Sosialisasi Vaksinasi Covid – 19 bagi Difabel, Pemerintah Dorong Percepatan Kekebalan Kelompok
Solider.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Sosial, Kantor Staff Presiden bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menggelar Forum Literasi Hukum dan HAM Digital secara virtual. Mengangkat tema “Pemenuhan Hak dan Perlindungan Penyandang Disabilitas Saat Pandemi” acara sosialisasi dihadiri oleh Angkie Yudistia, selaku Staff Khusus Presiden, Eva Rahmi Kasim, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial, dan Nurjanah, S.K.M, M. Kes., yang hadir untuk mewakili Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan. Kegiatan diskusi dihelat pada 13 Agustus 2021 secara daring.
Menyambut baik kegiatan ini Bambang Gunawan, selaku Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan Kementerian Kominfo, dalam sambutan pembukannya menghimbau pada masyarakat agar ikut mensukseskan vaksinasi yang ditujukan pada seluruh lapisan masyarakat dengan tidak dipungut biaya, karena telah menjadi program pemerintah.
“Kami berharap melalui sosialisasi ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat umum dan difabel terkait hak difabel di masa pandemi.” Kata Bambang Gunawan.
Sementara Angkie Yudistia dalam menyampaikan paparannya menyatakan, sesuai dengan arahan Presiden mengenai percepatan vaksin dan bantuan sosial, maka beberapa langkah telah dilakukan.
“Langkah-langkah tersebut diantaranya; Teruskan, rampungkan sehingga herd Immunity lebih terbangun. Dan Pemerintah Daerah sebagai kunci distribusi untuk percepatan pelaksanaan vaksinasi agar masyarakat rentan dilindungi.”
Baca Juga: Minimalkan Hoaks, Sosialisasi Vaksinasi Terus Dilakukan bagI Difabel
Menyesalkan masih banyaknya difabel yang tidak mau vaksin, Eva Rahmi Kasim menyatakan bahwa karena untuk pemberian vaskin kali ini difabel akan mendapat vaksin hibah dari Pemerintah Saudi sebanyak 225 dosis. Awalnya vaksin hibah ini ditujukan bagi para jamaah haji. Namun karena tidak ada pelaksanaan haji, maka dihibahkan pada pemerintah Indonesia yang kemudian dialokasikan bagi difabel.
“Mereka takut akan berdampak pada kondisi difabilitas mereka. Karenanya perlu ada sosialisasi bahwa pemberian vaksin sebagai upaya untuk meningkatkan ketahan tubuh.” Terang Eva.
Ia melanjutlkan, untuk menunjang kelancaran program vaksinasi ini Kementerian Sosial menjalin kerjasama dengan Kementerian Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, bersama organisasi-organisasi difabel untuk menjangkau sahabat difabel dalam layanan pemberian vaksin covid 19.
“Sayangnya dalam pelaksanaan vaksin tidak mulus karena salah satu syarat divaksin adalah memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan). Sementara beberapa difabel tidak memiliki NIK. NIK di sini berfungsi untuk bisa akses mendapatkan vaksin. Difabel tidak banyak yang memiliki KTP atau NIK karena untuk mengurus KTP tidak mudah, apalagi bagi mereka yang memiliki hambatan mobilitas. Tetapi saya tekankan bahwa NIK tidak menjadi halangan bagi difabel untuk bisa vaksin karena mereka akan tetap bisa dilayani di sentra-sentra vaksin.” Kata Eva menambahkan.
Sebagai upaya untuk tercapainya program vaksinasi Eva mengatakan, bahwa untuk mereka yang tidak memiliki NIK bisa tetap ikut vaksin dengan ketentuan NIK harus tetap diurus. Hanya saja untuk pengurusan akan dikoordinasikan dengan Dukcapil setempat. Selain layanan pengurusan NIK, difabel juga akan mendapat layanan transportasi dan pendampingan untuk bisa mengakses layanan vaksinasi Covid 19.
Dalam paparannya, sebagai upaya pemenuhan hak kesehatan bagi difabel, Nurjanah menerangkan bahwa dengan empat kondisi karakteristik yang dialaminya, maka difabel memiliki hambatan dan resiko selama pandemi.
“Resiko yang harus mereka hadapi antara lain kurangnya akses informasi, bergantung pada kontak fisik dengan lingkungan atau pendamping, penurunan kemampuan atau kelemahan otot pernafasan sehingga difabel rentan tertular Covid 19, pembatasan atau isolasi menghambat difabel untuk memperoleh layanan vital dan hak dasar, serta rentan hambatan dalam perawatan kesehatan terutama bila mereka positif Covid dan kontak erat.” Demikian Nurjanah yang menjelaskan, bahwa pemberian informasi atas hak kesehatan harus menggunakan media yang ramah difabel, sehingga membantu mereka memperoleh kesamaan dan kesempatan layanan yang aman dengan mutu terjangkau.
Menurut Nurjanah yang merujuk Undang-undang nomer 8 tahun 2016, perlunya kesamaan dan kesempatan akses untuk sumber daya bidang kesehatan akan ikut menentukan tanggung jawab layanan kesehatan yang diperlukan.
“Karena difabel juga berhak atas alat bantu berdasar kebutuhan. Mereka juga berhak atas obat bermutu tanpa efek samping, dan mendapat perlindungan dari upaya percobaan medis. Difabel berhak mendapat perlindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan yang menyertakan manusia sebagai subjek.” Lanjut Nurjanah yang menyampaikan perlunya dibuat peta jalan layanan kesehatan inklusi.
“Peta jalan layanan kesehatan inklusi bagi difabel ini berfungsi untuk membangun sistem dan layanan kesehatan yang aksesibel, menyeluruh, terjangkau, berkualitas, menghargai martabat dan memberdayakan difabel.”
Dan untuk upaya ini Nurjanah menerangkan, pemerintah telah membuat strategi percepatan vaksin dimana difabel harus mendapat pelayanan prioritas tanpa dibatasi KTP atau domisili.
Sementara bagi difabel yang tinggal di pelosok dan jauh dari sentra vaksin, maka Nurjanah menyarankan untuk bisa mengakses layanan vaksin melalui Puskesmas dan rumah sakit yang paling dekat dengan domisili kita. Sehingga untuk membantu memudahkan pendamping difabel, Nurjanah menjelaskan bahwa vaksin Covid 19 bisa diberikan pada semua ragam difabel.
“Hanya saja ada beberapa kriteria bagi mereka yang mengalami sakit berat, mengalami penyakit kronis lain, ada kriteria gagal jantung, atau memiliki tensi diatas 180/100, memang tidak boleh menerima vaksin, baik itu difabel maupun non difabel.” Terang Nurjanah yang menyampaikan langkah antisipasi atas berita hoax tentang vaksin selama pandemi.
“Upaya antisipasi atas berita hoax yang banyak beredar selama ini kita lakukan dengan menyediakan akses informasi seluas mungkin melalui media masa. Lalu dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang suskes menerima vaksin.” Karenanya untuk meyakinkan masyarakat yang memiliki keraguan atau ketakutan akan resiko vaksin bahwa vaksin akan memperparah resiko difabilitas seperti kasus polio, Nurjanah menjelaskan peluang kejadian kasus semacam ini memang ada dengan perbandingan 1 : 1000.
“Kasus ini muncul karena keterkaitan dengan kondisi kesehatan kita. Barangkali kita tidak pernah periksa, sehingga kita tidak tahu kondisi tubuh kita yang sebenarnya dengan penyakit bawaannya. Itu sebabnya sebelum pemberian vaksin harus dilakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu, untuk antisipasi munculnya kasus diantara 10.000 penduduk, atau diantara satu juta penduduk, dimana akan selalu ada satu kasus yang muncul. Untuk kondisi yang tidak bisa kita hindari ini kita tetap menyediakan tim medis dan penanganannya.” Papar Nurjanah.
Ia juga berharap bisa membantu difabel dan pendamping untuk menyebarkan informasi secara masif melalui flyer dan buku saku yang berisi tanya jawab seputar informasi Covid 19 dan Vaksin.[]
Reporter: Yanti
Editor : Ajiwan Arief