Urgensi Mainstreaming Difabel di Berbagai Instansi Sejak Dini
Solider.id – Tindak kekerasan terhadap difabel masih terjadi. Mirisnya, pelaku didominasi oleh nondifabel, baik dari kalangan masyarakat umum hingga aparat. Para pelaku yang terekspose, memang mendapat hukuman sesuai prosedural. Ragam sanksi dikenakan, seperti sanksi moral dengan permintaan maaf terhadap korban, kurungan penjara, atau pemecatan bagi pelaku dari kalangan aparat.
Namun, sejauh apa efek jera dari hukuman yang diberikan dan se-edukatif apa pengaruhnya pada tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemahaman tentang difabel? Mengingat, tindakan kekerasan yang dialami oleh individu difabel masih saja terus berulang. Bahkan, tanpa penyebab yang pasti atau tanpa perlawanan yang berarti dari korban.
Kasus tindakan penganiayaan terhadap difabel Fisik (Kelainan pada wajah) dilakukan oleh petugas keamanan (Satpam) sebuah perusahaan di Medan Sumatera Utara pada akhir Juni lalu. Dari beberapa saksi mata di lapangan, mereka mengatakan tidak mengetahui penyebab peristiwa penendangan dan pemukulan terhadap korban.
Belum lama ini juga terjadi lagi tindakan penganiayaan terhadap difabel Tuli oleh aparat oknum anggoota Tentara Nasional Indnesia Angkatan Udara (TNI AU) di Merauke Papua. Keributan antara korban dengan pemilik warung makan, diderai dengan sikap arogan oleh dua aparat yang membentak, menjatuhkan korban ke bahu jalan dan menginjak kepalanya dengan kaki yang bersepatu.
Baca Juga: Literasi Inklusi Sejak Dini dalam Gerakan Sibolga Inklusif
Mengapa tindakan kekerasan dan penganiayaan selalu diambil sebagai jalan pintas saat perbuatan individu difabel dinilai keliru atau kehadirannya dianggap mengganggu, tanpa mengambil jalur komunikasi yang baik terlebih dahulu?Padahal, masyarakat umum yang memiliki persektif Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk aparat dapat melakukan pendekatan humanis dan dialogis.
Mainstreaming Difabel Lintas Instansi sebagai Solusi
Menurut Surya Sahetapy (27) salah satu aktivis Tuli Indonesia, kekerasan terhadap difabel ini mencerminkan pendidikan militer sedang darurat yaitu tidak ada materi pelajaran, mata kuliah tentang bagaimana berinteraksi dengan difabel Tuli dan difabel pada umumnya, meski secara pribadi ia menyampaikan pula perbuatan difabel Tuli keliru. Dalam pola pembelajaran, sangat memungkinkan materi tersebut dimasukkan pada kurikulum pendidikan sebagai langkah perbaikan. “Harus dimulai dari pendidikan usia dini,” sarannya.
Alternatif solusi yang serupa juga disampaikan oleh Billy Berlian Purnama, ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Jawa Barat, edukasi pemahaman isu difabel kepada lintas instansi seperti aparat petugas keamanan maupun stakeholder sangat diperlukan. Agar mereka mampu berinteraksi dengan lebih baik lagi kepada masyarakat difabel. “Jangan langsung menggunakan kekerasan. Itu tidak ramah difabel, khawatir nanti ditiru oknum lain,” tegasnya.
Billy juga meminta kepada pemerintah supaya materi pendidikan cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan difabel masuk kedalam kurikulum pembelajaran. Terutama di sekolah luar biasa harus sesuai kurikulum bisindo dan budaya tuli.
Maraknya kasus arogansi, penganiayaan dan perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh para aparat, membuka kacamata penilaian perpektif kepada mereka dalam memahami isu difabel.
Betapa pentingnya di kalangan aparat penegak hukum dan stakeholder, untuk mengetahui bagaimana berinteraksi dengan masyarakat difabel secara baik dan benar. Mereka yang notabene berpengetahuan terkait hak asasi manusia, masih gagal mengimplementasikannya di lapangan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan:
Pasal 3 ayat (1) ‘Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat perasudaraan. Ayat (2) ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum san perlakuan yang sama di depan hukum. Ayat (3) ‘Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.’
Pasal 4. ‘Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi ,anusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.’
Pasal 33. ‘Setiap orang berhak untuk bebas dari penilaian, penghukuman, atau yang kejam, tidak manusiawi, derajat dan martabat kemanusiaannya.’
Merujuk pada undang-undang tersebut, jelas sekali segala tindakan arogansi, kekerasan dan diskriminasi yang masih dialami oleh masyarakat difabel, merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Sebagai salah satu turunan dari isi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Hak Penyandang Disabilitas, diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan, secara garis besar menyampaikan sebagai berikut:
‘Dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang adil untuk Penyandang Disabilitas, perlu dilaksanakan proses peradilan berdasarkan persamaan hak dan kesempatan serta menghilangkan praktik diskriminasi. Proses peradilan yang adil dapat diwujudkan dengan mengadakan aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan. Proses peradilan dalam hal ini mencakup penyidikan dan penuntutan, serta persidangan pada Mahkamah Agung yang meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer, serta persidangan pada Mahkamah Konstitusi.’
Walaupun para pelaku tindak kekerasan terhadap individu difabel sudah mendapatkan sanksi hukuman, proses peradilan terkait kasus hukum antara korban dan pelaku mesti tetap dipantau.
Michael Himan.,S.H.M.H, dari Tim Advokasi Papua, dalam keterangan persnya (27/7) meminta agar proses hukum terkait dengan tindak kekerasan yang menimpa sala satu Tuli dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, pihaknya juga meminta agar penjatuhan sanksi/etik maupun pidana harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.
Respon masyarakat difabel terhadap kasus kekerasan yang masih terulang.
“Saya pikir aparat terlalu arogan represif dalam kasus tersebut ketika berhadapan dengan difabel Tuli. Mereka punya hambatan komunkasi, apa yang ingin dibicarakan oleh aparat kepada difabel tuli, begitu juga sebaliknya. Sehingga komunikasi tidak nyambung, apa yang mau disampaikan. Dalam PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan juga sudah jelas. Harusnya komunikasi bisa dengan alat lain, melalui tulisan di kertas misalnya agar tidak terjadi salah paham. Namun, sampai terjadi kekerasan dengan menginjak kepala difabel tuli oleh aparat, itu yang membuat seluruh warga Indonesia, khususnya warga difabel merasa sakit hati. Tindakan tersebut harusnya tidak terjadi bila komunikasi bisa dimudahkan,” Djumono angkat suara, aktivis senior difabel Jawa barat.
“Sangat prihatin melihat kelakuan aparat yang tega melakukan hal tersebut. Patut dihukum sesuai aturan atas tindakan yang sudah dilakukan, dan kejadian ini agar tidak terulang lagi,” kata Norman Yulian, ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Jawa Barat.
“Difabel awam terhadap hukum, maka harus menggandeng lembaga bantuan hukum bila terjadi kasus-kasus tindakan kekerasan seperti ini,” kata M. Rohman, warga difabel.
“Permasalahan kasus difabel Tuli di Merauke sudah ditangani dengan cepat. Ini juga pembelajaran untuk kita semua, agar selalu menyikapi permasalahan yang kita hadapi jangan dengan sikap emosional yang malah merugikan banyak pihak,” ucap Iwan, warga difabel.
Masyarakat difabel juga sangat mengapresiasi sikap respon cepat dari kepala instansi militer terkait atas tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.
Tindakan hukum memang sudah sepantasnya dijalankan sesuai aturan yang berlaku tanpa pandang bulu. Selain itu, alternatif solusi pun harus tetap dicari agar peristiwa semacam ini tidak terus berulang dari waktu ke waktu. Bukan sebatas memberikan efek jera kepada pelaku. Secara nyata, perbuatan tindak kekerasan terhadap difabel masih banyak ditiru.
Diperlukan kesadaran atas pemahaman dalam diri setiap lapisan masyarakat terhadap isu difabel, baik dalam kontek berkomunikasi, bersosialisasi, berinteraksi, maupun berkolaborasi.[]
Reporter: Srikandi Syamsi
Editor : Ajiwan Arief