Lompat ke isi utama
Ilustrasi Kursi Rodan di tembok bertuliskan Fiqih Disabilitas

Fiqih Disabilitas; Ibadah Itu Sesuai Kemampuan

Solider.id,- Ada dua tokoh besar dalam umat muslim Indonesia yang pernah mengalami kendala penglihatan, yakni Imam Bukhari dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tokoh pertama mengalami kendala penglihatan di kala kecil. Sedang Gus Dur mengalaminya saat usia lanjut. Mengesampingkan kondisi khusus dua orang tersebut yang sampai kini dianggap biasa, mungkin tertutup oleh kiprah mereka yang terkenal hebat, satu hal yang penting untuk diperhatikan ialah bagaimana cara mereka beribadah.

 

Nah, dalam konteks peribadatan, kedua difabel netra tersebut tentu punya kondisi khusus. Mengingat Fiqih atau tata cara ibadah yang banyak diajarkan dalam masyarakat tidak banyak mengakomodasi kondisi khusus difabel. Bukan karena hal tersebut tidak ada hukumnya, dalam kitab-kitab klasik pun sudah banyak mengulas pengecualian untuk muslim yang difabel, hanya saja hal itu tidak mafhum diajarkan ke publik. Atau lebih tepatnya, belum banyak kitab fiqih yang diperuntukkan khusus difabel.

 

Sebagai contoh adalah kondisi yang dihadapi difabel netra saat bersuci dan menutup aurat untuk shalat. Dalam fiqih disebutkan bahwa aurat laki-laki dari pusar sampai lutut dan perempuan seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Tapi bagaimana jika saat ingin menunaikan shalat difabel tidak menemukan baju atau mukena yang diyakini suci dan tidak berlubang, sedang di sekitarnya tidak ada orang lain yang bisa membantu. Dalam hal ini, khusus untuk penyandang difabel netra dibolehkan memilih mukena atau pakaian yang diyakininya suci dan bisa menutup aurat.

 

Baca juga: Membincang Difabel dalam Al-Quran

 

Ilustrasi seperti di atas adalah satu gambaran saja dari kendala yang mungkin ditemui oleh difabel netra. Tidak menutup kemungkinan para penyandang difabel lain menemui kondisi di mana fiqih yang digunakan orang kebanyakan tidak aplikatif atas kondisi dirinya. Seperti bagaimana cara penyandang difabel daksa berwudlu atau hukum shalat menggunakan kursi roda. Padahal dalam QS al-Baqarah ayat 286 dikatakan bahwa, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

 

Demi memperjelas aturan peribadatan dalam konteks seperti di atas, hadirnya buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” menjadi penting. Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU tersebut sekaligus menegaskan bahwa menjalankan agama itu tidak dipersulit. Segala sesuatu terkait peribadatan diatur sesuai konteks masing-masing umatnya. Dengan bahasa yang lebih kekinian, fiqih tidaklah diskriminatif terhadap difabel.

 

Menyesuaikan Sudut Pandang Fiqih

 

Sampai sekarang, segala upaya memperbaiki kondisi penyandang difabel masih kerap terbentur pada dinding kokoh bernama sudut pandang. Perspektif punya peran besar dalam membentuk perilaku masyarakat, kebijakan pemerintah, hingga ijma’ hukum dari ulama.

 

Sebagian dari kita mungkin sudah jengah menghadapi sejawat atau random orang di luar sana yang memahami persoalan difabilitas adalah kondisi atau takdir yang sudah dari ‘sananya’. Sehingga segala konsekuensi hukum, ekonomi, dan sosial dari para penyandang difabel lepas dari tanggungjawab orang banyak. Manusia dalam pandangan golongan seperti itu hanyalah satu dimensi dan konsepsi saja, yang ‘normal’. Perspektif sejenis itu sayangnya masih menggejala dan mungkin juga diam-diam masih menyelimuti nalar bawah sadar kita.

 

Ada satu simpul yang bisa menggambarkan bagaimana perspektif yang diskriminatif masih menggejala dalam tatanan masyarakat kita, yakni di bidang perkawinan. Dalam Pasal 4 UU Perkawinan ditetapkan bahwa poligami dimungkinkan apabila isteri mengalami cacat permanen atau tidak bisa mempunyai keturunan. Aturan legal-formal tersebut sejurus ternyata dengan hukum fiqih yang menyatakan serupa. Hanya syarat-syaratnya saja yang membedakan pendapat para ulama yang telah diakui pendapat mereka terkait hal tersebut.

 

Baca juga: Langkah NU dan Cerita Penyintas ODDP di Hari Kesehatan Jiwa

 

Sedang di sisi lain, banyak dari kita mungkin (diam-diam) menyetujui aturan tersebut. Karena bagi sebagian dari kita, standar ‘normal’ perkawinan adalah dua orang non-difabel yang hidup bahagia dengan anak-anaknya. Jadi, apabila salah satu menghalangi terciptanya idealitas tersebut maka solusinya adalah merevisi idealitas itu dengan hadirnya isteri lagi, melainkan berumahtangga tanpa keturunan.

 

Saya pribadi mengharapkan ulasan terkait hal tersebut dalam buku ini. Tapi sayangnya tidak terjadi. Buku ini sebenarnya membahas perkawinan difabel, tapi lebih pada aspek perceraian, hak asuh anak, hingga waris. Ketiga pembahasan itu juga tak kalah penting mengingat perceraian sebab difabel juga tidak jarang terjadi.

 

Untuk buku yang berpretensi mengubah cara pandang hukum islam atas difabel, buku ini telah bisa menjalankan perannya dengan baik. Rincian hukum di bidang peribadatan, ekonomi, dan sosial-keluarga telah cukup menjawab persoalan yang kerap dihadapi penyandang disabilitas di lapangan. Lebih jauh pendasaran fiqih ini mestinya bisa mendorong pemenuhan sarana dan prasarana difabel di tempat ibadah yang saat ini masih kurang.

 

Keberadaan sarana publik dan ibadah yang inklusif rasanya bukanlah hal yang perlu dinegosiasikan lagi. Negara telah menjamin setiap warganya beribadah dengan bebas sesuai keyakinannya. Dalam pemahaman yang lebih luas ketentuan dalam Pasal 29 UUD ’45 tersebut tentu mencakup hal-hal yang diperlukan agar ibadah setiap warga bisa ditunaikan dengan leluasa.

 

Dengan pendasaran hukum fiqih yang juga telah jelas dalam buku ini, kiranya segala perangkat ibadah yang dibutuhkan difabel mesti tersedia. Pemahaman ibadah yang individual perlu ditinggalkan. Karena kita adalah satu kesatuan, satu ‘umat’ yang sama.[]

 

Judul: Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas | Penulis: Sarmidi Husna, dkk | Penerbit: Lembaga Bahtsul Masail PBNU | Tahun: 2018

 

Peresensi: Ahmad Jamaludin

Editor: Robandi

 

Sumber:

UUD Republik Indonesia tahun 1945

UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Marzuki, “Poligami Dalam Hukum Islam”, Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta; 2005.

https://kumparan.com/syahirul-alim1526287359707/ijtima-dan-ijma-ulama-1r0QO1imuHb

The subscriber's email address.