Lompat ke isi utama
promosi kesehatan jiwa

Konsep Ideal Upaya Promotif Advokasi Kesehatan Jiwa

Solider.id – Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJN) diperingati pada 10 Oktober setiap tahun. Masyarakat internasional bergerak bersama untuk mengedukasi dan mengkampanyekan tentang apa dan bagaimana penyitas skizofrenia. Banyak disampaikan para ahli kejiwaan, setiap orang tanpa batasan usia dapat mengalami skizofrenia.

 

Mereka yang mengalami gangguan mental yang terjadi dalam waktu panjang, sehingga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir merasakan dan berperilaku dengan baik, di lingkungan masyarakat masih mengalami diskrinimasi berlapis. Kondisi ini kadang masih terjadi dari mulai lingkup keluarga sendiri, hingga lingkungan yang lebih luas di masyarakat umum.

 

Lebelisasi yang masih melekat pada penyitas skizofrenia, diantaranya anggapan sebagai orang gila karena berperilaku beda atau tidak lazim, sebutan orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ pun masih terus digunakan. Padahal, ada yang lebih halus seperti orang dengan psikososial atau ODP maupun skizofrenia.

 

Dr.dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, Ketua panitia kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Jiwa (2012 – 2014) menyampaikan, banyak   entry point untuk melakukan promosi dan advokasi kesehatan jiwa. Movement atau pergerakan sangat banyak yang bergerak di bidang kesehatan jiwa, tetapi perlu arahan, guideline dari peraturan pemerintah.

“Perlu dipikirkan agar upaya promotif dan advokasi tidak layu sebelum berkembang, berjejaring, saling melengkapi, dan berkelanjutan,” ungkap ia dalam sebuah webinar.

 

Baca Juga: Raperda Kesehatan Jiwa Yogyakarta, Antara Harapan dan Rekomendasi

 

Ia juga menegaskan, peran serta masyarakat perlu berlandaskan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 yang mengatur tentang kesehatan jiwa. Upaya promosi kesehatan jiwa dan advokasi bukan semata-mata hype atau promosi sensasional sehingga perlu memahami sejarah kesehatan jiwa dan perjalanan Rancangan Undang-Undang  atau RUU Kesehatan Jiwa menjadi Undang-Undang Kesehatan Jiwa.

Sejarah kesehatan jiwa dari berbagai sumber

Sejarah kesehatn jiwa memiliki fase evolusi keperawatan jiwa. Awalnya, mereka yang mengalami ganggaun jiwa tidak dirawat oleh tenaga kesehatan. Penanganan mereka lebih bersifat isolasi dan penjagaan.

Tahun 1945-an perawatan pasien jiwa difokuskan pada memberian pengobatan. Dan tahun 1950-an fokusnya mulai kepada klien, anggota keluarga tidak dianggap bagian tim perawatan. Seiring perkembangannya, perawatan kesehatan jiwa diberikan di rumah sakit jiwa, baik milik pemerintah atau swasta yang biasanya terletak jauh dari pemukiman warga.

Sekitar 1960-an, penderita gangguan jiwa mulai mendapatkan hak-haknya, seperti pemberian pelayanan kesehatan jiwa.

Pada tahun 1970 – 1980, perawatan rumah sakit jangka panjang mulai beralih ke perawatan yang lebih singkat, dengan banyak melakukan riset dan pengembangan teknologi. Sebab, perawatan sebelumnya yang sangat panjang, membutuhkan banyak pendanaan pula.

Awal abad 21, fokus perawatan mulai kepada berbasis komunitas. Ragam pendekatan yang digunakan antara lain melalui pusat kesehatan mental, praktik, pelayanan di rumah sakit, pelayanan day care, home visit dan hosice care pun dirancang, hingga terjadi perubahan yang signifikan dalam perawatan kesehatan jiwa.  

 

Regulasi tentang upaya promosi kesehatan jiwa

Regulasi tentang upaya promosi kesehatan jiwa dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, diantaranya:

Pasal 6: ‘Upaya promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau rangkaian kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa yang bersifat promosi kesehatan jiwa.’

Pasal 7: ‘Upaya promotif kesehatan jiwa ditujukan untuk; (a) Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat secara optimal. (b) Menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi Orang dengan Gangguan Jiwa - ODGJ, sebagai bagian dari masyarakat. (c) Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa. (d) Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa. (e) Upaya promotif dilakukan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan dengan upaya kesehatan lain.’

Pasal 8: ‘Upaya promotif dilaksanakan di lingkungan; (a) Keluarga. (b) Lembaga pendidikan. (c) Tempat kerja. (d) Masyarakat. (e) Fasilitas pelayanan kesehatan. (f) Media massa. (g) Lembaga keagamaan dan tempat ibadah. (h) Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.

Minimal: stakeholders dari upaya promotif  kesehatan jiwa adalah lintas sektor dan lintas program bahkan peran serta masyarakat yang terkait dengan lingkungan di atas.

 

Konsep ideal promosi dan advokasi kesehatan jiwa

Konsep ideal dalam melakukan promosi dan advokasi kesehatan jiwa, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa, yaitu dengan peraturan turunan implementatif dan derivatif lainnya selambat-lambatnya satu tahun setelah undang-undang berlaku 8 Agustus 2014.

 

Perkembangan usulan regulasi Kementerian Kesehatan dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA (Direktorat P2MKJN) yaitu: Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Upaya Kesehatan Jiwa selesai Juni 2022. Rancangan Peraturan Presiden tentang Koordinasi Upaya Kesehatan Jiwa selesai Juni 2022. Usulan ini memberi semangat setelah realitanya tujuh tahun Undang-Undang Kesehatan Jiwa disahkan dan tidak ada peraturan turunannya sama sekali.[]

 

Reporter: Srikandi Syamsi

Editor    : Ajiwan Arief

 

The subscriber's email address.