Lompat ke isi utama
Rafa Remaja Downsyndrome sedang beraksi silat

Rafa, Remaja Down Syndrome dengan Multi Talenta

Solider.id, Yogyakarta - Rafa Kusuma Atma Wibowo, remaja dengan Down Syndrome yang saat ini berusia 14 tahun. Di awal usia remajanya kini, kepercayaan diri Rafa makin meningkat. Sering tampil pada berbagai pementasan, baik di daerah maupun nasional dilakoninya sedari usianya belum genap 10 tahun. Hal ini menyumbangkan nilai positif pada remaja ini.

 

Pada peringatan Hari Down Synrome Dunia tahun ini (21/3/2022), Rafa berkolaborasi dengan teman seperguruan, menampilkan senam silat, di Museum Benteng Vredeburg. Sebelumnya  Rafa sudah memiliki penampilan senam silat di beberapa tempat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di antaranya di GOR Amongraga, RS Akademik UGM, Harian Jogja, Pakualaman, Museum Serangan Umum 1 Maret, Hotel Tasneem, serta Madiknas KOSGORO. Sebelumnya, di usia 13 tahun, Rafa menyabel 10 besar Down Syndrome Got Talent se Indonesia.

 

Tak hanya mahir senam silat, remaja dengan Down Syndrome ini juga memiliki berbagai talenta. Di usia 9 tahunan, Rafa adalah satu-satunya peserta Down Syndrome di antara 45 peserta lomba dalang cilik lain yang nondifabel. Pada kesempatan itu Rafa menyabet penghargaan peringkat V dalang cilik. Saat ini rekaman lomba bisa disaksikan channel Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=f-k9TwSLKZA. Dan Rafa, adalah dalang cilik dengan penonton (viewer) terbanyak di antara 45 dalang-dalang cilik lain. 

 

Kepiawaian menari pun melekat pada Rafa. Pada tahun 2018, ia memamerkan kepiawaiannya dilakoninya. Antara lain Rafa pernah menari di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), saat pembukaan pameran salah seorang kawannya yang juga down syndrome, bernama Putri). Kemudian pentas menari pada gelaran Hari Down Syndrome Dunia, juga di sekolahnya saat pembukaan pelatihan boga oleh BLKPP DIY. Menggebug drum pun, dikuasainya. Keterampilan nge-drum didapatkan Rafat berkat ketekunan menonton dan berlatih setiap hari.

 

Baca Juga: Mengetahui Cara Efektif Terapi untuk Anak Down Syndrome 

 

Penerimaan utuh

Berbagai talent atau kemampuan yang dimiliki tentu tak begitu saja datang pada Rafa. Selain berlatih, dukungan keluarga, dalam hal ini kedua orangtuanya sangat berpengaruh. Tak laikknya bayi difabel, Rafa kecil tak mengalami penolakan. Shock, lemes, ketika mendapati kondisi fisik putra pertamanya diakui oleh Ludyarta Bimasena, ayah Rafa. Demikian pula sang ibu. Tapi itu tak berlangsung lama, aku Ludy, nama panggilan ayah dua putra itu.

“Saya langsung tahu kalau Mas Rafa itu Down Syndrome, sesaat keluar dari perut bundanya. Badan lemas dan shock saat itu. Tapi saya mampu mengendalikan diri, dan memberikan pemahaman dan penguatan pada istri,” aku Ludy.

 

Lanjutnya, akhirnya istri dan keluarga besar tahu kalau Rafa terlahir dengan penyimpangan kromosom, atau Down Syndrome. Sikap keluarga besar kami biasa-biasa saja. Karena kami berdua sebagai orang tya Rafa juga tenang. Kami cepat pulih dari shock, kemudian mampu memikirkan langkah apa yang harus kami lalui bersama,” terang entrepreneur dan pengelola pendidikan itu.

 

Ludyarta pun mengatakan bahwa memenuhi hak-hak laku budaya diberikan kepada Rafa. Yakni budaya puput puser, mandi kembang, selapanan, aqiqah, tedak siten, belajar jalan pakai gritan, dan beberapa laku budaya lainnya.

 

Pemahaman dan pengetahuan sebagai orang tua dengan anak down syndrome, disadari betul itu dibutuhkan putranya. Karenanya, dukungan yang tak kalah penting diberikan kepada Rafa. Yaitu terapi. Masa-masa bermain dan bergembira bersama teman sebaya pun diberikan kepada Rafa. Mengikuti taman bermain atau play group, menjadi sebuah proses awal bagi Rafa belajar bersosialisasi. Belajar berinteraksi, diterima dan menerima teman lainnya. Selanjutnya bocah laki-laki itu mulai bersekolah di taman kanak-kanak umum. Dilanjutkan dengan belajar metode home schooling selama dua tahun. Dan, remaja 14 tahun itu, saat ini duduk di kelas 6 Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Yogyakarta.

 

Sejak 2012, Rafa kecil sudah mulai diajak bergabung dengan komunitas down syndrome. Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS), adalah komunitas berbagi dan saling support.

 

Ludy mengatakan bahwa dirinya aktif di komunitas.  Hal ini untuk menjaga ritme kehidupan Rafa. Juga memberi kombinasi kegiatan, agar putranya tidak bosan. Mengajak Rafa bersepeda dilakukannya setiap hari. “Tidak semua anak dengan down syndrome (ADS) bisa naik sepeda roda dua, loh,” ujarnya.

 

Peniru ulung

Down Syndrome ini peniru ulung. Karenanya, menoton video dan meniru men-dhalang dijadwalkan setiap hari, tanpa pernah jeda. Ini pun juga untuk menjaga ritme Rafa, kata Ludy. Adapun senam silat, rutin dilakukan setiap sabtu sore. di markas besar (mabes) POTADS.

“Dia adalah Peniru hebat, peniru ulung. Dengan melihat, melakukan atau berlatih berulang-ulang (repetitif) ADS bisa melakukan gerakan sama persis, dengan contoh yang dia lihat dan dengarkan,” terang Ludy.

 

Di akhir percakapan yang disampaikan melalui pesan singkat whatsaap, catatan penting ditekankan Ludy. Bahwa memiliki anak dengan Down Syndrome, butuh banyak hal. Selain penerimaan, keinginan memberikan kesempatan dan dukungan, juga perlu kesabaran panjang dalam mendampingi dan berproses[].

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor    : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.