Lompat ke isi utama
salah satu halte yang tidak aksesibel di Yogyakarta

Transportasi Publik Sulit Diakses Difabel

Solider.id - PEMENUHAN hak difabel dalam mengakses transportasi publik, sampai kini masih terus menjadi persoalan. Artinya, belum sampai pada taraf ideal. Dengan kata lain, masih terus diupayakan, bahkan dengan upaya  pemaksaan, agar mencapai kondisi yang ideal itu. Dalam konteks ini, tentu menjadi tugas negara untuk memenuhi hak difabel dalam mengakses transportasi publik.

 

Menurut seorang peneliti pada The Habibie Center, Jakarta, Luthfi Ramiz, keterlibatan difabel dalam perencanaan dan pembangunan transportasi publik di Indonesia sangat penting. Namun, hingga kini keterlibatan itu masih sangat minim. Akibatnya, transportasi publik kurang ramah terhadap pengguna kelompok difabel. Hal itu dikatakan Luthfi Ramiz pada acara paparan penelitian dengan tema Aksesibilitas dan Inklusivitas Layanan Transportai Publik di Indonesia seperti disiarkan media siber Kompas.com (15 September 2021).

 

Pelibatan kelompok difabel secara holistik dalam tahap desain dan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi pada pembangunan transportasi publik akan jauh lebih proporsional dibandingkan dengan melakukan renovasi setelahnya. Selain itu, pandangan difabel sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran secara lengkap apa dan bagaimana fasilitas transportasi publik yang mereka butuhkan. Sebab, setiap difabel memiliki karakter   yang berbeda-beda. Sehingga  memiliki kebutuhan yang juga berbeda. Dengan mereka dilibatkan sejak awal, otomatis akan memberikan masukan yang sangat berharga menciptakan transportasi publik yang ramah terhadap mereka.

 

Kondisi seperti di atas, kiranya tidak hanya terjadi di Jakarta. Juga di Yogyakarta dan beberapa kota besar lain di negeri ini. Ketimpangan layanan transportasi publik bagi difabel sering dipandang sebagai hal yang tidak ada. Padahal, dalam realitas selalu ada di depan mata. Banyak pihak, terutama mereka yang merasa sebagai pihak otoritatif, berkelit sudah melakukan tugas dan kewajibannya. Meski pada kenyataannya, masih terjadi  banyak kekurangan.  Bahkan, masih sangat kurang, untuk tidak mengatakan nihil layanan itu.

 

Di Yogyakaarta, layanan transportasi publik yang dimiliki negara, adalah melalui armada bus.  Melayani beberapa rute dengan halte khusus di beberapa tempat, termasuk halte portabel. Bus khusus perkotaan ini tidak bisa berhenti di sembarang tempat. 

 

Namun jika melihat beberapa halte, terutama portabel, masih sangat jauh dari harapan jangkauan difabel. Kadang halte tanpa petugas itu, teronggok di tepi jalan dalam kondisi miring, dikelilingi rerumputan, posisinya cukup tinggi, bertangga tanpa disediakan ramp.  Konstruksi karoseri bus memang tidak memungkinkan alon penumpang naik dengan enak, sesuai trotoar, misalnya trotoar. Demikian pula kondisi halte permanen yang dijaga petugas, memiliki ruang tunggu cukup luas, namun kemiringan posisi ramp sangat curam, lebih dari 30  derajat. Tentu saja ini menyulitkan bagi difabel fisik pengguna kursi roda.  Dengan beragam jenis difabel, kebutuhan mereka tentu saja berbeda-beda. Namun, standar layanan harus diwujudkan.

 

Khusus di Yogyakarta, memang ada layanan khusus yang diinisiasi oleh komunitas difabel, melalui jasa ojek kendaraan bermotor beroda tiga. Ide ini tentu harus diberi apresiasi. Namun, bukankah negara yang harus mengambil tugas-tugas dalam pemenuhan dan pemberian fasilitas bagi warga negaranya?

 

Baca Juga: Catatan Kritis terhadap Layanan Publik untuk Difabel

 

Negara berwibawa

Mestinya, dengan kekuatan pemaksa yang dimiliki, peran negara harus mencegah terjadinya hegemoni, dominasi atau monopoli di ruang publilk dalam bentuk apapun. Kekuatan yang dimiliki negara itu, diperoleh berdasarkan mandat dari masyarakat. Kompetisi di ruang publik harus dikembalikan ke jalan semestinya, yakni berlangsung dengan menjadikan nilai yang disepakati sebagai acuan bersama.  Negara harus berkompeten dan berwibawa sekaligus beretika. Untuk urusan kepentingan publik kehidupan warga negara di dalam ruang publik, maka sudah semestinyalah negara memberi fasilitas. Dengan demikian, tidak ada lagi pengecualian yang diakibatkan oleh kepentingan kapital maupun kekuatan sosial.

 

Pelayanan publik, khususnya bagi difabel, selalu menjadi ironi jika dibandingkan dengan apa yang dengan mudah didapat oleh masyarakat non difabel. Termasuk dalam hal ini adalah pelayanan transportasi publik.  Banyak fakta membuktikan. Kesadaran negara, alih-alih kesadaran publik, atas hak setiap warga negara --dalam hal ini difabel—sampai sekarang masih terus mewarnai perdebatan pemikiran yang menimbulkan multitafsir lengkap dengan berbagai kepentingan yang mewarnainya.  Bagi pihak negara, selalu mengatakan sudah berperan maksimal.  Namun, di pihak lain masih terus lahir pertanyaan dan gugatan tentang di mana dan bagaimana peran itu telah diberikan.

 

Berbagai program sosial kemasyarakatan, memang telah dilaksanakan melalui aneka regulasi.   Undang-undang No. 8 Tahun 2016  Repubilk Indonesia tentang Penyandang Disabilitas sudah dimiliki dan berlaku secara nasional.  Sedangkan khusus di provinsi DIY sudah punya  Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 4 Tahun 2012 yang mengatur pasal-pasal perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Pasal-pasal tersebut meliputi pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, kebudayaan, penanggulangan bencana dan aksesibilitas.

 

Soal aksesbilitas dan hak publik, di Yogyakarta, misalnya, seperti dituturkan pegiat hak asasi manusia (HAM), Setia Adi Purwanta, masyarakat difabel kesulitan dalam upaya mereka mengakses beragam moda transportasi publik. Jika di dalam bus kota sudah disediakan running text, bagaimana hak difabel tuli untuk mendapatkan kejelasan informasi jika berada di stasiun kereta api, terminal bus atau bandar udara? Masih banyak lokasi yang mesti memberikan layanan sepenuhnya bagi difabel.

 

Baca Juga: Menanti Implementasi Fitur-Fitur Ramah Difabel di Aplikasi Tije untuk Layanan Transportasi Publik Inklusif

 

Historis

Dalam kehidupan berdemokrasi, kompetisi di ruang publik merupakan proses yang terus berlangsung. Ruang publik adalah sesuatu yang historis, tidak pernah stagnan atau mandeg. Dinamika akan berlangsung secara ideal apabila terjadi keseimbangan antara kekuatan pasar (market), civil society dan negara. Sedangkan etika pubik yang disepakati sebagai acuan nilai bersama (shared value) memungkinkan setiap pihak memiliki preferensi nilai dalam berinteraksi di ruang publik. Etika publik merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan untuk berinteraksi di ruang publik. Etika publik harus muncul dari kesepakatan bersama, bersifat bottom up dan bukan top down. Sebagai hasil kesepakatan bersama, maka etika publik ini bersifat mengikat dan menjadi acuan bagi semua pihak untuk berinteraksi di ruang publik.

 

Sampai kini, meski sudah banyak hal diwujudkan demi berpihak pada kepetingan hak difabel, namun dalam urusan kepentingan publik saja, masih banyak pula persoalan yang mesti diselesaikan. Trotoar yang direbut paksa oleh kepentingan kapital, digunakan untuk kegiatan ekonomi. Pemberian informasi penting di tempat umum, stasiun kereta api, bandar udara, terminal bus umum, rumah sakit dan bank, misalnya, masih sangat minim. Itu semua adalah sedikit contoh tentang persoalan ini.  Difabel tuli, netra atau fisik masih terus kesulitan untuk bisa memanfaatkan berbagai fasilitas umum itu dengan mandiri, akibat ketiadaan fasilitas negara sekadar untuk memberi informasi, misalnya.

 

Sebenarnya juga bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkan etika kepublikan di tengah kehidupan masyarakat, terkhusus bagi pemenuhan hak difabel. Negara sebagai fasilitator semestinya tinggal melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh difabel.  Dengan demikian, masyarakat yang semula tidak atau belum sadar dan mengetahui akan adanya hak-hak itu, otomatis akan mendidik diri mereka sendiri kemudian menerapkan etika kepublikan, khususunya bagi difabel. Ketimpangan khususunya layanan transportasi pubik bagi difabel, hanya satu dari sekian banyak persoalan yang secara latent terus terjadi dan  dialami difabel.

 

Sekadar contoh betapa soal transportasi publik menjadi penting bagi warga, diungkap oleh surat kabar harian Kompas 3 Februari 2022. Dalam head line (berita utama) edisi itu, Kompas menurunkan liputan berbasis jurnalisme data. Judul berita yang dipilih adalah: 8,8 Juta Warga Jabodetabek Sulit Mengakses Transportasi Publik.  

 

Membaca berita tersebut terselip pertanyaan, jika angka 8,8 juta orang itu adalah penduduk Jabodetabek nondifabel, lalu bagaimana dengan para  difabel? Kesulitan bagi difabel pasti berlipat-lipat untuk bisa mengakses transportasi publik. Selain karena ketiadaan fasilitas, meliputi fasiltias fisik sesuai moda transportasi, juga layanan lain, semisal pemenuhan hak atas informasi.  

 

Sebenarnya juga bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkan etika kepublikan terkhusus bagi pemenuhan hak difabel. Lebih khusus lagi soal trasportasi publik.  Negara sebagai fasilitator semestinya tinggal melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh difabel.  Dengan demikian, masyarakat yang semula tidak atau belum sadar dan mengetahui akan adanya hak-hak itu, otomatis akan mendidik diri mereka sendiri kemudian menerapkan etika kepublikan, khususunya bagi difabel. Seperti yang telah dilakukan beberapa negara lain. Semisal yang terjadi di Australia. Adelaide Metro adalah perusahaan angkutan publik yang dikelola oleh pemerintah Australia Selatan, di kota Adelaide. Masinis kereta listrik berperan penuh sebagai representasi negara, dalam fungsinya demi kepentingan publik. Dia tidak sekadar pegawai sebuah institusi penjual jasa angkutan. Tapi juga harus berperan sebagai pemberi fasilitas bagi difabel yang menggunakan jasa transportasi. Baik difabel fisik, pengguna kursi roda, atau difabel netra. Di dalam gerbong kereta,  tulisan di dinding: “utamakan penumpang penyandang disabilitas, orang tua, perempuan hamil dan orang yang membawa anak-anak”.  Itu berarti, egoisme personal harus dikalahkan demi menegakkan kepentingan publik sekaligus menerapkan  etika publik di tengah kehidupan masyarakat dan realitas kehidupan sosial. 

 

Hal serupa juga didapati di dalam sebuah trem padat penumpang di tengah kesibukan jam kerja. Posisi tempat bagi difabel, berupa gambar dua kursi roda yang dipajang di lantai trem, tetap dikosongkan, tidak digunakan oleh ratusan penumpang yang berjubel. Dengan kesadaran penuh, mereka tidak mau merampas hak difabel yang memang sudah diberikan itu, meski  area tersebut sedang tidak digunakan. Di Yogyakarta, bus Trans Jogja juga sudah memiliki fasilitas seperti itu.

 

Layanan negara untuk memenuhi kepentingan publik bagi warga difabel , demikian nyata. Di Australia setiap bus kota selalu dibubuhi sticker mengajak setiap warga negara agar mendahulukan kepentingan warga difabel. Lantas bagaimana di negeri ini jika kesempatan mengakses transportasi publik saja masih terus menjadi kendala? Tak salah jika kekuatan warga negara sebagai penekan (pressure) terus menuntut pada negara demi hak publik mereka terpenuhi sesuai harapan.[]

 

Penulis : agoes widhartono 

(jurnalis senior, pemerhati isu disabilitas)

Editor : Ajiwan Arief

The subscriber's email address.