Temuan HWDI Lakukan Asesmen di 10 Kota/Kabupaten terkait Vaksinasi
Solider.id, Surakarta – HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) didukung oleh Unesco melakukan asesmen terkait vaksinasi bagi difabel di di 10 kota/kabupaten dan mendapat apresiasi serta berharap respon cepat dari pemerintah. Hasil asesmen dari 10 kota, ada 3 yang belum dapat memberi data yang luas. Ini keprihatinan dan dari sini bisa dilihat bagaimana rendahnya partisipasi masyarakat difabel. Dari asesmen ditemukan banyak hal yang harus diperbaiki terkait pentingnya pendataan dan banyak pemangku kebijakan yang belum paham.
Dari hasil asesmen juga bisa dilihat bagaimana pentingnya pendataan. 70% pemerintah kota/kabupaten belum memahami isu difabilitas sehingga kebijakan yang dikeluarkan termask penanganan dan pemulihan pandemi tidak menyasar. Asesmen penting dan akses informasi juga penting serta krusial bagaimana difabel mengakses program yang belum menyasar seperti vaksin COVID-19, basis data dan penanganan kesehatan. Demikian dikatakan oleh Sonya Helen, moderator webinar yang diselenggarakan oleh Unesco.
Prakata Helen dipertegas oleh Yossa Nainggolan, peneliti, bagaimana komitmen pemerintah daerah dalam pememuhan hak-hak difabel di masa pandemi akan berjalan. Setelah HWDI melakukan penelitian di 10 pemerintah kota/kabupaten, harusnya data ada di semua wilayah, tapi yang krusial di soal data dan vaksinasi. Fakta-fakta disajikan oleh tim kajian dengan total 50 narasumber, ada 90% tidak memahami isu difabilitas, artinya 40 orang pemangku kebijakan tidak memahami bahwa isu difabilitas bahkan narasumber itu dari dinas sosial lalu diskominfo. Ketidaktahuan tersebut di antaranya mereka tidak mengetahui di isu difabilitas ini sebetulnya multisektor dan tidak hanya urusan rehabilitasi sosial saja.
Baca Juga: Terkait Kebijakan Pemulihan Covid – 19, HWDI lakukan Assesment di 9 Kota
Dari 50 narasumber yang berasal dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) bisa menyebutkan tentang difabel dan isu-isunya dan mereka rata-rata dari dinsos. Di dalam benak pemangku kebijakan, isu difabilitas ini adalah semata isu dinas sosial. Seharusnya ini PR bersama dan hal ini berelasi dengan program vaksinasi dan program-program lainnya, yang bisa mengena kepada dinas sosial karena dianggap isu ini adalah isu sosial.
Temuan lainnya, masih di isu pemahaman, kalau dari pemerintah kota/kabupaten mengetahui bahwa isu difabilitas adalah isu milik dinsos. Mereka juga tidak tahu adanya SE Kemenkes tentang percepatan vaksin, jadi ini sangat terbatas, lain hal hanya 2 kota yang menyebut bahwa mereka melibatkan difabel dalam penyusunan perda. Sehingga pengarustamaan (mainstreaming) difabilitas jadi “PR”. PP nomor 70 tahun 2019 yang didalamnya tertulis peran Bappenas dan Bappeda mestinya menjadi krusial, isu yang bisa dipahami semua pihak. Terkait Pemendagri nomor 90 tahun 2019, permendagri ini menuju peluang bahwa isu difabilitas menjadi isu multisektor karena di permen ini menyebut dinsos sebagai leading sektor.
Soal vaksinasi, berdasar fakta yang ada di lapangan, dari 10 kota/kabupaten, 7 kota yang bisa menyebut segregasi jumlah difabel yang sudah divaksin, namun tidak berbasis data nasional yakni susenas atau riskesdas. Jadi apa yang mereka lakukan berdasar yang diperoleh dari data simultan di daerahnya, dan ketika divalidasi tidak sesuai data nasional. Data basis tidak ada dan jadi “PR” bersama, terutama tentang vaksinasi.
Kedua, yang menarik ada 1 kota yakni dinas kesehatan menggunakan riskesdas, tidak by name by addres. Yang menarik juga di kota Bitung mereka punya data difabel di dinkes, tapi psikososial ketika dicek 63% difabel hanya difabel psikososial. Jadi ada keterbatasan data di dinkes, namun tidak ada upaya serius untuk mencari data difabel secara di lapangan, data pilah mestinya juga ada.
Selanjutnya, hampir semua dinsos dan dinkes tidak bekerja sama dengan komunitas/organsiasi difabel yang ada di wilayah tersebut. Tempat-tempat/wilayah difabel misalnya panti tidak dilakukan vaksinasi oleh pemda setempat kecuali di Tanjung Selor.
Yossa menambahkan bahwa terkait vaksinasi ini ini ada tiga hal krusial yakni ketiadaan data, data yang tidak terpilah dan data yang tidak sinkron antara kota dan nasional. Soal persebaran informasi bahwa dari semua kota, informasi tentang penanganan COVID-19 perlakuannya masih umum/sama, padahal difabel tertentu mereka mestinya memperoleh akomodasi yang layak namun tidak ada. Dan tak ada satupun dari 10 kota/kabupaten yang punya data monev terkait vaksinasi kepada difabel. Pemerintah di 10 kota/kabupaten itu menjawab bahwa itu harusnyamonev dilakukan oleh pemerintah pusat, jadi mereka tergantung dengan pemerintah pusat. Padahal semestiya pemda punya monev karena mereka yang paling tahu. Data monev bisa jadi data mereka untuk melakukan program.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief