Lompat ke isi utama
Ilustrasi banyak tangan dengan ragam warna dan tulisan Ran Ham

RANHAM 2021-2025, Sebuah Era Baru?

Solider.id,- Perpres Nomor 53 tahun 2021 tentang RAN HAM sebagai aturan perundang-undangan adalah sandaran untuk lembaga pemerintah bertindak dalam pelaksanaan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Bahkan dalam taraf tertentu, RAN HAM adalah petunjuk praktis ke arah mana upaya pemenuhan HAM diarahkan dalam periode ini. Karena itu, RAN HAM bisa sangat bermanfaat untuk komunitas difabel jika mampu dimaksimalkan perannya di level lembaga pemerintah dan masyarakat umum.

 

Jika menyimak beberapa update yang beredar di internet belakangan ini, agenda RANHAM sejauh ini sekadar sosialisasi di lembaga-lembaga pemerintah. Tentu saja hal tersebut tidak salah. Karena memang salah satu tujuan RANHAM diundangkan adalah untuk menjadi pegangan lembaga pemerintah dari level kementerian hingga daerah dalam melaksanakan pemenuhan HAM. Walau bagaimanapun, setelah hampir satu tahun dibuat, komunitas difabel sungguh menunggu buah positif RANHAM di lapangan.

 

Jika melihat fokus masyarakat rentan RANHAM kali ini, lembaga yang diserahi kewenangan mengurus difabel di Indonesia seperti Kementerian Sosial tetap akan punya peranan banyak. Karena instansi macam Kemensos lah yang diserahi kewajiban untuk menggelar program-program untuk difabel di Indonesia. Namun konsen yang terlalu besar atas bantuan sosial dan rehabilitasi jelas butuh pendekatan baru untuk program Kemensos.

 

Tapi sebagaimana sistem ketatanegaraan yang baik, konsep dan program baru dari pemerintah membutuhkan landasan regulasi yang jelas. Dalam konteks ini, pemerintah (eksekutif) kiranya perlu mencari lebih banyak alternatif agar RANHAM bisa dimaksimalkan. Jelas kesadaran seperti ini penting untuk memaksimalkan potensi kolaborasi antar instansi di RANHAM, seperti Kemenkumham dan Kemensos untuk memenuhi kebutuhan difabel.

 

Kita tahu Menteri Hukum dan HAM akan punya peran penting dalam RANHAM karena bertindak sebagai ketua panitia nasional. RANHAM yang untuk lima tahun ini berfokus pada kelompok rentan jelas perlu kontribusi dari lembaga di luar Kemenkumham agar hasilnya masksimal. Namun sebelum sampai sana, tampaknya kita lebih membutuhkan Menkumham untuk membereskan urusan di bidang yang diampunya sendiri dulu, yakni terkait regulasi kebijakan.

 

Baca Juga: Rencana Aksi Nasional HAM 2021-2025, Akan Seperti Apa Dampaknya?

 

Dalam lampiran RANHAM terkait penyandang disabilitas bahkan persoalan pertama yang disebut adalah belum optimalnya perumusan peraturan-peraturan pelaksana UU Disabilitas. Hal ini menarik mengingat selama tiga tahun terakhir tak kurang telah muncul 7 Peraturan Pemerintah dan 3 Peraturan Presiden demi UU Disabilitas. Sampai di sini, apabila Menkumham mampu menginisiasi harmonisasi dan menguatkan implementasi berbagai regulasi di atas tentu akan menjadi sumbangan besar untuk kita bersama.

 

Seperti telah saya bahas dalam artikel sebelumnya terkait G20, ada beberapa pernyataan menarik yang dilontarkan pemerintah untuk menyicil penuntasan persoalan difabel di akar rumput. Berhubung kita sedang membahas RANHAM, yang notebene program jangka menengah, maka tak ada salahnya jika coba mencari kecocokan dan kberlanjutannya dengan kampanye yang disampaikan para pemegang kebijakan di forum internasional dan media publik. Kampanye yang bahkan dengan mendengarnya saja sudah membuat rongga dada terasa lega, apalagi melihat perwujudannya.

 

 Pentingnya Sinergi Antar Peraturan dan Lembaga

 

Jika bercermin pada sektor difabel, aspek regulasi memang kerap menjadi masalah. Mulai dari disharmoni hukum, pasal diskriminatif, hingga lemahnya implementasi di lapangan. Meski kita tahu belakangan banyak peraturan yang muncul, dalam kenyataannya memang masih perlu upaya besar. Termasuk yang bisa menjadi contoh adalah bidang ketenagakerjaan dan kesejahteraan yang tercermin dalam PP nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas Bidang Ketenagakerjaan serta PP nomor 52 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas.

 

Pemberdayaan difabel di sektor ketenagakerjaan juga sedang banyak dibicarakan belakangan ini. Bahkan kabarnya pemerintah telah secara serius membawa isu ini ke pertemuam tingkat tinggi G20 tahun 2022. Tahap pembahasan pertama (EWG) telah selesai, masih ada satu pembahasan lagi di tengah tahun sebelum akan diputuskan dalam puncak KTT di bulan November. Namun sejauh ini belum ada update lagi akan konsep yang coba disodorkan pemerintah pada negara-negara sekutunya tersebut.

 

Menjadi menarik beberapa poin yang sempat terlontar menjelang rapat perdana G20 adalah tawaran untuk pendidikan dan pelatihan vokasi untuk difabel. Usulan untuk pendidikan vokasi sebagai alternatif pemberdayaan muncul dari Kemenaker. Bayangan idealnya, para difabel akan mampu berdaya ketika mendapatkan pendidikan skill yang sesuai dengan kelebihan mereka. Dari sana mereka akan bisa masuk ke pasar kerja yang sedianya akan dikondisikan untuk inklusif.

 

Sayangnya saat kita menengok dalam PP 60/2020 tentang Unit Layanan Disabilitas Bidang ketenagakerjaan kata pendidikan vokasi tidak sekalipun disebut di sana. Pasal-pasal dalam PP ini lebih pada desain lembaga yang disebut Unit Layanan Disabilitas (ULD). Memang di sana ada hal-hal umum seperti fasilitas yang menunjang difabel dan penyebaran informasi perihal lapangan kerja untuk difabel. Tapi tidak dirinci detail bagaimana unit ini mampu bekerja sesuai dengan kebutuhan difabel di lapangan.

 

Baca Juga: Festival HAM Semarang Diskusikan Pelaksanaan Aksi HAM 2021

 

Kalau menyimak pernyataan Sekjen Kemenaker Anwar Sanusi pendidikan vokasi yang diusulkan akan diselenggarakan oleh Balai Latihan Kerja (BLK) berbasis komunitas. Pada 2020 lalu Kemnaker telah meluncurkan program ini dengan seribu BLK yang akan tersebar di berbagai lembaga keagamaan dan komunitas sosial. Lalu apakah tugas pendampingan oleh ULD yang ada dalam PP60/2020 termasuk pendidikan vokasi ini?

 

Pertanyaan ini penting diajukan mengingat kebutuhan khsusus para penyandang disabilitas. Karena sejauh yang bisa dilacak perihal fasilitas dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2017 tentang Standar Balai Latihan Kerja, tidak ada pasal yang menyinggung ketersediaan akomodasi layak untuk difabel. Sehingga tidak ada jaminan bahwa BLK akan mampu mengakomodasi kebutuhan difabel, alih-alih memberikan mereka skill yang mumpuni untuk bekerja.

 

Karena penelusuran ini belum cukup jelas, baiknya kita lihat ke dalam PP 52/2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas. Ternyata, dalam Pasal 14 yang membahas tentang rehabilitasi sosial salah satu bentuknya adalah “pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan”. Menarik sekali bahwa yang justru akan diserahi mandat untuk melakukan pendidikan vokasi untuk difabel adalah Kemensos. Jadi tidak salah kiranya jika pada akhirnya Kemensos lah yang akan kembali berperan.

 

Perkembangan ini menjadi menarik karena jika ingin membentuk ekosistem yang inklusif tentu sinergi dari berbagai lembaga sangat dibutuhkan. Tetapi bagaimana agar upaya ini berjalan maksimal tentu perlu kembali dipikirkan.

 

Dari uraian yang cukup rumit di atas kita jadi bisa melihat sebuah fakta yang cukup ruwet terkait pendidikan vokasi yang dikampanyekan dalam G20. Meski Kemenaker yang melepaskan wacana pendidikan vokasi, tapi sebenarnya Kemensos adalah penyelenggaranya. Lantas apakah keduanya akan menyelenggarakan program itu secara masing-masing, bukankah lebih baik kalau bersinergi sehingga upayanya maksimal. Di sinilah kiranya Kemenkumham perlu mengambil peran agar program ini sukses, setidaknya sampai 2025.

 

Akhirnya harmonisasi regulasi dan sinergi program pemberdayaan kelompok rentan dalam RANHAM 2021-2025 mesti segera dilakukan. Dengan begitu kampanye pemberdayaan difabel di forum sekelas G20 baru akan terasa gunanya untuk kita semua.[]

 

 

Penulis: Ahmad Jamaludin (Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)

Editor: Robandi

 

 

Sumber:

Peraturan Presiden nomor 53 tahun 2021 tentang Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025

Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas Bidang Ketenagakerjaan

Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Standar Balai Latihan Kerja

https://www.republika.co.id/berita/r71p3k457/kemnaker-tawarkan-pelatihan-vokasi-berbasis-komunitas-di-g20

https://kemnaker.go.id/news/detail/kemnaker-luncurkan-1000-blk-komunitas-tahun-2020

 

The subscriber's email address.