunan infratuktur disekitas jalur tersebut menjadi prioritas yang dipastikan aksesibilitasnya.

“Sosialisasi langsung perlu dilakukan agar bisa memberikan contoh simulasi kebencanaan, pelibatan difabel dalam penanggulangan bencana masih cukup sulit,” papar Manyu Din dari NTB.

Baik masyarakat umum maupun masyarakat difabel masih banyak yang membutuhkan edukasi yang berkaitan dengan kebencanaan dan evakuasi mandiri.  BNPB perlu terus menyosialisasikan hingga ke lingkup terkecil yaitu keluarga.[]

 

Reporter: Srikandi Syamsi

Editor     : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.