Saat Yang Muda Susah Cari Kerja
Tantangan bagi difabel muda dan transpuan, sudah berpendidikan tetap didiskriminasi
Solider.id – “Selain terbatas jenis lowongan, saat tes dan diterima kerja pun kami masih mengalami kesulitan,” ujar Agung, seorang difabel netra ketika berbincang tentang hambatan difabel mengakses pekerjaan melalui aplikasi zoom pada 26/7 lalu.
Agung menjelaskan para pekerja difabel netra, termasuk dirinya, kesulitan menemukan jenis lowongan kerja untuk para difabel netra. Lowongan ditawarkan untuk ragam difabel lain seperti tuli atau difabel fisik. Belum lagi harus bersaing dengan pelamar lain yang jumlahnya tak sedikit. Jika pun difabel netra lolos, dan mengikuti tes, kesulitan berikutnya menghadang.
“Contohnya, saat tes kami harus mengandalkan orang lain untuk membacakan soal. Jika orang tersebut tak paham soal atau gambar pada tes, maka kami akan kesulitan menjawab soal,” imbuhnya. Mengenai lama pengerjaan tes, seorang difabel netra membutuhkan waktu lebih panjang ketimbang orang non-difabel. Tak jarang, hampir 10 soal tak akan terjawab karena keterbatasan waktu yang ada.
Agung juga angkat suara tentang disability awareness di tempat kerja. Mahasiswa sebuah PTN di Jatim yang juga aktif di Pertuni Tulungagung ini tak menampik bahwa rekan kerjanya yang non-difabel bermaksud menolong, namun kadang niatnya tak sejalan dengan bahaya yang akan dialami difabel netra karena ketidaktahuan tentang etika berinteraksi yang benar.
Lain lagi pengalaman Rizal (nama disamarkan), seorang difabel tuli. Ia pernah mendaftar di organisasi non-difabel dan dinyatakan lolos secara administratif. Saat diwawancara, ia juga memberitahukan dirinya tuli dan butuh juru bahasa isyarat. Alih-alih menyediakan juru bahasa isyarat, si pemberi kerja menyarankan dirinya memakai alat bantu dengar agar lebih memudahkan. “Sering banget aku alami saat mendaftar kerja,” ujarnya.
Baca Juga: Sudahkah Difabel Punya Kesempatan Kerja yang Sama?
Belum lagi soal durasi wawancara yang lagi-lagi diskriminatif antara dirinya dengan orang dengar (sebutan untuk orang non-difabel). “Aku hanya diwawancara lima menit, padahal kata temanku proses wawancara kerja biasanya tiga puluh menit. Aku nggak tahu kenapa bisa begitu!” kata Rizal terheran-heran.
Dari lima ragam difabel yang termuat dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas, persoalan tentang ketenagakerjaan paling banyak dialami oleh difabel mental. Nurma, 30 tahun, asal Blitar, bercerita beberapa temannya harus merahasiakan bahwa mereka adalah difabel mental ketika melamar kerja karena takut tak lolos rekrutmen.
“Mereka takut ketika ketahuan pernah mengakses layanan konseling ke psikolog atau psikiater, mereka bisa dipecat meski secara kemampuan mereka dapat bekerja,” ungkapnya.
Perempuan yang kini aktif di organisasi Perkumpulan Jiwa Sehat ini juga menyoroti banyaknya iklan lowongan kerja yang mensyaratkan calon pekerja harus ‘bisa bekerja dibawah tekanan’. Prasyarat ini diskriminatif khususnya bagi calon pekerja difabel mental menandakan perusahaan atau pemberi kerja tak paham kondisi dan kebutuhan difabel.
“Perusahaan atau pemberi kerja harusnya paham bagaimana tidak melakukan diskriminasi ketika mereka berhadapan dengan ragam difabel apapun,” tegas Nurma.
Baca Juga: Kesempatan Kerja Inklusif bagi Masa Depan Angkatan Kerja Difabel
Sedangkan Ulya, seorang difabel fisik, mahasiswi semester 6 sebuah universitas di Cirebon menuturkan masih banyak bangunan perusahaan yang belum aksesibel. Selain itu, ada diskriminasi jenis pekerjaan dengan hanya melihat kondisi fisik mereka yang difabel. “Kami sering ditempatkan di bagian administrasi, padahal bukan dari administrasi atau dijadikan office boy,” ujarnya.
Pengalaman empat orang muda dengan ragam difabel berbeda di atas senada dengan data dari Disability Situation Analysis Challenges and Barriers for People with Disability in Indonesia yang diterbitkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), antara Februari 2016 hingga Februari 2019. Data menyebutkan hampir 500 ribu pekerjaan diciptakan, sementara populasi difabel berusia 15 tahun ke atas yang berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja menurun sekitar 1,4 juta orang. Artinya, para pekerja difabel lebih banyak keluar dari pasar tenaga kerja daripada peningkatan lapangan kerja yang tersedia bagi para difabel.
Pekerja Difabel dan Transpuan Ingin Setara
Untuk menjadi pekerja difabel unggul dan berdaya saing, Agung menekankan difabel perlu mengenal perusahaan yang hendak dilamar. Salah satu caranya adalah dengan sering mengikuti lokakarya atau webinar yang diadakan perusahaan tersebut.
“Selain mengenal dan dikenal perusahaan, kita juga perlu melakukan branding diri di media sosial,” kata Agung.
Agar pekerja difabel menjadi setara dengan pekerja non-difabel, Nurma menegaskan pentingnya pelatihan keterampilan untuk memberdayakan calon pekerja difabel agar mandiri. Seperti yang ia upayakan bersama Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Blitar bekerjasama dengan Dinas Sosial. Meski selama ini pelatihan yang diberikan sifatnya hanya mengarahkan untuk berwirausaha, bukan menjadi karyawan.
“Penerimaan diri sebagai difabel itu penting!” jelas Ulya. Ia melihat banyak difabel yang masih minder, tidak percaya diri, dan lingkungan yang tidak mendukung. Ia yakin ketika difabel dapat menerima diri, maka lingkungan sekitar pun akan memberikan dukungan.
Berbeda dengan Rizal yang lebih menyoroti tentang makna kesetaraan daripada daya saing difabel di dunia kerja. Ia mengatakan mayoritas tuli yang menganggur di Indonesia karena hanya lulusan SMPLB. Untuk bisa setara, reformasi di dunia pendidikan adalah keharusan. Hal ini akan berdampak pada kondisi kerja yang lebih baik terutama dengan dukungan aksesibilitas dan teknologi.
“Banyak tuli yang bisa fotografi dan desain, mereka harus bersaing dengan orang non-difabel, padahal tuli tidak mendapat akses yang sama, sehingga hasilnya mana mungkin akan setara,” imbuhnya.
Jika pekerja difabel telah memiliki UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dimana dalam pasal 53 mengatur kuota berapa persen pekerja difabel yang harus dipekerjakan di sektor pemerintah dan swasta, para pekerja transpuan (transgender perempuan) belum punya payung hukum apapun.
Alih-alih dilindungi, transpuan -atau lebih dikenal sebagai waria- oleh Kemensos malah dikategorikan sebagai PMKS atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa keterbatasan (baca: pembatasan) lapangan kerja adalah masalah besar yang dialami transpuan yang mayoritas berpendidikan rendah. Termasuk masalah ketiadaan kartu identitas karena para transpuan banyak yang ‘lari’ atau diusir dari tempat kelahirannya ketika ekspresi gendernya tidak bisa diterima masyarakat. Saat ini, Kemendagri melalui Disdukcapil telah memulai pembuatan KTP elektronik bagi transpuan, meski implementasinya baru di beberapa daerah. Harapannya, dengan adanya kartu identitas, transpuan dapat mengakses kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan hak-hak dasar lainnya sebagai warga negara.
Seperti pengalaman tak mengenakkan yang dialami Manda, transpuan yang aktif sebagai paralegal di Lembaga Bantuan Hukum Semarang. Saat itu dia melamar pekerjaan dengan nama preferensi, tapi ia dinyatakan maladministrasi. Dari pendidikan, Manda cukup beruntung dibanding transpuan lain. Ia bisa lulus menjadi sarjana psikologi. Sementara transpuan lain kebanyakan tak bersekolah dan hanya menjadi pekerja seks atau pekerja sektor non formal.
Manda menilai pemerintah belum memenuhi hak-hak pekerja transpuan karena praktek di lapangan, masih banyak regulasi diskriminatif dan berpotensi mengriminalisasi kelompok identitas gender dan minoritas seksual. Dampaknya, para transpuan masih banyak yang hidup di jalan sebagai pengamen, pekerja seks, dan pekerja salon.
Penulis: Alvi
Editor : Ajiwan Arief