Lompat ke isi utama
Ilustrasi sekumpulan anak-anak sedangdi depan papan Tulis (Dibuat di canva.com)

Jungkir Balik Pendidikan Bagi Anak Difabel di Yogyakarta

Solider.id,- Dengar Pendapat Publik (public hearing) yang digelar oleh DPRD DIY akhir bulan September 2021 lalu jadi sumber keresahan di kalangan pegiat difabel. Pasalnya acara tersebut mengetengahkan Racangan Peraturan Daerah terkait Penyelenggaraan Pendidikan Khusus yang hendak disahkan DPRD DIY. Seperti tercermin dari judul, mindset legislator kita masih ‘kolot’ dalam merancang regulasi terkait pendidikan difabel.

 

Barangkali ‘kolot’ bukanlah kata yang tepat untuk menyifati cara pandang para legislator yang mengeksklusi difabel. Tapi untuk menyebut mereka diskriminatif rasanya kok terlalu berlebihan. Karena sebagaimana bisa dibaca dalam Raperda tersebut, konsep inklusifitas pendidikan untuk difabel juga coba diakomodir. Hanya peran dan porsi saja yang terbilang kecil.

 

Sebagaimana diketahui bersama, penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bertopang pada dua konsep, pendidikan khusus dan pendidikan inklusif. Namun dua konsep di atas sebenarnya bukanlah konsep yang benar-benar selaras. Ada perbedaan mencolok dari dasar pemikirannya. Pendidikan khusus menitikberatkan pada eksklusifitas baik ruang, kurikulum, hingga prasarana guna memenuhi hak-hak pendidikan difabel. Sedangkan pendidikan inklusif justru menitikberatkan pada keterbukaan ketiga aspek tersebut.

 

Jika diamati dengan kacamata historis, akan tergambar lebih jelas bagaimana relasi dua konsep ini yang bukan sekadar saling melengkapi tapi juga saling meniadakan. Pendidikan khusus muncul lebih awal untuk meregulasi Sekolah Luar Biasa guna memenuhi hak-hak pendidikan anak berkebutuhan khusus. Seperti dalam UU Sisdiknas tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Meski sebenarnya dalam PP No. 19 tersebut telah sekali disebut juga soal pendidikan inklusif.

 

Sedangkan konsep pendidikan inklusif muncul lebih belakangan melalui Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Permen ini adalah implementasi atas dua aturan lebih tinggi yang telah disebut sebelumnya yang secara konkret mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan pendidikan inklusif. Upaya serupa juga mengemuka dalam PP No. 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.

 

Historisitas tersebut merekam bagaimana perubahan paradigma pendidikan untuk difabel di Indonesia yang dianggap semakin baik. Meski pada pangkalnya, di UU Sisdiknas masih memakai konsep pendidikan khusus, namun dalam aturan turunannya telah didorong untuk mengarah pada pendidikan inklusif sebagai sistem yang memadai untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pergeseran itu juga tergambar dalam UU No. 16 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang hanya sekali menyebut pendidikan khusus tetapi lima kali untuk pendidikan inklusif.

 

Baca juga: Pengesahan Raperda Pendidikan Khusus Perlu Ditunda Sementara

 

Maka tidak heran kalau kemunculan kembali konsep pendidikan khusus dalam Raperda DIY ini memancing banyak tanya dan kritik dari pegiat difabel. Jika salah satu fungsi hukum adalah sebagai rekayasa sosial (law as social engineering) maka kemunculan rancangan regulasi tersebut seolah tidak memenuhi fungsi ini. Padahal telah bertahun-tahun pemerintahan, pegiat difabel, dan masyarakat umum mendorong untuk penyelenggaraan pendidikan yang setara, inklusif, dan tanpa diskriminasi bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

 

Memang faktanya di lapangan pendidikan khusus masih ada. Sebagaimana keberadaan SLB yang harus tetap diregulasi dan diakomodasi. Tapi bukan berarti hal itu jadi alasan untuk terus mempertahan sistem pendidikan yang mengotak-kotakkan anak berkebutuhan khusus. Terutama jika kita semua mengamini bahwa pendidikan yang ideal adalah yang setara dan inklusif.

 

Dalam Raperda DIY tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus yang kemarin dimintakan tanggapan, nampak jelas pelemahan upaya membangun sistem pendidikan yang inklusif. Bukan cuma dari judul, tapi juga konsep dan detail pasal-pasalnya.

 

Eksklusifitas Pendidikan Difabel dalam Raperda DIY

 

Satu hal yang perlu diperhatikan saat membaca Raperda DIY tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khsusus adalah tiada penyebutan aturan terkait pendidikan dalam konsideransnya. Yakni bagian ‘Mengingat’ dan ‘Menimbang’ yang ada di awal setiap aturan perundang-undangan. Nah, untuk yang pertama biasanya berfungsi memuat filofosi, pokok pikiran, dan latar belakang dibuatnya aturan. Sedang yang kedua berguna untuk menunjukkan dasar hukum, aturan lebih tinggi, hingga aturan relevan yang mengharuskan pembentukan aturan tersebut.

 

Baca juga: Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas: Tolak Raperda Pendidikan Khusus

 

Untuk sebuah aturan yang diproyeksikan menjadi sandaran praktis penyelenggaraan pendidikan, hal itu terlihat janggal. Karena pembuatan peraturan setingkat Perda disebabkan ada aturan di atasnya yang meniscayakan, seperti PP Akomodasi Layak Pendidikan UU Sisdiknas dan UU No.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Semangat, konsep, dan ketetapan dari peraturan yang berada di atasnya itulah yang wajib dijaga hingga aturan di tingkat terendah.

 

Lalu, benarkah pasal-pasal Raperda ini meminggirkan konsep pendidikan inklusif?

 

Pembacaan sekilas tidak terlalu mencolok adanya upaya tersebut. Hal yang cukup jelas justru bagaimana Raperda ini berusaha menguatkan dan meluaskan adanya SLB sebagai penyelenggara pendidikan khusus. Tercatat dalam Pasal 5 dan 6 Raperda, yang mengamanatkan pemerintah daerah untuk meningkatkan partisipasi difabel agar mendapat pendidikan khusus (baca; masuk SLB) dan kewajiban pemerintah daerah untuk meratakan keberadaan satuan pendidikan khusus ini (baca; pemerataan SLB).

 

Bahkan Pasal 7 Raperda memberikan wewenang pada pemerintah lebih luas demi pemerataan tersebut. Disebutkan di sana bahwa pemerintah daerah berwenang, “menerbitkan izin penyelenggaraan Satuan Pendidikan Khusus yang diselenggarakan oleh masyarakat.” Dengan ketentuan seperti ini jelas potensi peningkatan jumlah SLB akan lebih tinggi.

 

Tidak ketinggalan Raperda juga memberikan peran khusus pada Orangtua, dunia usaha, dan masyarakat. Dalam Pasal 12 Raperda disebutkan bahwa peran dunia usaha antara lain memberikan; pelatihan, fasilitas, beasiswa, dan upaya peningkatan mutu pendidikan khusus. Sedang masyarakat bertugas untuk melakukan sosialisasi, dukungan non-materiil, dan bahkan menyelenggarakan pendidikan khusus.

 

Bagian mana dari pasal-pasal tersebut yang meminggirkan pendidikan inklusif? Tidak ada. Namun, dalam ketiadaan skema dan dukungan itulah yang seolah meminggirkan pendidikan inklusif.

 

Jika melihat ketentuan di Pasal 1 ayat (7), terlihat juga adanya upaya subordinasi pendidikan inklusif ke bawah pendidikan khusus. Di sana disebutkan bahwa, “Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Khusus adalah Satuan Pendidikan Khusus dan Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif.” Dengan pendidikan inklusif difungsikan ‘sekadar’ salah satu tiang penyangga pendidikan khusus, telah jelas kalau hal-hal yang kita idealkan sedang jungkir balik sekarang.

 

Perkembangan wacana kesetaraan dan keterbukaan saat ini, bukannya encourage perluasan pendidikan inklusi, Raperda ini malah ingin mengeksklusi pendidikan difabel. Padahal kan bisa saja Perda ini diarahkan untuk mendorong sekolah-sekolah di DIY mengimpelementasikan PP Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Jika aturan ini disahkan, tidak menutup kemungkinan sekolah-sekolah yang berlabel inklusi jumlahnya bakal stagnan atau bahkan menyusut di DIY.

 

Sampai saat ini, apa yang disebut sebagai diskriminasi sistemik seolah semakin sering terdengar. Seperti ada saja cerita difabel tidak bisa diterima masuk suatu sekolah sebab alasan aturan, fasilitas, hingga kompetensi. Raperda ini, tak bisa dimungkiri, berpotensi melanggengkan praktik itu.[]

 

 

Penulis: Ahmad Jamaludin

Editor: Robandi

 

 

Sumber:

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas

Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Naskah Akademik Raperda tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus, DPRD DIY 2020

The subscriber's email address.