Rachel High, Down Syndrome Pertama Penyandang Gelar Sarjana di Australia
Keberhasilan seseorang, terutama difabel, sangat didukung oleh keterbukaan kesempatan, dukungan berbagai pihak, serta tekad kuat difabel untuk mengoptimalkan kesempatan dan dukungan yang ada.
Solider.id, Yogyakarta -Dengan keterbukaan kesempatan, dukungan dari berbagai pihak, serta tekat yang kuat, Rachel High (44), menunjukkan bahwa dirinya mampu meraih gelar sarjana. Perempuan Down Syndrome warga Australia yang tinggal di Adelaide itu, adalah salah satu dari ribuan mahasiswa di Australia yang merayakan kelulusan pada akhir tahun, Desember 2021.
Flinders University di Adelaide, adalah universitas tempat Rachel kuliah. Kampus ini yakin jika Rachel adalah orang pertama yang hidup dengan down syndrome yang lulus dengan gelar universitas di Australia.
Perjalanan studi Rachel di universitas cukup unik. Sebelumnya, lebih dari sepuluh tahun lalu, Rachel bergabung dengan program bernama 'Up The Hill' untuk mengambil kursus. Kemudian perempuan itu memperoleh angka yang cukup untuk kuliah di program Bachelor of Arts, setara dengan S1. Ia mengambil jurusan drama dan studi film. Sekarang, dengan ijazah di tangannya, ia mengaku sangat senang dan bangga karena berhasil melalui perjalanan panjang.
Dilansir dari www.jpnn.com Rachel berkata bahwa kelulusannya membuat dirinya merasa luar biasa. “10 tahun kerja keras, yang terbaik adalah kemampuan saya untuk benar-benar belajar dan benar-benar mendalami saat melakukan penelitian,” ujarnya bangga.
"Saya tumbuh dewasa di masa-masa kuliah, kemudian berpikir inilah jalan saya." Universitas memperluas pemikiran kita, dan memperluas perspektif saya di seni teater dan bidang pertunjukan. Pengalaman ini benar-benar membuat saya berkembang."
Banyak air mata
Tapi perjalanannya tidaklah mudah, karena ada beberapa momen yang membuatnya nyaris menyerah di awal masa studinya. Pada awalnya, Rachel mengaku gugup dan sedikit takut, karena tidak tahu apa yang diharapkan dari universitas.
"Ada satu orang, sebut saja inisialnya, 'H', yang tidak ingin saya berada di kelompoknya. Itu adalah bagian terburuk dan saya merasa sangat sedih. Saya berpikir: 'mengapa saya di sini?" kenang Rachel.
Ibu Rachel, Miriam High, mengatakan isolasi sosial yang dialami anaknya sempat jadi penghalang utama di awal masa kuliah.
"Tidak ada mentor, tidak ada yang menemuinya di gerbang kampus dan membawanya ke ruang kelas, tidak ada yang berbagi pengalaman dengannya. Dan itu menyebabkan isolasi yang luar biasa, sehingga awalnya dia tidak ingin melanjutkan studi," kata Miriam.
"Dia merasa sudah cukup dan berkata, 'saya tidak suka di sana, saya sendirian, tidak ada yang berbicara dengan saya’. Bukan pembelajaran yang menjadi masalah, tapi isolasi yang menjadi masalah," ungkap Miriam.
Lanjut Miriam, "Itu semua karena tidak ada penyandang disabilitas intelektual yang kuliah dan universitas tidak dibentuk untuk mendukung mereka. Banyak air mata saat kuliah,” katanya.
Miriam dan suaminya, John, kemudian mencari "teman" berbayar yang bisa membantu Rachel. Sementara Flinders University menawarkan mentor di tengah-tengah masa studi Rachel.
Rachel mengatakan berhubungan dengan orang lain dan bertemu orang baru menjadi salah satu yang ia sukai dalam perkuliahan. "Saya mendapat beberapa teman melalui mentor, teman-teman mereka juga," kata Rachel.
"Saya seorang peneliti, inilah yang membuat saya terus maju, dan saya mencari teman dengan cara saya sendiri," terangnya.
Miriam mengatakan bahwa, pengalaman kuliah putrinya sama seperti mahasiswa lain. Yakni, mengalami banyak hari buruk dan banyak air mata. Tapi ia bertekad dan ia berhasil melakukan banyak hal.
"Kami menjadi bagian dari kelompok belajarnya, jadi kami membawa pulang informasi, dan membantunya mengembangkannya serta menemukan hal-hal relevan yang dia butuhkan. Kami juga terlibat dalam proses menerjemahkan bahasa akademis, memahaminya, hingga kemudian dia dapat mengerjakan tugasnya,” terang Miriam.
Universitas diminta tingkatkan akses peneliti keragaman dan inklusi di Australia. Sally Robinso, dosen pembimbing penelitian akhir Rachel yang berjudul 'Graduating University as a Woman with Down Syndrome: Reflecting on My Education' [Lulus Universitas sebagai Perempuan dengan Down Syndrome: Sebuah Refleksi Pendidikan yang Saya Jalani].
Makalah tersebut diterbitkan dalam jurnal 'peer-review' pada bulan November 2021. "Ini adalah proyek yang sangat ambisius dan kami benar-benar perlu menggali lebih dalam," kata Profesor Robinson.
"Saya sangat yakin karyanya akan bermanfaat, juga makalah akademis yang sudah ditinjau oleh rekan sejawat adalah bukti empiris jika ini adalah karya akademik yang berkualitas tinggi."
Makalah ini terdiri dari tinjauan literatur yang meneliti pengalaman universitas dari orang-orang yang hidup dengan disabilitas intelektual dan autoetnografi yang membahas pengalaman Rachel sendiri.
Dukungan tepat
Profesor Robinson mengatakan universitas masih harus berusaha untuk mendukung siswa penyandang disabilitas intelektual dan kognitif dalam mengakses pendidikan tinggi.
"Sudah waktunya kita melihat kembali bagaimana penyandang disabilitas intelektual bisa mendapatkan dukungan universitas, dan memikirkan harapan mereka,” ujar Profesor Robinson.
Ia juga mengatakan peningkatan akses harus berfokus pada penyediaan bantuan praktis, seperti perpanjangan tenggat waktu tugas, penyesuaian kurikulum, juga pada perubahan sikap masyarakat.
"Kita harus meningkatkan harapan kita jika penyandang disabilitas intelektual bisa juga berhasil di universitas," katanya.
Rachel menunjukkan kepada kita betapa hal tersebut mungkin terjadi. 'Mengubah dunia saya,' Rachel mengatakan dia senang ada sesuatu yang bisa ia tunjukkan selama satu dekade, yang ia habiskan dengan mendengar, membaca, menulis, dan belajar.
Dia berharap prestasinya akan menjadi bukti bahwa orang yang hidup dengan disabilitas intelektual dapat mengejar kesuksesan akademis, asalkan dengan dukungan yang tepat.
Kata Rachel, mereka harus mengabaikan stereotip. "Orang-orang seperti saya harus mengabaikannya dan mau kuliah untuk memberi mereka sebuah pengalaman hidup. Belajar di Universitas benar-benar mengubah dunia dan hidup saya,” ujarnya.
Miriam mengaku ia merasa senang dengan keberhasilan putrinya. "Semua menelepon kami dan berkata, 'bukankan ini adalah sebuah hasil yang luar biasa?', dan memang itu hasilnya," katanya.
"Kami benar-benar tidak percaya. Ini lebih dari yang pernah kami impikan. Ketika Rachel lahir 44 tahun yang lalu, kami diberi tahu jika sebaiknya kami menempatkannya di rumah perawatan dan memiliki anak lagi. Tapi kami tidak melakukannya,” ungkap Miriam.
"Inilah bayi, yang saat itu harapan dari orang-orang sangat kecil untuknya, tapi sekarang ia bisa mengubah dunia untuk orang lain karena prestasinya," pungkas Miriam sebagaimana dituturkannya pada www.abc.net.au, yang ditulis ulang oleh Solider.id.[ ]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief